Tentang Pemain Muda Berbakat dan Parabel Bunga

Ketika Real Madrid mengontrak pemain muda berbakat bernama Martin Odegaard seharusnya hal itu menjadi pemberitaan yang wajar. Namun mengetahui pemain yang masih berusia 16 tahun tersebut digaji 80.000 euro/pekan, pemberitaan itu mencuat ke permukaan dan kita seperti tak pernah sampai pada apa yang dipikirkan oleh Florentino Perez.

Sebuah klub menyadari bahwa kaki-kaki Cristiano Ronaldo, Lionel Messi atau Zlatan Ibrahimovich, tidak akan selamanya mampu menopang hasrat mereka untuk selalu bermain sepak bola.

Didatangkannya pemain-pemain muda diharapkan akan menggantikan peran mereka pada suatu saat nanti: membawa kejayaan, memikul nama besar klub dibahu mereka dan memastikan agar eksistensi sebuah klub diteruskan oleh generasi yang tepat.

Membangun akademi pemain muda, mengirimkan pemandu bakat ke seluruh penjuru dunia untuk melakukan pemantauan dan menemukan bakat-bakat pesepak bola terbaik di seluruh penjuru dunia, lalu berlomba-lomba mengajukan penawaran lebih tinggi bahkan mengiming-imingi keluarga si pemain uang dan kedudukan, ibarat usaha menemukan bunga-bunga indah nan mewangi di belantara hutan.

***

Eka Kurniawan dalam salah satu tulisan di jurnalnya bercerita tentang Sjon dan Parabel Bunga.

Sjon adalah penulis kelahiran Islandia yang melahirkan beberapa buku bagus tapi sayangnya tak banyak orang mengetahui dan membaca buku yang ditulisnya.

Dalam filosofi Parabel Bunga yang dikemukakan Eka Kurniawan, karya-karya Sjon adalah bunga indah nan harum namun keberadaanya di hutan tak terjangkau oleh indera manusia.

Konsep Parabel Bunga itu sebenarnya untuk membantu memahami konsep-konsep mengenai “ada” dan “menjadi” serta tidak hanya berlaku pada nasib Sjon dan buku-bukunya saja, tetapi juga mencakup seluruh elemen kehidupan, tak terkecuali dalam sepak bola.

Ada dua konsep yang dikemukakan oleh Eka Kurniawan. Pertama, ada sekuntum bunga yang tumbuh dengan indah, tapi keberadaan dan aromanya tidak terlihat dan diketahui orang.  Bunga itu “ada” sekaligus “tidak ada.”

Ada dua kemungkinan yang dihasilkan oleh konsep pertama ini, yakni jika bunga itu memiliki keajaiban atau keberuntungan, suatu hari barangkali akan ada orang lewat dan menemukannya dan mengetahui keindahannya. Atau kemungkinan yang lain bunga itu tidak ditemukan sama sekali dan pada akhirnya layu.

Jamie Vardy adalah contoh bagaimana harum bunga itu baru saja terendus. Sempat melanglang buana sebagai pesepak bola amatir di klub seperti Stocksbridge Park Steels, FC Halifax Town, Fleetwood Town. Aroma Jamie Vardy justru semerbak musim ini dengan menjadi salah satu elemen paling penting Leicester Citu dalam perburuan gelar juara Liga Inggris.

Kedua, Parabel Bunga ini juga berlaku sebaliknya, seseorang menemukan bunga yang sebetulnya tidak harum atau biasa-biasa saja, tapi karena ada orang yang kebetulan lewat lalu mengambilnya, sehingga bunga itu terendus di mana-mana. Harum namun barangkali tidak sepenuhnya mekar.

Seorang pemain yang digadang-gadang akan menjadi pemain besar pada kenyataannya perjalanan kariernya tak seharum apa yang diwartakan oleh media. Atau bibit-bibit itu tidak tumbuh sebab salah dalam merawatnya. Perjalanan karier Fredie Adu, Federico Macheda, Wilfred Zaha adalah contoh bagaimana bunga itu layu sebelum benar-benar berkembang.

Selain keinginan dan motivasi si pemain, sebuah klub memiliki peran signifikan dalam melewati fase awal tersebut. Mereka sepenuhnya mempunyai hak atas sekuntum bunga.

Apakah mereka memutuskan benar-benar merawatnya atau hanya menjadikannya pajangan di etalase, lantas mengabaikannya dan membiarkannya mati sebelum waktunya.

Kita tidak akan pernah mengetahui ada nama Lionel Messi dalam sepak bola, jika Barcelona tidak cukup sabar merawat Messi yang mengalami kendala pada hormon pertumbuhan. Nyatanya Barcelona memupuknya menjadi seorang pemain besar.

Well, kita biarkan perkara Florentino Perez yang sibuk mengurus kebun galacticos-nya dan mari simak bunga mahal bernama Martin Odegaard itu tumbuh. Sambil sama-sama berdoa agar ia tak bernasib sama seperti Pedro Leon dan Sergio Canales.

 

Komentar

This website uses cookies.