Seiring waktu, pertandingan sepakbola jadi semakin tidak menarik bagi saya. Hampir semua pertandingan yang saya tonton selama dua tahun terakhir hanyalah pertandingan yang dilakoni Liverpool, klub kesayangan saya. Itu pun tidak selalu, hanya kalau laga The Reds ditayangkan secara langsung di televisi atau bisa diakses secara gratis di internet saja saya rela menghabiskan waktu menonton.
Tentu tetap ada momen-momen menyenangkan. Comeback atas Barcelona di Stadion Anfield, misalnya, berhasil membuat saya merinding saking tak percayanya. Permainan Liverpool juga amat menghibur buat dilihat.
Dua fullback dengan kemampuan melepaskan umpan silang yang luar biasa, kombinasi dari trio penyerang nan ganas, serta elegansi seorang Virgil van Dijk dalam membentengi lini belakang, bisa membuat siapa saja terpesona. Tak terkecuali para penonton netral.
Akan tetapi, jika disuruh memilih untuk tidur atau begadang menonton Jordan Henderson dan kawan-kawan, saya lebih memilih yang pertama. Alasannya bukan karena besok harus kerja, sekolah atau yang lain. Saya cuma malas saja dan tidur rasanya jadi opsi yang lebih menyenangkan sekaligus menyehatkan.
Soal kalah-menang, saya tidak begitu peduli. Teman saya ledek-ledekan perihal sepakbola juga tidak banyak. Jadi kalau menang, ya, bagus. Kalau kalah, ya, tidak apa-apa.
Sekarang, pandemi Corona membuat kompetisi sepakbola dihentikan. Namun jujur, saya tidak merindukan pertandingan sepakbola sama sekali. Ketika tahu tim kesayangan saya bisa kehilangan gelar juara Liga Primer Inggris akibat dihentikannya kompetisi seraya melihat berbagai olok-olok di media sosial, saya juga tidak kesal. Seperti tadi, kalau Liverpool juara, ya, bagus. Tidak pun tak mengapa. Peduli setan dengan puasa gelar puluhan tahun.
Mungkin ada yang bakal menyebut saya gila atau berlebihan. Namun saya sendiri tak mengerti apa alasan di balik semua ini. Padahal sampai sekarang, podcast sepakbola, video sepakbola dan tulisan sepakbola masih jalan-jalan saja dengan lancar dan digandrungi orang.
Mungkin karena sekarang teman saling ejek saya sudah sedikit. Kalau mau saling ejek di media sosial, rasanya, kok, kampungan dan buang-buang waktu saja.
Lagi pula di dalam perasaan saya pun, gengsi itu rasanya sudah mati. Dulu kalau Liverpool kalah, saya bisa menangis. Saat mereka tertinggal, saya sampai berdoa kepada Tuhan supaya The Reds dianugerahi kekuatan hingga mukjizat untuk menyamakan kedudukan atau bahkan menang.
Ketika teman saya coba menghina Liverpool, saya langsung pasang badan. Mau debat, silakan saja. Dulu, ada rasa emosional yang begitu kekanak-kanakan dan konyol. Sekarang kalau klub kesayangan dihina habis-habisan, saya cuma cengengesan saja. Semakin kreatif hinaannya, semakin senang saya.
Itu dari sisi perasaan sebagai fans. Sementara dari sisi hiburan pun, saya sudah punya banyak hiburan yang lebih menarik dibanding pertandingan sepakbola. Meskipun ada juga beberapa pengecualian. Saya sesekali mendengarkan beberapa podcast sepakbola dan menonton ulang sejumlah pertandingan klasik, misalnya yang dimainkan tim nasional Italia di Piala Dunia 2006.
Jadi begitulah, sepakbola sudah tidak begitu sentimental buat saya. Ini soal personal saja, jadi jangan bicara bahwa sepakbola masa kini cuma soal uang, dan uang. Sejah dahulu, sepakbola juga soal uang. Saya kenal dan mendukung Liverpool yang ada di Inggris sana juga karena komersialisasi sepakbola yang digerakkan pakai uang, kok.
Rasanya lucu sekali kalau sekarang mengingat-ingat masa kecil. Dulu saya pernah menangis waktu Liverpool kalah dan besoknya diledek teman sekelas. Waktu itu saya juga ingin sekali jadi pemain sepakbola. Gol-gol yang saya cetak kala bermain bersama teman-teman di halaman rumah dengan gawang sandal pun saya catat di sebuah buku tulis. Sungguh konyol sekali.
Mungkin saya memang sepatutnya meminta maaf pada diri saya sendiri waktu kecil dahulu, “Maaf, Dik. Tak perlu mencintai sepakbola kelewat berlebihan.”