Xavi dan Hobinya yang Menyenangkan

Akademi Barcelona yang kita kenal dengan nama La Masia begitu piawai menelurkan pesepakbola hebat. Cesc Fabregas, Andres Iniesta, Lionel Messi, Gerard Pique, dan Carles Puyol merupakan contohnya. Selain mereka, nama Xavi Hernandez juga tak boleh dilupakan.

Pada eranya, Xavi menjelma menjadi salah satu gelandang terbaik yang pernah ada di dunia. Ia mendobrak realita bahwa kemampuan fisik adalah segalanya dalam sepakbola.

Untuk ukuran mayoritas orang Eropa, postur Xavi yang hanya 170 sentimeter memang sebuah anomali. Namun di balik itu semua, lelaki kelahiran Terrassa ini diberkahi kecerdasan luar biasa serta kemampuan teknis mumpuni.

“Fisik saya terbatas. Namun saya survive dengan menggunakan kepala saya”, tutur Xavi dalam sebuah wawancara.

Petualangan di kancah sepakbola Xavi mulai pada usia 11 tahun dengan bergabung ke La Masia. Di sana, ia dididik untuk berpikir cepat ketika beraksi di lapangan. Baik saat mencari ruang, menggiring bola sampai mengambil keputusan. Xavi ditempa agar peka dengan segala situasi yang ada.

“Ketika sampai di Barcelona hal pertama yang mereka ajarkan adalah berpikir, berpikir, berpikir, dan berpikir secara cepat,” jelasnya seperti dikutip dari The Guardian.

Latihan rondo menjadi santapan wajibnya bersama rekan setim di La Masia. Model latihan ini sendiri dipopulerkan oleh legenda asal Belanda yang lama mengabdi di tanah Catalan, Johan Cruyff.

Rondo atau bisa disebut sebagai kucing-kucingan menuntut para pemain berpikir secepatnya untuk memindahkan bola dari satu kaki ke kaki lainnya dalam satu sentuhan tiap pemainnya. Begitu cara Xavi mendeskripsikannya.

Apa yang dirinya tunjukkan ketika di La Masia dahulu sudah menjadi landasan Xavi sebagai seorang yang nantinya menjadi gelandang hebat. Pada usia 14 tahun, rapor sosok yang kini menjadi pelatih klub asal Qatar, Al Sadd, tersebut menjelaskannya secara gamblang.

Pada rapor tersebut, Xavi disebut sangat andal dalam aspek penempatan posisi. Ia tahu cara memosisikan diri yang tepat di atas lapangan sehingga selalu siap membantu rekannya.

BACA JUGA:  Déjà Vu Yaya Toure

Ditambah dengan kualitas operan serta teknis mengontrol bola yang dianggap sebagai kekuatan terbesarnya, masa depan Xavi dinilai bakal cerah.

Kualitas yang dimiliki pemilik 133 penampilan dan 13 gol bareng Tim Nasional Spanyol itu bikin dirinya dipromosikan ke tim utama Barcelona pada tahun 1998. Usianya sendiri kala itu baru mencapai 18 tahun.

Debut Xavi dilakoni pada laga Piala Super Spanyol kontra Real Mallorca. Manisnya, ia langsung mengukir gol dalam laga tersebut.

Seiring berjalannya waktu, ia mulai menjadi andalan baru di sektor tengah Blaugrana, menggantikan peran dari seniornya yang hijrah ke klub Italia, Brescia.

Selama berkostum Barcelona, Xavi bermain dengan sejumlah nama di lini tengah. Namun tandem paling spesial yang didapatnya tentulah Sergio Busquets dan Iniesta.

Ketiganya bahu membahu menopang kreativitas permainan tim. Hebatnya, semua berimbas pada raihan bermacam gelar. Baik di kancah domestik maupun kontinental. Tak heran bila Barcelona yang dihuni tiga gelandang di atas sempat disebut sebagai kesebelasan terbaik dunia.

Tak cuma kepiawaian melepas umpan yang membuat Xavi pantas dikagumi. Jika keadaan sudah mentok, ia dapat hadir sebagai pemecah kebuntuan dengan visi yang ia miliki.

Pemain yang identik dengan nomor punggung 6 ini bakal akan melihat dua tiga langkah ke depan agar bola bisa sampai ke gawang lawan dengan cepat serta efisien.

Xavi memiliki berbagai opsi agar bola itu bisa sampai ke depan. Baik lewat umpan langsungnya yang akurat dan tak terduga lawan atau mengolah bola terlebih dahulu dengan teknik La Pelopina (memutar badan 360 derajat seraya melihat keadaan di sekelilingnya) untuk kemudian memberi umpan berkualitas.

Figur yang digadang-gadang akan menjadi pelatih masa depan Barcelona ini juga kondang akan sikapnya yang tenang dan penuh kontrol di lapangan.

BACA JUGA:  Michael Jackson dan Kisahnya dengan Sepak Bola

Saat membawa bola, ia begitu sabar dan tidak terburu-buru melepas umpan kendati rekannya terlihat bebas. Teknik ini sendiri populer dengan nama La Pausa.

Xavi seolah ingin memastikan bahwa umpan yang ia kirimkan bisa didapat rekannya seratus persen guna mencetak gol. Xavi tak ingin kesia-siaan, tak ingin membuang tenaganya dengan sembarangan.

“Ia seolah-olah tahu apa yang akan terjadi satu atau dua menit di masa depan ketika kami sedang bermain,” papar eks rekan setimnya di Barcelona, Dani Alves.

Jika kebanyakan gelandang hebat dikenal karena aksi gocekannya. Xavi justru sebaliknya. Ia bukan figur yang hobi memamerkan aksi individu dengan melewati lawan-lawannya.

Ia lebih suka melayani rekan-rekannya dengan umpan berkualitas yang tak mampu dibendung lawan. Seperti yang saya tuliskan di paragraf sebelumnya bahwa Xavi tak suka kesia-siaan dan tak suka memboroskan tenaganya.

Berkat penampilan eksotisnya selama merumput, Xavi menjadi salah seorang pemain dengan gelar paling lengkap di dunia.

Di level klub, ia memanen 25 trofi. Masing-masing berupa delapan titel La Liga, enam Piala Super Spanyol, empat titel Copa del Rey dan Liga Champions, serta dua Piala Super Eropa dan Piala Dunia Antarklub. Ia pun mencicipi manisnya status Treble Winners sebanyak dua kali yakni pada musim 2008/2009 dan 2014/2015.

Sementara di level Timnas, Xavi menyumbang dua trofi Piala Eropa untuk Spanyol yakni pada tahun 2008 dan 2012 berikut sebiji Piala Dunia di tahun 2010.

Pada masa depan, mungkin sulit bagi kita untuk menemukan sosok dengan kemampuan dan prestasi selengkap Xavi mengingat persaingan yang makin ketat di level teratas. Maka layak bila nama Xavi ditahbiskan sebagai legenda sepakbola.

Komentar