Alan Smith menggegerkan Inggris setelah menerima pinangan Manchester United pada musim panas 2004.
Berita-berita tentang hijrahnya Smith ke kota Manchester memang bikin heboh. Apalagi statusnya adalah figur andalan Leeds United ketika itu dan sangat dicintai publik Elland Road.
Smith mengikuti jejak salah satu maestro sepakbola Inggris, Eric Cantona, yang menyeberang ke Manchester dari Leeds medio 1992 silam.
Kepindahan Smith juga membuatnya bereuni dengan eks rekan setimnya di Leeds, Rio Ferdinand, yang hengkang lebih dahulu ke Manchester yakni pada musim panas 2002.
Sentimen akan kepindahan Smith menyeruak sebab ia pernah mengaku bahwa tak mungkin menanggalkan baju The Whites untuk kemudian memakai seragam The Red Devils.
Sayangnya, ucapan Smith bak pemanis belaka. Ketika tawaran United datang, ia mengiyakannya dan hijrah ke Old Trafford.
“Salah seorang manajer (Sir Alex Ferguson) terbaik di dunia menginginkanku. Bagaimana mungkin aku menolaknya?”
Didorong krisis finansial yang membelit Leeds, Smith menjilat ludahnya dan resmi bergabung ke sang rival bebuyutan.
Smith berdalih jika kepindahannya murni karena klyb butuh suntikan dana segar supaya tak dilikuidasi. Bukan semata-mata keinginannya.
Persoalan finansial yang menimpa The Whites memang pelik. Padahal mereka tergolong sukses pada awal 1990-an sampai awal 2000-an.
Menjual banyak pemain andalannya bikin Leeds keteteran. Mereka akhirnya terdegradasi ke divisi Championship lantaran finis di tiga terbawah klasemen akhir Liga Primer Inggris musim 2003/2004.
Suporter Leeds menganggap kepergian Smith seperti pengkhianatan Yudas terhadap Yesus. Suatu hal yang amat dibenci dan menimbulkan perasaan sakit hati.
Tatkala fans The Whites mengarahkan telunjuk kepada Smith bahwa dirinya adalah sosok yang melanggengkan proses transfer itu, pria kelahiran 28 Oktober 1980 tersebut mengelak. Ia meyakini ada orang-orang yang lebih bertanggungjawab dengan hal tersebut.
“Leeds yang kutinggalkan adalah Leeds yang berbeda. Ada orang yang bertanggungjawab dengan keadaan tim saat itu”, ujarnya. Smith sendiri pernah berujar kalau ia takkan pernah bermain untuk United.
Walau demikian, di kota Manchester juga yang membuat Smith dapat mencicipi manisnya mengangkat trofi Liga Primer Inggris. United ia antara menjadi kampiun pada musim 2006/2007 atau musim terakhirnya berkandang di Old Trafford.
Secara keseluruhan, penampilan Smith selama berkostum merah juga cukup apik. Walau tak selalu menjadi pilihan utama, lelaki berpostur 178 sentimeter itu bisa diandalkan setiap kali dibutuhkan.
Pada saat Roy Keane sering absen, Smith didapuk Ferguson sebagai gelandang. Peran ini sanggup dilakoni dengan cukup meyakinkan.
Malangnya, karier Smith bersama The Red Devils kerap diganggu cedera sehingga ia acap menepi dari lapangan dalam tempo cukup lama. Hal inilah yang mereduksi penampilannya bersama United sampai memutuskan untuk menerima pinangan Newcastle United jelang musim 2007/2008 bergulir.
Minggatnya Smith ke Manchester bikin aroma Roses Derby antara The Whites dan The Red Devils kian pekat. Rivalitas ini sendiri sudah berlangsung sejak lama. Namun di masa depan, bisa saja jejak Smith diikuti pemain-pemain lain.
Sejarah Roses Derby
Pada tahun 1455-1487 terjadi pertempuran besar antara dua kelompok yang memperebutkan tahta kerajaan Inggris. Yorkshire yang identik dengan mawar putih dan Lancashire yang identik dengan mawar merah tak pernah lelah berperang demi mendapatkan tahta yang paling mulia di Inggris Raya tersebut.
Pada awalnya, para bangsawan dari Yorkshire berhasil melengserkan King Henry VI yang saat itu sedang berkuasa. King Henry VI yang merupakan raja dari Lancashire tidak menerima dan berniat untuk mengambil kembali tahta tersebut.
Melalui pertempuran panjang yang terjadi selama bertahun-tahun, Lancashire akhirnya merebut kembali tahta tersebut. Perang demi perang terus berlanjut selama puluhan tahun lamanya. Sampai akhirnya, raja Henry VII yang kala itu berkuasa menikah dengan Elizabeth, putri dari Edward IV yang merupakan bangsawan Yorkshire.
Pertempuran antaran keluarga dari York dan Lancaster pun usai. Lahir juga bendera yang menggabungkan mawar putih dan mawarh merah yang menjadi simbol masing-masing pihak.
Berlanjut ke Lapangan Hijau
Meski sudah terjadi perdamaian antara kedua kelompok tersebut, tetapi sentimen yang diwariskan oleh para leluhur mereka yang masih menyimpan dendam terus dipelihara. Bahkan, sepakbola sebagai olahraga yang menjunjung tinggi nilai sportivitas dijadikan pemicu rivalitas panas antarkelompok tersebut.
Leeds yang diasosiasikan sebagai bangsa Yorkshire memiliki warna putih harus bersaing dengan United yang memiliki warna merah seperti Lancashire. Pada era 1960-1970, duel kedua tim tersebut selalu dinanti oleh masing-masing suporter.
Sebab laga seru dengan intensitas tinggi tergambar nyata selama 90 menit. Di luar lapangan, kedua suporter juga sering terlibat bentrok. Apalagi pada era 1970-an, manakala Inggris sedang marak dengan aksi hooliganisme.
Dua firm dari masing-masing klub yang terkenal disegani, Leeds United Service Crew dan Red Army, begitu sering beradu otot.
Sempat hilang selama beberapa musim, Roses Derby akhirnya muncul lagi di kasta tertinggi sepakbola Inggris per musim 2020/2021 kemarin. Penyebabnya, Leeds dipastikan promosi usai lama berkubang di divisi bawah.
Nahas bagi The Whites, dalam tiga pertemuan terakhir melawan The Red Devils, mereka jadi kubu yang inferior. Dua kekalahan dan satu hasil seri menjadi buktinya. Kian tragis, kekalahan-kekalahan itu berujung dengan skor telak.