Dalam beberapa bulan terakhir, klub Persebo Bondowoso menjadi bahan perbincangan di ranah sepak bola Indonesia. Perbincangan tentu bukan seputar prestasi yang diraih klub asal Jawa Timur tersebut. Perbincangan terjadi karena kemiripan logo klub berjulul Laskar Gerbong Maut dengan klub asal Spanyol. FC Barcelona. Apabila dibandingkan secara kasat mata, logo kedua klub tersebut memang nyaris serupa.
Tidak ada informasi yang jelas sejak kapan logo baru tersebut digunakan. Sepengetahuan saya, logo asli klub yang dibentuk pada 1970 tersebut tidak demikian, melainkan serupa dengan logo klub-klub Perserikatan. Yang jelas, logo baru tersebut dapat dilihat dalam halaman situs ligaindonesia.co.id dan situs Wikipedia klub Persebo Bondowoso. Berbagai komentar pun mengiringi kehadiran logo baru tersebut. Ada yang berkomentar positif dengan menyebutnya sebagai bentuk kreativitas di tengah logo klub lokal yang dianggap nyaris seragam. Ada pula yang berkomentar negatif dengan menyatakan bahwa hal tersebut merupakan tindakan plagiat.
Komentar apa pun tentu sah diberikan. Meski demikian, hal lain yang perlu diperiksa adalah apa yang melatari kemiripan logo tersebut? Mengapa memilih meninggalkan logo lama dan memilih logo baru yang mirip dengan logo klub asal Spanyol. Apakah hal ini sekadar dampak perkembangan teknologi informasi dan globalisasi. Atau ada hal lain?
Poskolonial
Saya mencoba melihat kemiripan logo tersebut dari perspektif poskolonial. Poskolonial adalah perspektif yang melihat bahwa kolonialisme atau penjajahan yang dilakukan negara Eropa sejak abad 16 telah mengubah banyak hal di tanah jajahan. Meski secara formal telah berakhir, jejak kolonialisme terkadang masih menancap erat di tanah jajahan dalam berbagai bentuk. Mulai dari arsitektur, makanan, filsafat, seni, sastra, ekonomi, gaya hidup, dan busana. Poskolonialisme berupaya untuk membongkar dan mengurai jejak-jejak yang tertinggal tersebut dan menjelaskannya dalam konteks relasi kuasa negara penjajah dan terjajah.
Terdapat sejumlah konsep penting dalam kolonialisme, antara lain hibriditas dan mimikri hibriditas mengacu kepada interaksi antara budaya penjajah dan terjajah yang menghasilkan bentuk dan identitas baru dengan wujud tersendiri. Hibriditas inilah yang memicu munculnya mimikri atau peniruan. Mimikri merupakan proses peniruan atau reproduksi berbagai hal dari bangsa terjajah terhadap bangsa penjajah. Mimikri dilakukan karena bangsa terjajah merasa setara jika berhasil meniru budaya bangsa penjajah. Dalam konteks ini, budaya penjajah dianggap lebih tinggi dari bangsa terjajah. Proses mimikri ini mewujud dalam berbagai hal.
Sebagai bangsa yang pernah dijajah Eropa, Indonesia tidak luput dari proses mimikri. Pada awal abad 20 misalnya, pemuda-pemuda Indonesia yang bersekolah di Belanda kerap meniru cara berpakaian orang-orang Eropa. Hal tersebut merupakan wujud mimikri dalam bentuk peniruan busana. Dengan menggunakan cara berbusana yang sama dengan Eropa, para pemuda Indonesia merasa setara sekaligus berusaha menegaskan bias identitas bahwa bangsa Eropa lebih tinggi dari bangsa sendiri. Proses tersebut terjadi melalui hibriditas atau interaksi budaya yang terjadi saat menyaksikan, mengalami, dan merasakan kebudayaan Eropa melalui jalur sekolah di Belanda.
Mimikri logo
Kemiripan logo Persebo Bondowoso dengan FC Barcelona dapat diletakkan dalam perspektif demikian. Proses peniruan tentu tidak begitu saja terjadi, melainkan terbentuk melalui beragam proses. Derasnya arus pemberitaan sepak bola Eropa di Indonesia dapat diacu sebagai salah penyebab. Melalui berbagai pemberitaan, tercitrakan bahwa sepak bola di tanah Eropa memiliki “budaya” lebih tinggi dan lebih baik dari sepak bola lokal. Interaksi ini memicu proses mimikri dalam dunia sepak bola di Indonesia.
Salah satu mimikri tersebut mewujud melalui pilihan untuk meninggalkan logo klub asli dan mengubahnya menjadi logo yang mirip dengan klub di Eropa. Hal tersebut kemungkinan terjadi sebagai harapan agar prestasi klub Persebo Bondowoso menyerupai prestasi klub Barcelona yang bergelimang gelar. Meski demikian, mimikri ini menunjukkan sekaligus menegaskan cara pandang kolonial yang masih melekat erat di Indonesia. Cara pandang yang kerap melihat bahwa yang asing atau Eropa lebih tinggi, lebih baik, dan lebih berbudaya.