Satu hal yang pasti, menjadi penggemar Bundesliga di Indonesia bukanlah perkara mudah. Mulai dari urusan bagaimana caranya bisa nonton pertandingan secara langsung saja sudah menjadi isu tersendiri.
Padahal kata orang, cinta itu dimulai dari mata turun ke hati. Nah, kalau sulit dapat kesempatan menonton, bagaimana orang-orang bisa jatuh cinta sama Bundesliga?
Setidaknya pada satu dekade terakhir, fans Bundesliga selalu harap-harap cemas setiap mendekati musim baru tiba, menunggu apakah ada stasiun televisi lokal yang bersedia menyiarkan langsung Bundesliga atau tidak.
Sebenarnya wajar saja sih kalau TV lokal kurang sudi menyiarkan Bundesliga, wong jumlah penontonnya tak terlalu banyak. Sedikit yang mau mengisi slot iklan. Rugi bandar.
Dan mungkin kesulitan lain bagi televisi lokal untuk menyiarkan Liga Jerman adalah mencari komentator yang paham sepak bola Jerman. Tak jarang komentator baru sedikit saja menyinggung klub Jerman, lalu beralih topik ke liga lain. Misalnya.
“Begini Bung, permainan Bayern ini mengutamakan ball possession dan banyak passing, seperti tiki taka di Barcelona.” Pembahasan selanjutnya jadi tentang Barcelona.
“Kiper Leverkusen (tidak disebut nama kipernya karena komentator tiba-tiba lupa) malam ini bermain bagus sekali, Bung, seperti De Gea.” Pembahasan kemudian beralih tentang Manchester United dan Liga Inggris.
Intinya, cukup sering terjadi pengalihan isu ketika para komentator berdiskusi pada saat jeda. Seolah-olah tak terlalu paham jalannya pertandingan. Jangan-jangan ketika pertandingan berlangsung, komentator bukannya nonton Bundesliga, malah lihat big match Liga Spanyol.
Untuk pertandingan di Liga Champions, fans Bundesliga lain dari yang lain. Jika fans klub tetangga berharap timnya mendapat hasil drawing bersama dengan klub yang relatif lebih lemah, fans Bundesliga justru ingin timnya bersua klub-klub tenar.
Bukan apa-apa. Itu satu-satunya cara agar pertandingannya bisa disiarkan langsung di televisi lokal.
Alternatif lain kalau mau nonton langsung adalah via live streaming. Masalahnya dengan opsi ini ialah kuota internet yang tak selalu stabil. Tak jarang ketika sedang asik-asik nonton, macet siarannya. Dan pas kembali lancar, skor sudah berubah 1-0. Alamak!
Oleh karenanya, penggemar Bundesliga yang tidak bisa atau kesulitan menonton pertandingan tim kesayangannya secara langsung hanya bisa mengandalkan berita, baik di media cetak maupun televisi, untuk mendapatkan informasi tentang gambaran jalannya pertandingan.
Nah, di sini tantangan lainnya muncul. Sudah sejak lama terjadi diskriminasi terhadap pemberitaan Bundesliga.
Pada tahun 1990-an, fans sudah sujud syukur kalau sekadar ada update klasemen terkini serta daftar pencetak gol terbanyak di koran. Jangan berharap akan ada berita berlembar-lembar tentang Bundesliga.
Di era media elektronik seperti sekarang ini, tak ada kemajuan signifikan. Saya paling kesal kalau mengunjungi portal berita dan menemukan Bundesliga masuk dalam kategori liga lain. Woi, yang kalian bilang liga lain itu menghasilkan tim nasional juara dunia 2014!
Dengan kurang terpaparnya masyarakat Indonesia terhadap keindahan Bundesliga, tak heran jika segelintir orang saja yang dengan bangga menyatakan diri di depan sahabat dan kerabat (serta follower di twitter) sebagai fans salah satu klub Bundesliga.
Umumnya sih memilih jadi fans Bayern, tapi ada juga pendukung klub lain seperti Bayer Leverkusen, Borussia Dortmund, Werder Bremen dan sebagainya.
Fans Bayern di Indonesia sendiri mulai terorganisir ketika klub Bavaria tersebut datang ke Jakarta tahun 2008 silam. Namun sangat disayangkan, meski jumlah anggotanya tak seberapa (dibanding fans Liga Inggris), kini sudah ada dua fans klub resmi Bayern di Indonesia. Mungkin mereka lupa bahwa bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Sebagai minoritas, kalau ada undangan acara nonton bareng dengan fans dari Liga Inggris, Italia atau Spanyol, sudah barang tentu jumlah pesertanya kalah telak. Namun untuk urusan nge-chants, fans Bundesliga tak kalah nyaring suaranya.
Mereka mungkin merasa lebih lepas karena kalaupun ejaan bahasa Jermannya tidak (sepenuhnya) pas, fans klub lawan juga tidak bakal mengerti. Yang penting volume suara dimaksimalkan dulu. Benar salah urusan belakang.
Bukan hanya di dunia nyata fans Bundesliga menjadi minoritas. Di dunia maya seperti twitter, jumlah pengikut akun-akun fanbase Liga Jerman juga terbilang sedikit bahkan ketika dibandingkan dengan klub papan menengah ke bawah di Liga Inggris seperti Chelsea.
Apalagi jika diadu dengan klub papan atas liga-liga tetangga seperti Barcelona, Real Madrid, Manchester United, wah jauhlah. Dan kemungkinan sebentar lagi akan kalah juga sama jumlah follower Leicester Indonesia Fans Club.
Di tengah kondisi yang tidak terlalu ideal tersebut, klub-klub Bundesliga sendiri sesekali berupaya menunjukkan perhatian terhadap fansnya di Indonesia lewat media sosial. Mungkin mereka turut prihatin. Mereka menyapa:
“Selamat Idul Fitri.”
“Happy Independence Day.”
“Terima kasih atas dukungannya yang luar biasa.”
Dan sebagainya.
Namun sesungguhnya, perhatian itu masih sebatas di dunia maya saja. Harapan fans Bundesliga, dalam hal ini umumnya dari fans Bayern, untuk melihat idolanya mengunjungi mereka belum mendapat sinyal positif dari klub.
Klub Bundesliga sepertinya masih lebih suka mengunjungi beberapa pasar potensial lainnya di Asia seperti Jepang, Qatar dan tentu saja Tiongkok.
Tidak masalah. Sambil terus berharap, fans tetap tekun melatih chants dalam bahasa Jerman supaya ketika Lahm dkk datang ke Indonesia, mereka heran betapa fasihnya kita melagukan:
Allez Allez ooh ooh – – – – –
Allez Allez ooh ooh – – – – –
Ich geb’ mein Herz für dich
für Bayern lebe ich
ich lass’ dich nie im Stich