Kualifikasi Euro 2016 telah usai. Sudah ada 19 negara yang memastikan tempatnya di Prancis tahun depan. Sementara delapan negara lain akan melakukan play-off guna memperoleh empat tiket tersisa. Untuk pertama kali sepanjang sejarah turnamen antarnegara terbesar di benua biru ini, kejuaraan akan diikuti 24 negara. Dengan bertambahnya kuota tersebut, kans bagi negara-negara kelas dua di Eropa pun makin besar untuk ikut bertarung di L’Hexagone. Albania, Austria, Irlandia Utara, Islandia dan Wales mampu memanfaatkan peluang ini untuk lolos ke putaran final. Mereka bakal bersaing dengan negara-negara tradisional sekelas Inggris, Italia, Jerman dan Spanyol.
Di sisi lain, sejatinya penambahan ini juga memudahkan langkah negara-negara kuat untuk lolos. Sayangnya kesempatan tersebut justru gagal dimanfaatkan dengan baik oleh kampiun Eropa 1988, Belanda. Secara tragis Der Oranje rontok di babak kualifikasi akibat kalah bersaing dengan Islandia, Republik Ceska dan Turki. 13 poin yang dikoleksi Robin van Persie cs. dari sepuluh pertandingan membuat mereka terjerembab di posisi keempat klasemen akhir Grup A. Belanda secara resmi mengulang sejarah pahit lebih dari tiga dekade silam ketika gagal ke Piala Eropa 1984 yang ironisnya juga digelar di Prancis.
Berbagai teori pun mengemuka perihal kegagalan pahit timnas yang populer dengan Totaalvoetball-nya ini. Mulai dari pergantian pelatih, skuat yang terlalu hijau, melempemnya performa para bintang sampai yang paling absurd, kutukan tampil buruk pasca-penampilan gemilang di Piala Dunia!
Apa pun itu Belanda memang amburadul. Pada kesempatan yang penuh rahmat ini, meski menyesali kegagalan Belanda, penulis membeberkan tiga alasan mengapa Der Oranje luluh lantak bak gelas pecah.
- Transisi buruk dari Van Gaal ke Guus Hiddink
Alasan pertama berkaitan dengan sosok di balik kemudi timnas Belanda. Peralihan tampuk kepelatihan dari Louis Van Gaal ke Guus Hiddink rupanya menjadi persoalan tersendiri buat Van Persie cs. Kedua pribadi ini memang sosok yang bertolak belakang, secara karakter maupun filosofi permainan yang mereka anut. Eks striker Chelsea dan timnas Belanda, Jimmy Floyd Hasselbaink, sempat mengutarakan perbedaan antara Van Gaal dan Hiddink. Kebetulan dirinya pernah bekerja sama dengan kedua sosok tersebut.
“Van Gaal seperti guru. Otoriter, keras kepala dan teratur. Segalanya dipersiapkan secara rinci dan penuh perhitungan. Sementara Hiddink jauh lebih bersahabat dan longgar, karakternya lebih seperti ayah. Atmosfer latihan bersama Hiddink terasa jauh lebih santai sedang bersama Van Gaal segalanya berjalan serius”, terang Hasselbaink.
Penampilan heroik Belanda di Piala Dunia 2014 kemarin jelas tidak lepas dari peran sentral Van Gaal. Di bawah arahannya, Belanda seolah berganti kulit. Tim yang identik dengan permainan menyerang diikuti possession football tinggi berubah menjadi tim yang lebih defensif dan mengandalkan serangan balik. Ini terlihat dari pola permainan Belanda yang berubah dari 4-3-3 menjadi 5-3-2 atau 3-5-2. Van Gaal bahkan menyulap peran seorang Dirk Kuyt dari gelandang/penyerang menjadi wingback demi mengakomodasi strateginya.
Gabungan skuat muda usia dengan wajah-wajah lama di Piala Dunia lalu dapat dikombinasikan secara sempurna oleh Van Gaal. Trio Arjen Robben-Wesley Sneijder-Robin Van Persie memang tetap menjadi tumpuan namun ketiganya ditopang darah muda dalam diri Daley Blind, Memphis Depay dan Stefan De Vrij. Komposisi ini terbukti sukses hingga sanggup membawa Der Oranje jadi tim peringkat ketiga turnamen tersebut. Meramu pemain-pemain muda bukanlah hal yang menyulitkan buat sang meneer karena dirinya juga populer sebagai pelatih yang gemar dengan daun muda. Masihkah Anda ingat kesuksesan Ajax Amsterdam merengkuh trofi Liga Champions 1995? Prestasi tersebut adalah adalah bukti sahih betapa Van Gaal kompeten dalam menggarap bakat-bakat muda.
Menggantikan figur yang empat tahun lebih muda darinya pasca-prestasi apik di Piala Dunia 2014 memberi Hiddink beban tersendiri. Akan tetapi mengingat pengalaman dan kualitasnya, publik pun merasa Belanda berada di tangan figur yang tepat. Dengan pendekatan yang berbeda 180 derajat dengan sang pendahulu, Hiddink berusaha untuk mencari bentuknya sendiri. Skuat yang sudah terbiasa dengan gaya main besutan Van Gaal dipaksa kembali ke selera asal. Hiddink menggembleng skuat asuhannya untuk kembali menonjolkan permainan yang mendewakan possession football seperti yang terdapat di dalam kurikulum dan kitab sucinya sepak bola Belanda. Formasi 4-3-3 pun dikembalikan Hiddink sebagai pakem tetap timnya.
Berbeda dengan Van Gaal, Hiddink juga lebih menggemari pemain-pemain berpengalaman dan matang. Selalu ada nama-nama senior yang begitu dipercaya Hiddink untuk menjadi pilar timnya. Sebut saja nama-nama seperti Hong Myung Bo dan Yoo Sang Chul di timnas Korea Selatan yang berlaga di Piala Dunia 2002 serta Mark Viduka dan Mark Schwarzer di timnas Australia pada perhelatan Piala Dunia 2006. Pun begitu saat dirinya kembali menangani Belanda kali ini, ia masih begitu bergantung pada trisula Robben-Sneijder-Van Persie plus beberapa nama senior lain seperti Nigel De Jong maupun Klaas Jan Huntelaar.
Di luar hal tersebut, magis Hiddink sendiri bagai memudar dalam beberapa tahun terakhir. Hiddink tak lagi bertangan dingin pasca-gagal mengirim Rusia ke Piala Dunia 2010, Turki mesti rela hanya menjadi penonton di Piala Eropa 2012 dan Anzhi Makhachkala tak kuasa berbicara banyak di Liga Rusia meski sudah menghabiskan banyak uang demi bersaing dengan nama-nama beken macam Spartak Moskow, CSKA Moskow dan Zenit St. Petersburg. Tepat pada 30 Juni 2015 lalu, Hiddink resmi mundur dari jabatannya di timnas Belanda setelah dalam sepuluh laga, baik ujicoba maupun kualifikasi, anak asuhnya cuma bisa meraih empat kemenangan, sekali seri dan lima kali tumbang.
- Pemain bintang yang tampil di bawah performa
Layaknya Brasil, negeri keju juga dikenal sebagai penghasil talenta-talenta berbakat di bidang sepak bola. Nama-nama seperti Johan Cruyff, Marco Van Basten, Edwin Van Der Sar sampai Ruud Van Nistelrooy adalah jaminan mutu buat Singa Oranye. Mereka begitu bersinar pada eranya masing-masing, Cruyff bahkan disebut sebagai maestro sepak bola bersama nama lain macam Pele, Diego Maradona, Franz Beckenbauer ataupun Dino Zoff.
Di Piala Dunia 2010 dan 2014, trio Robben-Sneijder-Van Persie adalah sosok mahapenting buat Der Oranje. Tanpa mereka, bisa jadi Belanda takkan finis sebagai finalis dan semifinalis di dua perhelatan tersebut. Performa ketiganya begitu ciamik untuk mengantar Belanda sampai ke babak itu. Maka tak heran bila mereka masih menjadi fondasi utama timnas Belanda hingga kini. Namun seiring berjalannya waktu ketiganya mulai mengalami penurunan performa akibat digerus usia dan terpaan cedera.
Dikenal sebagai pemain eksplosif, bahkan ada yang menyebutnya sebagai winger terbaik dunia, Robben adalah sosok mengerikan buat lini belakang lawan. Pergerakan dan kemampuannya sering membuat lawan-lawannya keteteran. Walau punya kemampuan hebat dan prestasi mentereng, sepanjang karir sepak bolanya Robben juga dikenal sebagai pemain berbadan rapuh akibat rentan cedera. Dalam semusim saja ia bisa tiga kali bola-balik meja operasi. Berdasarkan statistik pada lima musim terakhirnya bersama Bayern Muenchen, Robben bahkan tak pernah bermain lebih dari 30 kali di Bundesliga akibat cedera yang datang silih berganti. Ditambah usianya yang makin menua, Robben pun layaknya mobil balap yang mulai kehabisan bahan bakar. Performanya bersama Die Bayern dan Belanda merosot drastis satu tahun ke belakang.
Setali tiga uang dengan kompatriotnya, Sneijder juga memiliki problem yang sama. Mengkilap di Internazionale Milano pada 2009/2010 di bawah asuhan Jose Mourinho dan Piala Dunia 2010, performa Sneijder langsung anjlok setelahnya. Walau tetap berperan besar di Piala Dunia 2014 kemarin, namun secara keseluruhan penampilannya tak sebaik kala berlaga di Afrika Selatan akibat serangkaian masalah kebugaran. Dirinya pun mesti terasing di Liga Turki bersama Galatasaray usai dilepas I Nerazzurri pada 2012/2013 lalu.
Hal serupa juga dialami sang kapten Van Persie, eks punggawa Feyenoord dan Arsenal ini sempat dikenal sebagai salah satu striker yang kerap merepotkan bek yang mengawalnya. Akan tetapi RvP seakan tak mampu kembali ke form terbaiknya pasca membawa Manchester United menjadi juara Liga Inggris di 2012/2013 lalu sekaligus menasbihkan diri sebagai pencetak gol terbanyak. Van Persie lebih sering berkutat dengan masalah fisiknya yang terus mengganggu. Bahkan saat Van Gaal yang notabene bosnya di Piala Dunia 2014 lalu ditunjuk menjadi pelatih Manchester United dalam mengarungi musim 2014/2015, ia tak dipilih Van Gaal sebagai ujung tombak andalannya. Hingga akhirnya penurunan performa tersebut membuatnya harus rela dilego ke klub Turki, Fenerbahce, awal musim 2015/2016. Sepanjang kualifikasi kemarin Van Persie hanya bisa mengoleksi tiga biji gol, jumlah yang sangat minim buat seorang penyerang utama sekelas dirinya.
Degradasi performa dari triumvirat ini mempengaruhi penampilan Belanda secara keseluruhan di babak kualifikasi mengingat ketiganya adalah pilar utama yang diandalkan Hiddink maupun Danny Blind, asisten Hiddink yang kini menjabat sebagai pelatih kepala. Sementara nama-nama lain belum bisa menyamai atau bahkan mendekati level ketiganya.
Anda pasti masih ingat dengan kegagalan Belanda melaju ke Piala Dunia 2002? Der Oranje yang saat itu dilatih Van Gaal harus puas menjadi penonton karena penampilan memble mereka di babak kualifikasi. Punggawa andalan Belanda ketika itu seperti Phillip Cocu, Frank De Boer dan Jaap Stam telah melewati periode emas karir sepak bolanya akibat digerus usia hingga tak sanggup meloloskan Singa Oranye ke putaran final di Korea-Jepang.
- Lost generation
Era 1970-an dibuat geger akibat penampilan memikat mata yang dilakukan oleh sepasukan berkostum oranye. Ya, Belanda saat itu diperkuat nama-nama mentereng sekelas Cruyff, Jan Jongbloed, Ruud Krol sampai Johan Neeskens. Perpaduan mereka plus racikan pelatih jenius Rinus Michels berhasil melahirkan Totaalvoetball, sebuah gaya yang membuat permainan Belanda begitu cair. Pemain outfield Der Oranje tidak terpaku pada satu posisi saja, mereka semua bisa beralih fungsi dari bek ke gelandang, gelandang ke penyerang, penyerang ke bek dengan sangat cepat, apik dan terstruktur. Sehingga lawan pun kesulitan meredam permainan Belanda kala itu. Walau gagal merengkuh trofi Piala Dunia 1974 dan 1978 meski sukses menapak babak final, generasi Cruyff dkk. akan terus dikenang sebagai yang terbaik di masanya.
Akan tetapi setelah Cruyff cs. menua dan tak lagi mengenakan seragam timnas, performa Belanda langsung terjun bebas. Mereka secara beruntun gagal lolos ke putaran final Piala Dunia 1982 dan 1986 serta Piala Eropa 1984. Ada kekosongan generasi yang dialami Belanda ketika itu sehingga mereka kesulitan untuk bersaing dengan negara-negara lain. Memang ada nama-nama seperti Hugo Hovenkamp, Dick Schoenaker, Huub Stevens dan si kembar Willie dan Rene Van Der Kerkhof, tapi level mereka sangat-sangat jauh di bawah Cruyff dkk. Sementara sosok Ruud Gullit, Ronald Koeman, Frank Rijkaard dan Marco Van Basten masih terlalu hijau untuk dijadikan figur sentral.
Dan kegagalan Belanda ke Piala Eropa 2016 ini seolah mengulang masa kelam tiga dasawarsa silam. Ketergantungan kepada sosok Robben-Sneijder-Van Persie masih terlalu besar. Performa mereka yang makin menurun pun menular pada Der Oranje. Di saat ketiganya sedang memasuki akhir masa emas, tak ada nama-nama yang bisa menggantikan posisi mereka. Memang ada sosok potensial dalam diri Blind, Depay dan De Vrij. Tapi bak Gullit cs. di pertengahan 1980-an, mereka masih terlalu muda untuk dijadikan sebagai pilar utama dan panutan. Sedangkan nama-nama seperti Bas Dost, Jeremain Lens dan Gregory Van Der Wiel yang secara usia lebih senior bukanlah figur yang kemampuan dan pengaruhnya sama dengan tiga serangkai Robben-Sneijder-Van Persie.
Dibanding negara-negara Eropa lain, Belanda memang sudah ketinggalan satu langkah. Pantas rasanya jika negeri yang pernah menjajah Indonesia selama 3.5 abad ini membenahi sepak bolanya apabila tak ingin tertinggal semakin jauh.
Bakat-bakat muda seperti Sven Van Beek, Jetro Willems, Tony Vilhena, Anwar El Ghazi dan Ricardo Kishna mulai unjuk gigi bersama klub yang mereka bela. Bersama Blind, Depay, De Vrij dan Georginio Wijnaldum mereka bisa dijadikan fondasi kokoh timnas di masa depan. Sementara di ranah kepelatihan, Belanda yang selama ini terkungkung pada nama-nama gaek seperti Dick Advocaat, Hiddink, Van Gaal dan Bert Van Marwijk sudah sepantasnya melirik sosok gres haus prestasi dalam diri Phillip Cocu, Frank De Boer, Ronald Koeman dan Giovanni Van Bronckhorst untuk menjadi pelatih Der Oranje di masa mendatang.
Selamat berbenah Belanda!