Mengapa Saya Mengidolakan Persib?

Pada suatu malam yang dingin di sebuah tempat makan di sekitar Plaza Ambarrukmo, saya sempat berbincang banyak dengan pasangan saya, Sadriyah Pratiwi, tentang kultur menjadi suporter sebuah klub dalam sepak bola.

Sebagai sesosok mahasiswi studi Psikologi yang baik dan rendah hati, ia menjelaskan beberapa hal mengenai kenapa kemudian seseorang menjadi pendukung sepak bola. Tentunya, dengan pendekatan kajian keilmuan psikologinya.

Sederhananya, ia menjelaskan kepada saya yang bebal dan banal ini perihal kebutuhan pokok manusia akan dua hal, yakni kebutuhan fisiologis dan kebutuhan metafisis. Fisiologis meliputi beberapa hal menyangkut hal-hal pokok yang selalu dibutuhkan manusia tiap waktunya, semisal sandang, pangan, dan papan.

Sedangkan metafisis, memiliki pendekatan yang lebih intim lagi. Metafisis mengedepankan kebutuhan manusia akan rasa nyaman, rasa cinta, perhatian dari orang lain dan masih banyak lagi hal-hal bersifat metafisik yang dicari manusia demi rasa bahagia dan berkecukupan.

Seketika saya merasa, mungkin saja ya, keputusan saya untuk menyukai dan mengidolai Persib kemudian sebagai sebuah kebutuhan metafisis yang saya dapati dengan mengikuti dan menonton beberapa kali pertandingan Persib saat itu.

Di Indonesia, kedekatan kultural acapkali memengaruhi klub bola lokal apa yang ingin kita dukung dan bela. Apesnya saya, karena tumbuh besar di sebuah kota yang klub sepak bolanya lebih banyak tiarap dan cenderung mati suri, bukan hal yang aneh kalau kemudian saya mengabdikan diri menjadi bobotoh.

Setidaknya, menjadi bobotoh layar kaca. Daripada meratapi PSM Madiun yang mati suri dan Madiun Putra yang tak kunjung promosi ke Liga Super, saya dengan sadar melabuhkan cinta dan nafsu bola yang menggebu di gejolak masa muda kepada Persib Bandung (dan Arsenal FC, teteup…).

***

Kakek saya adalah agen koran Kompas dan beberapa media cetak milik Grup Gramedia yang memiliki jaringan luas di Madiun. Maka dari itu, akses saya terhadap koran dan media cetak begitu mudah dan sungguh mewarnai perjalanan hidup saya sebagai pembaca koran yang setia sejak masih kecil hingga remaja dan kemudian beranjak dewasa.

Kalau anak-anak lain harus jungkir balik hanya untuk bisa membaca tabloid BOLA tiap minggunya, saya malah dengan leluasa bisa menikmati bacaan tersebut dengan cara yang mudah dan nyaman. Saya bersyukur untuk itu, juga akan cerita-cerita sepak bola yang cukup banyak saya lahap di tabloid tiap pekannya.

BACA JUGA:  Dekade 1990-an: Transisi pada Satu Era, Perkenalan dan Cinta untuk FC Internazionale Milano

Lewat koran pula perkenalan awal saya dengan Persib dimulai. Berbeda dengan Arsenal yang begitu saya gandrungi sebagai akibat dari menonton solo run goal edan milik Thierry Henry ke gawang Real Madrid pada 2006. Persib, saya ketahui dari lembar-lembar koran yang saya baca. Sejak 2005, kalau tidak salah. Saya masih SMP saat itu. Dengan pelatihnya yang begitu mahsyur saat itu, Indra Thohir (Indra ya, bukan Erick).

Tahun 2005 adalah era di mana Persib membangun beberapa kebijakan perekrutan pemain dengan mengutamakan beberapa pemain yang merupakan putra daerah Jawa Barat tapi bermain di klub luar Persib. Ada Boy Jati Asmara, Cucu Hidayat, Edi Hafid, Aceng Juanda hingga idola saya saat itu, Eka Ramdani.

Mudah saja bagi saya mengidolai Eka Ramdani saat itu. Sebelum teralihkan oleh pesona terang si kasep, Makan Konate, Ebol—sapaan akrab Eka Ramdani—sudah mengambil tempat yang cukup di sanubari saya.

Apalagi, sejak SMP sampai sekarang, saya memang terbiasa menggemari posisi bermain dalam sepak bola sebagai gelandang tengah. Jadi memilih Eka saat itu adalah sebuah hal yang rasional bagi saya. Sama rasionalnya dengan saya lebih menggemari Lorenzo Cabanas dibanding Patricio Jimenez. Atau afeksi berlebih saya ke Firman Utina dan Hariono dibanding memuja Illija Spasojevic atau Zulham Zamrun.

Ebol jelas memiliki bakat dan cerita yang cukup melankolis untuk dilanggengkan menjadi legenda Persib yang sahih. Bahkan mungkin, layak dibuatkan patung perunggu di Siliwangi layaknya Thierry Henry dan Dennis Bergkamp yang patungnya berdiri megah di depan stadion Emirates.

Sayang seribu sayang, pada musim 2011-2012 Ebol malah memutuskan hengkang ke tanah Kalimantan untuk bergabung dengan Persisam Putra Samarinda. Tentu saja saya sedih betul. Apalagi untuk sebuah alasan yang menurutnya bahwa ia ingin lebih merasa dihargai sebagai pemain. Bah, egois betul. Belum juga menyumbang gelar juara liga, sudah kebelet pindah saja pemain mungil satu itu.

Kira-kira perasaan saya terkait kepindahan Ebol ke Kalimantan itu mirip-mirip dengan bagaimana reaksi saya kala Cesc Fabregas memutuskan pergi ke Barcelona dan Robin van Persie yang membelot ke Manchester United. Sakitnya tuh……di mana-mana. Bl*kok siah si Ebol mah. Kehed!

***

Ketika pada masa-masa SMA saya mulai aktif bermain game di komputer, Football Manager membantu saya untuk merasa lebih dekat dengan Persib. Walau berkali-kali menggunakan Persib dan selalu gagal juara, saya tidak pernah kapok.

BACA JUGA:  Yang “Kiri” dan yang Seksi: Anti Kapitalisme Sepak Bola di Ladang Kapital

Uniknya, prestasi edan saya di FM malah saya raih bersama Persikab Kab. Bandung, yang notabene adalah rival Persib dan pemilik sah Si Jalak Harupat, kandang Persib saat ini.

Saya rasa, keputusan untuk menjadi bobotoh walau tidak lahir (meski sempat sebentar menetap di Bandung) dan murni berasal dari tanah Sunda adalah keputusan paling irasional yang pernah saya pilih selama menggandrungi sepak bola di rentang umur saya sejauh ini. Saya tidak cukup gila untuk mengidolai banyak klub saat itu.

Tapi kalau pun bisa mengingat lagi dengan jelas, saya justru heran kenapa menyukai Persib yang puasa gelar selama belasan tahun saat itu. Akan lebih banyak euforia dan suka cita kalau-kalau saya mengidolai Persipura atau Sriwijaya FC  yang saat itu cukup sering juara di periode tersebut. Kebodohan yang sama juga saya alami kenapa kemudian saya memilih mendukung Arsenal dan bukan klub langganan juara layaknya Barcelona atau AC Milan Manchester United.

Tapi, Persib memang sungguh spesial. Beberapa kali saya sempat ke Bandung dan menikmati bagaimana atmosfer menjadi seorang bobotoh di Bandung. Beberapa kali menonton Persib di Siliwangi saat itu, mencoba pelan-pelan belajar bahasa Sunda agar bisa ikut teriak-teriak di tribun bersama bobotoh asli sana, hingga ikut merasa sebal ketika Lord Atep sempat membela Persija Jakarta.

Dulu sekali, sempat ada kepercayaan unik bahwa kita tidak benar-benar menjadi bobotoh sejati kalau belum menonton Si Maung di Siliwangi. Ini hal yang saya pegang teguh sebagai patokan bahwa mungkin saya sudah resmi menjadi bobotoh yang sejati, karena beberapa kali sempat menonton Persib di stadion milik Kodam III/Siliwangi itu.

Menonton Persib di Bandung (atau Siliwangi) patut Anda masukkan ke 100 hal yang harus anda lakukan sebelum mati.

Memilih sebuah klub bola untuk diidolai adalah hak setiap orang yang memang memiliki kecintaan tertentu kepada sepak bola. Di samping kedekatan kultur dan ideologi, kadang, di beberapa klub tersebut kita mampu menemukan diri kita menjadi bagian dari klub tersebut, walau ia berjarak ratusan hingga ribuan kilometer jauhnya dari tempat tinggal kita saat ini.

Lagipula, sepak bola selalu melankolis. Perasaan-perasan sentimental ini yang membuat sepak bola memiliki tempat spesial bagi para pemujanya. Dan memang, sepak bola selalu mampu dibingkai menjadi sebuah cerita, ya?

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.