Pada 26 April 2014 – sebuah spanduk bertuliskan ‘Fat Sam out – Killing WHU’ terbentang di Stadion The Hawthorns milik West Bromwich Albion setelah Saido Berahino berhasil melesakkan sebuah gol ke gawang West Ham United pada menit ke 11. Spanduk tersebut merupakan aksi protes sejumlah suporter West Ham yang telah rela melakukan perjalanan sejauh 210 km namun hanya bisa menyaksikan tim kesayangannya menelan kekalahan ketujuh dari sembilan pertandingan terakhir di Premier League. Pada akhir musim itu, West Ham hanya terpaut tujuh angka dari zona degradasi.
Sejak awal didatangkan menjadi manajer West Ham pada tahun 2011, Sam Allardyce sudah banyak mendapatkan protes lebih dulu dari kalangan suporter karena selama ini dikenal sebagai seorang manajer yang menyajikan sepak bola membosankan – sangat bertahan dan memainkan umpang-umpan panjang di udara, seperti yang telah ia terapkan sebelumnya di Bolton Wanderers ataupun Blackburn Rovers. Selama tiga tahun menukangi West Ham, Big Sam terus dihujani kritik, baik dari suporter, media hingga manajer lain. José Mourinho bahkan pernah menyebut gaya bermain West Ham seperti sepak bola dari abad ke-19.
Menghadapi musim 2014/15, pemilik klub yang masih bersikeras untuk mempertahankan Allardyce mendatangkan Teddy Sheringham untuk dijadikan sebagai attacking coach agar dapat menyajikan permainan yang lebih menyerang dan atraktif. Dampaknya sungguh luar biasa. Pada awal musim, klub asal London yang berjuluk The Hammers ini berhasil menembus big four serta mengalahkan juara dan runner-up musim lalu, Manchester City dan Liverpool. Perubahan yang sangat signifikan dapat dilihat dari meningkatnya rata-rata penguasaan bola dari 46% menjadi 49%. Dari segi efektifitas pun, peningkatan terjadi pada akurasi umpan dari 75% menjadi 80% serta akurasi tembakan dari 37% menjadi 49%.
Kedatangan Sheringham menjadi kunci penting dari berubahnya filosofi bermain Allardyce di West Ham. Pada musim ini, West Ham mengusung formasi 4-4-2 diamond – terkadang disebut 4-3-1-2, dengan menghadirkan pemain-pemain baru di awal musim seperti Alexandre Song dan Cheikhou Kouyaté untuk menjadi mesin di lini tengah. Juga Diafra Sakho dan Enner Valencia yang memiliki kecepatan dan fisik yang sangat baik untuk menjadi duet di lini depan, tidak hanya bertugas untuk mencetak gol tapi juga ikut berperan dalam memberikan pressing ketika lawan menguasai bola.
Kedatangan ‘the new Baines’ Aaron Cresswell dan Carl Jenkinson sebagai bek sayap berkarakter menyerang melengkapi gaya bermain baru yang diterapkan The Hammers, karena formasi diamond yang tidak menggunakan gelandang sayap akan mendorong bek sayap untuk bermain lebih ke depan sebagai penghubung pertahanan dan serangan dari sektor sisi lapangan. Dengan komposisi pemain-pemain yang mumpuni, sistem diamond ini sangat mendukung Allardyce dalam menerapkan sepak bola yang lebih menyerang.
Perubahan gaya bermain Stewart Downing
Namun, yang paling menyita perhatian adalah perubahan gaya bermain Stewart Downing. Downing sejatinya adalah seorang gelandang sayap kaki kiri, yang sejak awal karirnya bermain di sisi kiri dan sempat bermain di sisi kanan saat masih di Liverpool, berhasil disulap menjadi seorang playmaker sentral yang bermain di ‘lubang’ tepat di belakang dua penyerang. Peran ini dikenal sebagai “number 10”.
Ia diberi kebebasan untuk mengontrol permainan dan menciptakan banyak ruang untuk bergerak bagi rekan-rekannya ataupun ia sendiri. Bahkan, ketika Valencia bergerak melebar dan Sakho bergerak turun untuk menarik barisan pertahanan musuh (vice versa), maka Downing sebagai “number 10” dapat mengeksploitasi ruang yang diciptakan kedua rekannya tersebut untuk menghasilkan gol ataupun menciptakan peluang. Peran tersebut sangat kontras dengan gaya bermainnya saat menjadi seorang sayap klasik yang harus banyak berlari di sisi lapangan hingga ke depan dan memberikan umpan-umpan silang yang ‘tak pasti’ ke penyerang tunggal, seperti yang dilakukannya ke Andy Carroll musim lalu maupun saat keduanya masih bermain di Liverpool.
Hingga pekan ke 29 di Premier League musim ini, Downing telah bermain dengan jumlah menit yang sama dengan musim lalu yakni sebanyak 2.502 menit hanya dalam 28 pertandingan, empat pertandingan lebih sedikit dari musim lalu. Tetapi, mengalami peningkatan yang sangat signifikan dari berbagai aspek. Ia berperan dalam terciptanya 13 gol yang dilesakkan West Ham musim ini, berbanding hanya tiga gol di musim lalu. Selain itu, Downing menghasilkan rata-rata umpan kunci (keypass) per pertandingan sebesar 2.29 berbanding 1.88 dari musim lalu serta rata-rata menciptakan peluang per pertandingan sebesar 2.57 berbanding 1.94 dari musim lalu.
Allardyce bersama Sheringham telah merevolusi gaya bermain West Ham dari sepak bola Inggris tradisional – bermain melebar dengan memanfaatkan kedua sayap dan sesering mungkin melakukan umpan silang ke kotak penalti, menjadi sepak bola modern yang mengusung formasi diamond yang bermain menyerang dengan umpan-umpan pendek, menumpuk pemain di sektor tengah dan menguasai bola. Selain itu, dengan mengubah gaya bermain Downing dari seorang sayap klasik menjadi “number 10”, West Ham seperti baru saja merekrut seorang bintang ‘baru’ yang secara krusil berhasil mengubah gaya bermain tim.
Baca juga: Fantasy Premier League Gameweek 30: Saatnya Membeli Downing