Barcelona (Sekarang) Bukanlah Taman Hiburan

Dahulu, Barcelona bergelimang kejayaan. Namun kini, mereka bak mobil yang rusak di sana-sini.

“Marvel bukan film,” kata Martin Scorsese.

Menurut peraih penghargaan Oscar kategori Best Director pada film Departed (2006) itu, Marvel adalah sebuah taman hiburan.

Bisa dibilang, Marvel mirip dengan Taman Impian Jaya Ancol dan itulah yang membuat pasar doyan.

Pangsa pasar Marvel dan Ancol adalah masyarakat perkotaan yang hari-harinya dilindas rutinitas.

Pegawai Disdukcapil melayani registrasi Kartu Tanda Penduduk (KTP), karyawan leasing menagih kredit macet, mahasiswa menuntaskan laporan praktikum, atau satpam menembak termometer ke jidat pengunjung.

Mereka butuh imaji bahwa dunia akan lebih baik lewat cara-cara ajaib. Seketika jurnalis lokal yang dikalahkan berkali-kali oleh kantor dan percintaan bisa jadi manusia laba-laba.

Atau pegawai dinas riset jadi manusia hijau super kuat yang bisa menahan imbang alien kekar. Begitulah film sebagai pelarian. Eskapisme.

Barcelona Dulu dan Saat Ini

Demikian pula sepakbola sebagai tontonan. Pekerja kantoran kadang rela begadang demi tim kesayangannya. Menggantungkan hormonnya pada nasib kesebelasan.

Bila menang, dopamine meningkat, ringanlah kerja esok hari. Namun bila kalah, jangan harap sapaan ramah berbalas senyum.

Sebagai penikmat Barcelona, jujur, pola hidup demikian juga saya jalankan. Tidak sampai begadang, sih, cuma saya lebih cekatan untuk mengecek kabar pertandingan di pagi hari bila Barcelona berlaga.

Hasil akhirnya, seperti film Marvel, memang mudah ditebak. Menang, menang, angkat piala. Seketika, saya selalu full senyum macam Ronaldinho.

Akan tetapi, itu dulu. Saat Pep Guardiola masih menukangi Blaugrana dengan gaya tiki-taka.

Penguasaan bola di atas 55% dan merajai Spanyol serta Eropa jadi muaranya. Empat musim, ada 14 trofi yang memenuhi lemari trofi di Stadion Camp Nou.

Begitu juga saat trio kondang Messi-Suarez-Neymar (MSN) sedang kerasukan setan. Bertiga, mereka menyarangkan 363 gol.

Nahas, itu semua bak kisah usang. Sekarang, taman hiburan bernama Barcelona bahkan nyaris pailit. Dalam arti sebenarnya.

Ngos-ngosan di Copa del Rey melawan klub divisi empat. Terlempar dari tiga besar La Liga karena dikangkangi Real Sociedad dan Real Betis serta mentok di fase grup Liga Champions menjadi rupa Blaugrana saat ini.

Soal keuangan, Barcelona bahkan komikal sekali. Saat tim-tim papan atas Eropa sibuk mencari tambahan amunisi, mereka justru sedang ruwet menjual pemain bergaji mahal dan minim kontribusi. Apalagi pemain-pemain itu susah sekali dilego.

Jangan harap pelarian, menonton Barcelona adalah dipaksa melihat ulang bahwa hidup memang keras, dan sulit.

Ganti pelatih, sudah. Ganti presiden, juga sudah. Namun badai masih enggan berlalu. Sangat gila kalau mengharap hiburan dari Barcelona dalam kurun tiga tahun belakangan.

BACA JUGA:  Euforia Tifosi Italia

Kecuali, hiburan macam roller-coaster. Sebagaimana roller-coaster, kadang menanjak, seringkali terjun bebas. Persis hidup ini.

Dahulu, menonton Barcelona melawan klub-klub medioker bukan pilihan tontonan. Sebab, hasilnya sudah bisa ditebak.

Rayo Vallecano atau Real Mallorca bukan lawan yang bisa bikin penggemarnya senam jantung. Dengan racikan Guardiola sampai Luis Enrique, menang atau tidak bahkan bukan soal.

Berapa gol dan siapa pencetaknya adalah pertanyaan yang lebih relevan. Seperti Marvel, Barcelona kala itu adalah wahana tamasya. Pelipur lara dari omelan bos dan nasib sial di jalanan.

Oleh karena itu pula, Barcelona justru seperti berjarak. Ia adalah tanah yang senantiasa tidak tergapai, hanya bisa dipandangi sampai puas.

Bahwa 50 gol Messi dalam semusim liga dan memborong seluruh piala dalam 1 tahun kalender terlalu indah untuk menjadi nyata. Menonton dan mengetahui kabar tentang Barcelona seakan menjadi alasan untuk tetap hidup.

Turun ke Bumi sebagai Sinema

Sekarang, lewat segala keterpurukannya, Barcelona justru mendekati definisi sinema. Setidaknya menurut Scorsese. Begini katanya.

Cinema was about revelation — aesthetic, emotional and spiritual revelation. It was about characters — the complexity of people and their contradictory and sometimes paradoxical natures, the way they can hurt one another and love one another and suddenly come face to face with themselves.”

Sinema adalah tentang ilham, inspirasi. Bahasa keminggris-nya: revelation. Bahwa menyaksikan Barcelona bukan mengasingkan dari hidup, tapi justru karena mereka, kita membumi. Rapuhnya Barcelona sekarang membuatnya kian dekat dengan sensasi kemanusiaan.

Pengalaman sinematik Barcelona, contohnya, saya dapatkan ketika menyaksikan mereka berlaga di El Clasico episode Piala Super Spanyol kemarin.

Laga selama 120 menit menjelma jadi refleksi, bukan semata tentang skor. Ada cerita-cerita manusia yang berserakan di sana.

Barcelona, seperti lima laga sebelumnya, tertinggal dahulu. Lalu saat kaki-kaki pemain sudah meminta turun minum, sosok jangkung berhasil menjebol jala Thibaut Courtois.

Sosok jangkung yang kerap jadi bahan rundungan penggemar, Luuk De Jong. Setelah hanya dianggap sebagai “pemain bawaan” Ronald Koeman, ia membuktikan tajinya setelah “tuannya” angkat kaki.

Xavi Hernandez membuktikan bahwa meritokrasi, orang dihargai karena kerjanya seperti yang ia janjikan, bukan hanya jualan kecapnya.

Berlari ke tribun, sang striker berselebrasi. Lantas saya merasa berada pada atmosfer khas kelas pekerja bahwa dunia ada untuk diubah dengan kerja, bukan ditunggu.

BACA JUGA:  Kenapa Mendukung Real Madrid (Harusnya) Membosankan?

Benar saja, sebab usai laga, Xavi memujinya sebagai profesional sejati. Diparkir di bench bukan soal. Terus berlatih, saat kesempatan merumput tiba, ia buktikan dengan melakukan pressing, link-up, dan mencetak gol.

Lalu ketika skor 2-1 pada menit ke-87, fans Real Madrid sudah bersorak menunggu peluit akhir, datanglah momen revelation lainnya.

Jordi Alba melakukan rutinitas crossing dan disambut oleh pemuda 19 tahun, Ansu Fati, yang kembali ke rutinitasnya yakni mencetak gol.

Saat Ansu berlari merayakan golnya sembari menunjuk emblem Barcelona di dada, ada perasaan senasib. Bahwa sebagai pemuda, ada hal yang bisa kami perlihatkan kepada dunia, ledakan.

Kami bisa tampil layaknya veteran seperti yang dipamerkan Nico Gonzalez (19), Pedri (19), dan Ronald Araujo (21). Menjadi penyelamat macam Ansu (19) atau kadang gegabah seperti Gavi (17) dan kikuk seperti Ferran Torres (21).

Sebab meledak-meledak, darah muda perlu dibimbing. El Clasico kemarin menunjukkan bagaimana pakem Ing Ngarso Sung Tulodo bekerja.

Mereka yang lebih veteran berada di depan untuk memberi contoh, menjadi teladan. Entah berupa pertunjukan etos kerja seperti pada Luuk de Jong atau secara performa seperti Gerard Pique dan Sergio Busquets.

Sajian drama dan sinema, tentang inspirasi dan kompleksitas karakter serta permainan, membuat diskursus El Clasico kemarin melampaui hasil akhir.

Untuk pertama kalinya, sebuah tim yang keok lima kali beruntun oleh rival abadinya, tetap mampu pulang dengan kepala tegak. Bahkan nada bicara pada konferensi pers begitu optimis.

Joan Laporta mengatkan bahwa tidak ada alasan untuk tidak bangga pada Barcelona yang muncul di laga ini. Daya juang dan penampilan brilian jadi alasannya.

Sementara juru taktiknya, Xavi, menatap ke depan dengan percaya diri. Bahwa yang sedang berjalan di Barcelona bukan sekadar proses, tapi progres. Performa dan mental tim terus melangkah ke depan.

“Bila ada cara hebat untuk kalah, itu tergambar dari laga ini,” tukas Xavi.

Seperti sinema, Xavi memungkas gelaran El Clasico laiknya orang-orang biasa. Orang-orang yang ketika kalah, tidak punya pilihan selain melipur diri dan melanjutkan hidup.

Seketika, Xavi mendadak mewujud Pram dan berkata di telinga saya: “Kita sudah melawan, sebaik-baiknya, dan sehormat-hormatnya.”

Sinema berakhir, tapi tidak dengan inspirasinya. Bahwa Barcelona adalah kita semua, orang-orang biasa. Yang biasa kalah, yang kadang hancur lebur, beberapa kali bisa pantang menyerah. Barcelona memang bukan lagi taman hiburan, dia adalah sinema seutuhnya.

Komentar