Penikmat sepakbola Asia Tenggara pasti tak asing lagi dengan Theerathon Bunmathan. Pemain dengan kekuatan kaki kiri yang mematikan itu membuat publik Thailand bangga atas gelar juaranya bersama Yokohama F. Marinos di J1 League musim lalu.
Tidak lama setelah perolehan trofi itu, Yokohama F. Marinos kemudian menyodorkan kontrak berdurasi tiga tahun kepada mantan rekan setim Lucas Podolski dan Andres Iniesta di Vissel Kobe tersebut.
Sejumlah media di Thailand menyebut bahwa nilai kontrak Theerathon mencapai angka yang fantastis, sebesar 35 juta baht atau sekitar 16,2 miliar rupiah. Namun, bukan perkara mudah baginya untuk diakui menjadi bek kiri nomor satu di Asia Tenggara.
Seluruh raihan gelar, mulai dari juara Thai League 1 empat kali bersama Buriram United dan sekali saat berkostum Muangthong United, tentu merupakan hasil perasan keringat Theerathon.
Juga pencapaian menterengnya di kancah internasional bersama Timnas Thailand tentu tidak didapatnya tanpa kesulitan. Sebagai penikmat Timnas Indonesia yang kerap bertemu tim berjuluk Gajah Putih itu, pasti mengerti sepak terjangnya.
Kenangan kelam masih tergambar jelas di kepala saya. Sebab, tragedi buruk tersebut meninggalkan kesan mendalam di 14 menit pertama perkenalan saya dengan pemain yang tahun ini mulai memasuki usia kepala tiga itu.
Malam itu, Indonesia menjamu Thailand di Stadion Gelora Bung Karno dalam ajang SEA Games 2011. Saya tiba-tiba tertarik dengan pemain bernomor punggung 3 tersebut sesaat setelah kamera menyorot wajahnya saat sedang menyanyikan lagu kebangsaan Thailand.
Sayangnya, pemain yang kerap disapa Aum ini bermain kurang hati-hati dan membuat wasit mengganjarnya dengan kartu kuning di menit ke-9. Kecerobohannya belum berhenti. Theerathon kembali diganjar kartu kuning pada menit ke-12 yang membuat wasit mengusirnya dari lapangan.
Karena hal itu, Thailand akhirnya bermain hanya dengan sepuluh pemain. Theerathon menjadi biang kekalahan Thailand atas Indonesia dengan skor 1-3, sehingga gagal lolos ke babak semifinal.
Kartu merah yang dikantongi Theerathon pada laga tersebut meninggalkan catatan tersendiri. Ia bak mengulang kesalahan yang sama. Beberapa hari sebelumnya, ketika melakukan debut untuk timnas senior Thailand, ia juga mendapatkan kartu merah.
Dengan catatan itu, membuat mantan rekan setim Suchao Nuchnum ini menjadi pemain yang mendapat dua kartu merah dalam waktu tercepat di Thailand, yaitu hanya dalam dua laga saja.
Perjalanan sulit Theerathon sebagai pemain yang dianggap temperamen dan ceroboh, ia lewati. Sampai akhirnya, dirinya dipercaya Zico —panggilan akrab Kiatisuk Senamuang—untuk memperkuat Thailand di SEA Games 2013.
Tidak tanggung-tanggung, kali ini anak asuhan Zico itu berhasil membawa pulang medali emas. Akhirnya, rekan senegara dari Charyl Chappuis itu berhasil membalas dendam kepada Indonesia.
Tak hanya Theerathon sekali menjadi mimpi butuk Skuat Garuda dan kembali melakukannya pada ajang Piala AFF 2016. Bahkan, ia menjadi salah satu bintang pada ajang tersebut, termasuk ketika Thailand mempermalukan Indonesia di laga final.
Meski bertugas sebagai bek kiri, Theerathon punya kemampaun mengatur serangan dan terkadang bergerak ke lini tengah untuk membagi bola. Umpan silang dan sepak pojok akurat yang dimilikinya menjadi kewajiban untuk diwaspadai oleh pertahanan lawan.
Dengan memiliki kemampuan teknis yang melimpah, tidak mengagetkan bahwa kemudian Theerathon dilirik oleh Vissel Kobe dan bergabung dengan status pinjaman dari Muangthon United.
Theerathon bergabung dengan Vissel Kobe pada awal tahun 2018. Ia menyusul langkah Teerasil Dangda dan Chanathip Songkrasin yang lebih dulu berkarir di J1 League. Langkah Theerathon kembali berlanjut di Jepang setelah dipinjamkan ke Yokohama F. Marinos sejak Januari 2019.
Pemain bernomor punggung 5 itu tercatat bermain sebanyak 25 kali dengan mencatatkan 3 gol untuk Marinos. Ia pun berhasil menjadi pemain Asia Tenggara pertama yang memenangkan J1 League dan akhirnya diikat permanen oleh klub asal Yokohama tersebut.
Delapan tahun setelah kebodohan yang dilakukannya di SEA Games 2011, Theerathon kembali ke Stadion Gelora Bung Karno pada bulan September 2019. Ia kembali menghadapi Indonesia, kali ini dalam ajang kualifikasi Piala Dunia 2022.
Dalam laga itu, ia berhasil menjebol gawang Indonesia. Saat merayakan golnya, Theerathon menampilkan raut kebahagiaan. Seolah-olah mengatakan bahwa ia sudah melupakan tragedi 12 menit sewindu sebelumnya, ketika dirinya kewalahan mengawal Andik Vermansah dan berujung kartu merah.
Pada tahun yang sama dengan lesatan yang ia tembakkan ke gawang Andritany, Theerathon dinobatkan sebagai Pemain Terbaik Tahun 2019 Thailand oleh Asosiasi Sepak Bola Thailand. Ia juga menjadi salah satu gelandang terbaik ASEAN versi FOX Sports Asia. Sebuah tahun yang berakhir dengan kegemilangan untuknya.
Theerathon adalah pesepakbola yang membuat saya akhirnya merasa jatuh cinta pada si kulit bulat. Ia membuat saya mengerti mengapa ada suporter yang rela merogoh kocek dalam untuk sekadar membeli jersey dari tim kebanggaannya.
Rupa memang menjadi alasan pertama saya memperhatikannya. Namun, daya juang dan kemampuannya di lapangan hijau membawa saya mencintai sepak bola sebagaimana orang kebanyakan.
Theerathon berhasil membalikkan keadaan dari dipandang sebagai pemain ceroboh hingga menjadi pujaan publik. Perjalanan hidup seseorang memang tak bisa ditebak, termasuk bagi petarung di atas lapangan hijau.