Menang, seri, dan kalah merupakan bagian dari pertandingan sepakbola. Semua pihak tentu pernah merasakannya, tak terkecuali kesebelasan asal Inggris, Liverpool, yang saat ini tengah mati-matian berjuang menembus empat besar Liga Primer Inggris guna mendapat satu jatah main di Liga Champions musim depan.
Diakui atau tidak, perjalanan The Reds sepanjang musim 2020/2021 sangat terjal. Salah satu problem utama yang mereka alami adalah banyaknya anggota skuad yang silih berganti masuk ruang perawatan. Terlebih, mayoritas dari mereka adalah pemain andalan.
Alisson Becker, Fabinho, Joe Gomez, Jordan Henderson, Diogo Jota, Naby Keita, Joel Matip, James Milner, sampai Virgil van Dijk bergantian menghilang dari starting line up. Akibatnya, Jurgen Klopp sebagai pelatih kesulitan untuk mengeluarkan kemampuan terbaik tim asuhannya.
Tak perlu kaget bila akhirnya Liverpool dilanda inkonsistensi penampilan. Mereka bisa terlihat superior di suatu laga, lalu melempem pada laga-laga selanjutnya. Yang paling mengejutkan sekaligus menyedihkan, Mohamed Salah dan kawan-kawan sempat merasakan paceklik hasil positif ketika bertanding di kandang sendiri, Stadion Anfield.
Stadion berkapasitas 53 ribu penonton tersebut seolah kehilangan aura magisnya bagi The Reds. Para tamu yang datang begitu mudah membawa pulang poin sempurna dari sana.
Walau kepayahan, tetapi hal itu tak membuat klub pengoleksi gelar Piala/Liga Champions terbanyak dari Inggris ini patah arang. Mereka tetap berupaya keras tampil prima dan meraih target minimal yang sanggup didapat.
Perlahan tetapi pasti, Liverpool yang sempat terseok-seok di papan tengah, berhasil kembali ke lima besar. Namun seperti yang saya tuliskan di bagian awal, target mereka adalah menembus empat besar demi tiket ke Liga Champions.
Sampai pekan ke-36, baru dua kesebelasan Liga Primer Inggris yang memastikan partisipasinya di kejuaraan antarklub Eropa nomor wahid itu. Mereka adalah sang kampiun liga, Manchester City, dan rival sekotanya yang duduk di peringkat dua klasemen, Manchester United.
Sementara Leicester City, Chelsea, dan Liverpool yang menghuni peringkat tiga sampai lima, kudu saling sikut untuk menentukan dua tim terakhir yang berhak tampil di Liga Champions musim mendatang.
Apalagi selisih poin dari The Foxes, The Blues, dan The Reds begitu tipis sehingga persaingan sengit bakal tersaji sampai pekan pamungkas.
Mujur bagi anak asuh Klopp, jadwal pertandingan mereka di sisa musim ini tergolong ringan. Mereka hanya berjumpa Burnley dan Crystal Palace. Di atas kertas, dua klub itu bisa ditaklukkan oleh Salah dan kawan-kawan.
Sementara Leicester dan Chelsea malah kudu baku hantam di pekan ke-37 sebelum akhirnya masing-masing kubu menutup musim ini dengan bertempur melawan Tottenham Hotspur dan Aston Villa.
Fans Liverpool di penjuru dunia tentu berharap klub kesayangan mereka sukses menghempaskan Burnley guna mendapat tiga angka. Di sisi lain, mereka juga menaruh asa bahwa ada pemenang dari laga Leicester versus Chelsea.
Rupa-rupanya, harapan itu terkabul. The Reds berhasil membenamkan The Clarets via skor 3-0, sementara The Blues mempecundangi The Foxes dengan kedudukan tipis 2-1.
Keadaan itu membuat Chelsea merangsek ke posisi tiga klasemen sementara dengan koleksi 67 poin. Sementara Liverpool melejit ke peringkat empat dengan 66 angka. Nasib paling sial diterima Leicester yang terlempar ke peringkat lima dengan raihan angka serupa tim besutan Klopp.
Dengan begini, kemenangan atas Crystal Palace di laga terakhir musim ini jadi syarat paling nyaman buat diselesaikan Salah dan kawan-kawan. Apapun hasil yang didapat Leicester dan Chelsea takkan berpengaruh pada kelolosan mereka ke Liga Champions.
Saya merasa Liverpool adalah klub yang punya nasib paling mujur di fase-fase krusial ini. Mereka seperti punya kedekatan tersendiri dengan Dewi Fortuna.
Memiliki skuad pilih tanding, fleksibilitas taktik, dan kekuatan untuk menaklukkan lawan adalah syarat agar sebuah tim dapat tampil hebat sekaligus menjadi yang terbaik. Namun di luar itu semua, ada satu faktor tambahan yang bisa melanggengkan langkah mereka yakni dihinggapi keberuntungan.
Liverpool bisa dibilang cukup beruntung karena ada banyak hal-hal tak terduga yang menyertai mereka ketika ada di momen sulit. Selain menang atas Burnley dan munculnya pemenang dari laga Leicester kontra Chelsea, The Reds juga mendapat durian runtuh pada pekan ke-36 lalu.
Bertemu West Brom yang sudah pasti terdegradasi, Liverpool malah tampil payah. Gol Hal Robson-Kanu sempat bikin mereka ketar-ketir sampai akhirnya Salah bikin skor sama kuat. Namun setelahnya, Liverpool justru kebingungan untuk menembus jala Sam Johnstone.
West Brom bahkan sempat mencetak gol di menit-menit akhir laga dan bikin suporter The Reds geleng-geleng kepala seakan putus harapan. Mujur, gol itu dianulir wasit karena pemain The Baggies lebih dahulu terperangkap offside sehingga skor tetap 1-1.
Manakala pertandingan ada di fase injury time, Liverpool mendapat sepak pojok. Alisson yang merupakan penjaga gawang merangsek ke kotak penalti untuk ikut menyambut umpan. Padahal di sana sudah berdiri para penggawa outfield Liverpool.
Ajaibnya, bola kiriman Trent Alexander-Arnold memang mengarah ke kepala pria Brasil itu. Alisson pun menyundul bola dan menggetarkan jala Johnstone untuk membuat papan skor berubah menjadi 1-2. Tak lama berselang, wasit meniup peluit panjang dan Liverpool sah mengantongi tiga poin!
Walau tak sedramatis biasanya, kisah itu seperti melanjutkan cerita-cerita dramatis lain yang acap diperlihatkan Liverpool.
Suporter The Reds tentu masih ingat bagaimana tim kesayangan mereka bangkit dan sukses melakukan comeback saat bersua Borussia Dortmund di awal periode kepelatihan Klopp yakni musim 2015/2016.
Pada laga perempatfinal leg I Liga Champions, Dortmund dan Liverpool bermain imbang 1-1. Pada leg II, Dortmund sempat menghentak dengan unggul 2-0 di babak pertama. Namun anak asuh Klopp berhasil bangkit dan menutup laga via skor 4-3. The Reds pun melaju ke semifinal.
Pada musim 2018/2019, giliran Barcelona yang jadi korban kedekatan Liverpool dengan Dewi Fortuna. Dalam laga pertama babak semifinal Liga Champions, Salah dan kawan-kawan dihajar 3-0. Keadaan itu bikin siapapun pesimis bahwa klub asal Inggris ini masih punya kesempatan lolos ke final.
Akan tetapi, lewat upaya keras dan naungan Dewi Fortuna, Liverpool bisa memunculkan keajaiban dengan meluluhlantakkan Barcelona di laga kedua. Empat gol berhasil disarangkan The Reds untuk mempecundangi sang lawan sekaligus mengenggam tiket ke final.
Mereka sendiri jadi kampiun Eropa untuk keenam kalinya pada musim tersebut usai mengandaskan perlawanan Tottenham di partai puncak.
Dan kejaiaban yang paling diingat adalah partai final Liga Champions musim 2004/2005. Bermain di Istanbul, Liverpool tertinggal 0-3 dari AC Milan pada babak pertama. Kekalahan sudah di depan mata. Namun mereka sukses bangkit dan mencetak tiga gol di babak kedua.
Laga berlanjut ke babak tambahan dan adu penalti. Di fase pamungkas inilah, Liverpool akhirnya keluar sebagai pihak yang unggul dan sukses membawa pulang trofi Si Kuping Besar untuk kelima kalinya ke kota pelabuhan.
Liverpool punya slogan You’ll Never Walk Alone, barangkali mereka memang tak pernah berjalan sendirian selama ini. Tak sekadar ditemani fans di seluruh dunia, tetapi juga Dewi Fortuna.