Lima bulan pasca-gabung Barcelona, Sergio Aguero memutuskan untuk gantung sepatu di usia 33 tahun.
Keputusan mengejutkan tersebut harus diambil Aguero usai mengalami aritmia jantung kronis dalam laga melawan Alaves pada 31 Oktober 2021 lalu.
Dikutip dari laman resmi National Health System (NHS), yang dimaksud dengan aritmia adalah gangguan irama detak jantung yang tidak beraturan.
Jika penyerang kelahiran Buenos Aires tersebut memaksakan diri untuk melanjutkan karier sepakbola profesionalnya, hal tersebut dikhawatirkan bakal membahayakan nyawanya.
Melansir 90 min, gangguan aritmia tersebut sejatinya telah dialami Aguero sejak usianya masih 12 tahun, dan baru ia rasakan kembali 21 tahun kemudian.
Miris, memang. Namun keputusan terbaik telah diambil. Sebab tak ada yang lebih penting dari keselamatan dan kehadiran bagi orang-orang terkasih.
Yesterday was an emotional day. I want to thank you for the supportive, loving messages that I've received and I'm still receiving. You give me the strength for all things to come ❤️ pic.twitter.com/dTHUBQj5o6
— Sergio Kun Aguero (@aguerosergiokun) December 16, 2021
Digadang-gadang bisa menjadi tumpuan gol Barcelona untuk mengompensasi kepergian Lionel Messi dan Antoine Griezmann, Aguero baru membukukan lima penampilan dan mengepak satu gol musim ini.
Dari lima penampilan tersebut, Kun, panggilan akrabnya, hanya satu kali bermain selama 90 menit.
Cedera otot betis memaksanya lebih banyak menepi dalam dua bulan pertamanya berseragam Blaugrana.
Walau sempat kembali bugar dan mencetak gol debut di laga El Clasico, suratan takdir memaksa sobat karib Messi itu untuk menepi dari panggung sepakbola profesional selama-lamanya.
Meski tak sempat memamerkan kemampuan terbaiknya di tanah Catalan, Aguero punya status legenda yang tak terbantahkan di Inggris.
Berkat pengabdian selama satu dekade untuk Manchester City, kedudukannya dianggap setara dengan dewa bagi publik Stadion Etihad.
https://twitter.com/ManCity/status/1471078332728897537
Bersama Vincent Kompany, David Silva, dan Yaya Toure, Aguero menjadi pemain City yang mampu menjuarai Premier League di bawah arahan tiga pelatih sekaligus, yakni Roberto Mancini, Manuel Pellegrini, dan Pep Guardiola.
Total, mantan menantu dari mendiang Diego Maradona tersebut sanggup merengkuh enam trofi Premier League.
Dari enam kesempatan tersebut, momen yang paling penting dan mengukuhkan statusnya sebagai legenda The Citizens adalah trofi Premier League pertamanya yang diraih pada musim 2011/2012.
Golnya di detik-detik akhir laga kontra Queens Park Rangers mengantarkan City pada tahta tertinggi di Inggris setelah 44 tahun. Hal itu tentu abadi dalam memori para penggemar sepakbola.
Pasalnya, gelar tersebut tak sekadar buah investasi besar-besaran yang dilakukan City Football Group sejak 2009, melainkan juga pengubah persepsi dunia terhadap klub yang identik dengan warna biru langit tersebut.
Berkat raihan juara Premier League perdana mereka kala itu, publik global mulai menyadari jika City adalah klub serius yang tidak sekadar dipandang sebagai ‘tetangga berisik Manchester United’.
Sergio Aguero has a firm place in #PL history, winning 5 titles with @ManCity and scoring 184 goals
None more so famous than this one… pic.twitter.com/gfDdubK4ph
— Premier League (@premierleague) December 15, 2021
Selain kontribusi krusial yang tak terbantahkan bagi City semenjak direkrut dari Atletico Madrid, striker dengan tinggi badan 173 sentimeter tersebut juga punya pencapaian individu yang gemilang.
Koleksi 260 golnya di semua ajang menempatkannya jadi topskorer sepanjang masa The Citizens secara mutlak.
Tak hanya itu, catatan 184 golnya di kompetisi Premier League membuat lulusan akademi Independiente tersebut menduduki peringkat keempat dalam daftar pencetak gol terbanyak Premier League sepanjang masa.
Aguero hanya kalah dari sosok-sosok pahlawan lokal nan legendaris seperti Alan Shearer, Wayne Rooney, dan Andy Cole.
Adaptabilitas Aguero dalam menghadapi perubahan tren taktikal juga patut diberikan apresiasi tinggi-tinggi. Ia sanggup menjadi andalan tiga pelatih dengan pendekatan yang berbeda.
Baik bersama Mancini, Pellegrini, maupun Guardiola, ayah dari Benjamin itu selalu mampu menerjemahkan instruksi sang arsitek di lapangan dengan sempurna.
Saat Aguero pertama kali berlabuh di Stadion Etihad pada bursa transfer musim panas 2011, sepakbola Inggris masih berkiblat pada formasi 4-4-2 yang kadang dimodifikasi menjadi 4-4-1-1.
Penyerang lincah dan visioner biasanya akan diduetkan dengan penyerang konservatif yang punya naluri gol tinggi.
Aguero masuk dalam kategori yang pertama. Saat membela panji Atletico, pria kelahiran tahun 1988 itu selalu diduetkan dengan penyerang bergaya konvensional seperti Fernando Torres, Diego Forlan, dan Diego Costa.
Di City, situasinya tak berbeda jauh. Oleh Mancini, ia diduetkan secara bergantian dengan Edin Dzeko, Carlos Tevez, dan Mario Balotelli.
Pada era Pellegrini, Aguero kerap diduetkan dengan Alvaro Negredo. Disebut oleh mantan rekan satu timnya, Samir Nasri, duet Aguero dengan Negredo tak punya kelemahan.
“Mereka tidak punya kelemahan. Mereka sangat bagus ketika dimainkan bersama. Yang satu berpostur kecil dan cepat. Satunya lagi sangat baik dalam menahan bola untuk jadi tembok pemantul dan juga bisa mencetak gol. Mereka bermain untuk bersenang-senang,” ujar eks gelandang Tim Nasional Prancis itu.
Pada akhir musim 2013/2014, duet Aguero dan Negredo secara keseluruhan menyumbang 51 gol dan mengantarkan City menjuarai Premier League dan Piala Liga.
Dengan formasi striker kembar, The Citizens masih sanggup berprestasi di Inggris. Namun sayang, peruntungan mereka tidak begitu cemerlang di Eropa.
Dalam kompetisi Eropa di mana tim-tim kaliber dunia seperti Barcelona dan Bayern Munchen menerapkan formasi 4-3-3, City kerap kali kesulitan untuk menguasai lini tengah karena kalah jumlah.
Seperti pada fase grup Liga Champions musim 2013/2014 tatkala duet Fernandinho dan Toure tak sanggup membendung trio Phillip Lahm, Bastian Schweinsteiger, dan Toni Kroos yang jadi andalan Bayern yang saat itu ditukangi Guardiola.
Direktur Olahraga City, Txiki Begiristain, sangat menginginkan tim arahannya mengadopsi format tiga gelandang bersama Pellegrini untuk bisa berjaya di benua biru seperti halnya Barcelona yang merupakan tempat mengabdi Begiristain sebelum berlabuh ke Inggris. Namun, karena presensi Aguero, wacana tersebut urung terlaksana.
Segalanya berubah tatkala Guardiola membesut City per musim 2016/2017. Kedatangan manajer jenius peraih treble bareng Barcelona tersebut bikin Aguero terpaksa melepas zona nyamannya.
Selain perubahan skema dari 4-4-2 ke 4-3-3, terdapat perbedaan yang mencolok dari segi instruksi yang diberikan pelatih.
Kalau musim-musim sebelumnya Aguero ditugaskan menjadi eksekutor peluang City, di bawah arahan Guardiola, Aguero juga diberi instruksi untuk melakukan pressing secara intens.
“Guardiola sangat menuntut dari saya. Saya harus jadi pemain yang memulai pressing. Saya terus beradaptasi dengan peran ini dan saya harus bisa membantu tim,” ucap Aguero menjelaskan adaptasinya untuk menjalankan peran yang sama sekali baru buatnya.
Kedatangan Gabriel Jesus yang berusia jauh lebih muda dan lebih integral dengan permainan modern pada musim dingin 2016/2017 sempat membuat posisi Aguero terancam.
Akan tetapi, tekadnya untuk beradaptasi sembari terus menunjukkan ketajamannya di depan gawang membuat penyerang Argentina ini didapuk sebagai pilihan utama Guardiola selama empat musim terhitung sejak 2016/2017 hingga 2019/2020.
Tak hanya mampu melakukan pressing, bermain sebagai penyerang tunggal membuat Aguero didapuk sebagai tumpuan tim dalam mencetak gol dan bermain lebih dekat ke kotak penalti ketimbang masa-masa ia bermain dalam format striker kembar.
Dengan statusnya sebagai pemain bintang dan dalam usia yang sudah tidak muda lagi, Aguero sama sekali tak meletakkan ego di depan segalanya dan mencoba sekuat tenaga untuk mengintegrasikan diri dengan salah satu sistem taktikal paling kompleks di dunia racikan Guardiola.
Segalanya terbayar lunas dengan tiga gelar Premier League bersama Guardiola. Meski di musim terakhirnya berseragam biru langit The Citizens, ia tak lagi menjadi pilihan utama karena cedera lutut berkepanjangan dan serangan virus Covid-19 yang sempat menjangkiti pengoleksi torehan 41 gol bersama Tim Nasional Argentina tersebut.
Karena faktor usia dan kebugaran, manajemen City memutuskan untuk tak memperpanjang kontraknya di Stadion Etihad yang kedaluwarsa musim panas 2021 kemarin. Namun, Aguero pergi dengan terhormat.
Ia tidak hanya meninggalkan City dengan status legenda hidup klub, tetapi juga berjasa besar mengantar kesebelasan yang awalnya bernama St. Mark’s itu menjadi tim dengan nama besar yang merombak peta persaingan di tanah Britania dan bahkan Eropa untuk selamanya
Sehat selalu, Kun. Gracias.