Budaya sepak bola modern tidak bisa lepas dari fanatisme pendukung sepak bola. Penonton sepak bola tidak hanya menonton tim kesayangannya bertanding, namun juga memberi dukungan.
Tidak hanya mendukung tim tertentu lewat atribut atau yel-yel, praktik yang dilakukan pendukung sepak bola antara lain adalah melakukan konfrontasi dengan lawan, baik lewat ekspresi kebencian hingga kontak fisik secara langsung.
Dengan perkembangan teknologi, ekspresi kebencian bisa dipraktikkan di ruang siber (red: cyber) oleh pendukung sepak bola. Mereka bisa mengeluarkan opini yang berisi hinaan lewat fasilitas yang disediakan forum atau situs. Praktik ini sering kita jumpai di ruang siber, dan sering masuk dalam kategori flaming.
Menurut peneliti budaya siber, David Bell, flaming adalah pesan dalam ruang siber yang memakai bahasa kasar dan memancing sikap bermusuhan dari pengguna lain. Kita tidak bisa menghapus flaming dari budaya ruang siber, atau dalam konteks budaya sepak bola: menghilangkannya dari bentuk fanatisme pendukung sepak bola.
Konstruksi fanatisme fans sepak bola ini tidak lepas dari konsumsi budaya sepak bola populer. Dalam konsep mediasai budaya populer, peneliti budaya John Williams melihat bagaimana budaya populer sepak bola menyebar dari Eropa ke penjuru dunia. Globalisasi budaya sepak bola lewat teknologi media ini yang memungkinkan Madridista di Trenggalek bersorak ketika Cristiano Ronaldo mencetak gol.
Mediasai ini juga membuat sudut pandang sepak bola Eropa menjadi acuan praktik fanatisme di penjuru dunia, mulai dari rivalitas antartim hingga bagaimana pendukung membenci satu sama lain. Namun, globalisasi tidak bisa dimaknai sebagai arus budaya satu arah. Habitus individu dan karakter ruang siber juga berpengaruh dalam konstruksi fanatisme pendukung sepak bola.
Karena itu, hate speech (ujaran kebencian) atau flaming di ruang siber akan sangat subjektif. Ekspresi kebencian bagi seseorang belum tentu dimaknai serupa oleh orang lain. Karena itu, analisis mengenai ekspresi kebencian dalam konteks budaya sepak bola sangat subjektif dan kontekstual. Hal ini menjadi bermasalah ketika praktik ini terjadi di ruang siber.
Ruang siber memungkinkan mediasi komunikasi. Pesan yang kita unggah tidak kita ucapkan di depan orang langsung, dan memungkinkan tidak adanya respon langsung dari orang lain. Hal ini membuat ekspresi kebencian bisa merajalela di ruang siber. Kita tidak perlu khawatir hukuman atau balasan langsung, terutama secara fisik, atas pesan kebencian yang kita unggah.
Flaming juga lebih mungkin terjadi ketika terlegitimasi dalam suatu konteks sosial tertentu. Peneliti psikologi manusia Timothy Jay berpendapat seseorang akan cenderung mengeluarkan umpatan, kata-kata kasar, atau hinaan ketika tidak ada implikasi sanksi atau dalam konteks humor dan kewajaran.
Hal inilah yang terjadi misalnya dalam thread Spectre KASKUS. Thread yang dibuat pada tahun 2007 oleh moderator sebagai ruang pendukung sepak bola melakukan flaming di KASKUS. Pengguna yang beraktivitas di sini banyak memaknai ekspresi kebencian sebagai sebuah humor dan ikut melakukannya karena legitimasi dari KASKUS dan pengguna lain.
Ruang siber memungkinkan praktik budaya lama dengan cara-cara baru, termasuk hate speech. Ketika ada regulasi yang memberi sanksi bagi hate speech dalam konteks tertentu maka perlu dilihat: bisakah praktik ini dimaknai secara kontekstual dan subjektif?
Hate speech adalah bagian yang tidak terpisahkan dari budaya sepak bola populer. Selain konstruksi budaya sepak bola populer, praktik ini juga dipengaruhi narsisme pendukung sepak bola.
Peneliti budaya sepak bola Cornel Sadnvoss meminjam konsep narsisme dari Marshall McLuhan, melihat bahwa fanatisme merupakan bentuk narsisme pendukung sepak bola. Pendukung sepak bola melihat tim yang didukung sebagai ekstensi citra diri. Hal inilah yang memungkinkan fanatisme yang berujung pada hate speech kepada lawan. Mereka melihat lawan sebagai ancaman terhadap ekstensi citra diri sehingga perlu direndahkan dengan hate speech.
Karena itu, susah menghilangkan hate speech dalam sepak bola, terutama di ruang siber. Hate speech di ruang siber seperti pornografi atau pembajakan, yang berusaha diatur sedemikian rupa namun mustahil dihilangkan.
Karena itu pemahaman pengguna sangat penting, sehingga seperti teman-teman di Spectre, bisa memaknai hate speech di ruang siber dengan wajar tanpa menimbulkan “kram otak” hingga aksi fisik di ruang offline. Hal ini perlu ditanamkan karena ruang siber menuntut kita menjadi prosumer, produser-konsumen, yang bertanggung jawab dalam konstruksi ruang siber secara konteks sosial tertentu.
Regulasi memang penting dalam membantu pemahaman dan konstruksi pengguna terhadap hate speech. Namun perlu pendekatan kultural yang subjektif, kontekstual, tidak bias, dan tidak sensitif dalam penegakan regulasi ini. Serta tinjauan mendalam mengenai dampak pesan tersebut di ruang offline atau bagi psikis yang mengkonsumsinya.
Toh, yang dikhawatirkan sebenarnya bukan banter di ruang siber, namun dampak kekerasan psikologis dan fisik seseorang dalam mengkonsumsi hate speech.
Kita bisa meniru teman-teman di Spectre untuk memaknai bagaimana hate speech dalam konteks sepak bola. Di sisi lain, pihak yang getol mengatur perilaku rakyat bisa meniru bagaimana rules diberlakukan di Spectre.
Namun tentu ada sisi “negatif” di Spectre, misalnya over-generalisasi dan over-identifikasi pendukung sepak bola. Mereka bisa juga meniru langkah Inggris dalam menangani hooliganisme. Misalnya pihak keamanan mewajibkan kejelasan identitas pendukung tim sepak bola sehingga mempermudah mereka mengidentifikasi dan memberikan sanksi bagi pendukung yang melanggar peraturan.
Memang tidak mudah melakukan pendekatan kultural dan mengidentifikasi pendukung sepak bola se-Indonesia. Namun para penegak hukum memang kita bayar untuk hal-hal semacam ini, kan?