Dapatkah teman-teman menemukan kesamaan di antara nama-nama yang saya sebutkan berikut: Miklos Feher (Benfica), Marc-Vivien Foe (Kamerun), Antonio Puerta (Sevilla), Daniel Jarque (Espanyol) dan Phil O’Donnel (Motherwell)?
Saya percaya semua pembaca tahu bahwa mereka adalah pemain sepak bola yang berusia relatif muda dan berada dalam kondisi yang sehat sebelum bertanding, namun mengalami tragedi berupa serangan jantung, atau dalam istilah kedokteran disebut dengan Sudden Cardiac Arrest (SCA), di lapangan.
Malangnya lagi, lima orang ini, dan banyak nama-nama lain yang tidak disebutkan, gagal diselamatkan hingga akhirnya meninggal.
Terkait permasalahan di paragraf sebelumnya, para ahli kesehatan bertanya-tanya, mengapa seorang pemain sepak bola yang berusia muda, terlatih, memiliki kondisi yang prima sampai dengan sebelum pertandingan, kemudian kolaps di lapangan dan berakhir tragis, meninggal dunia?
Data yang mendukung tentang ini memang tidak ada, namun penelitian Van Camp, dkk. pada tahun 1995 yang berjudul Nontraumatic Sports Death in High School and College Athlete menyebutkan ada sekitar 1:65.000 sampai dengan 1:200.000 atlet yang meninggal per tahun akibat SCA.
Walaupun data ini usang ̶ telah berusia 17 tahun, namun tidak ada keraguan bahwa SCA ini adalah penyebab utama kematian pada atlet di usia muda ketika bertanding atau berlatih.
Sebelum membicarakan SCA lebih jauh, ada baiknya kita memahami tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh, khususnya jantung seorang olahragawan profesional dibanding non-olahragawan.
Adalah S. Henschen, seorang dokter yang pertama kali menemukan perbedaan ini pada atlet ski. Pada tahun 1899, lewat pemeriksaan sederhana, ia mampu menyimpulkan bahwa seorang olahragawan memiliki otot jantung yang lebih tebal daripada non-olahragawan.
Penebalan otot jantung ini diakibatkan oleh endurance training (latihan daya tahan) yang dilakukan oleh atlet tersebut untuk meningkatkan stamina. Penebalan ini membawa konsekuensi positif berupa meningkatnya kekuatan kontraksi otot jantung.
Karena kontraksinya yang lebih kuat, denyut jantung olahragawan menjadi cenderung lebih rendah (< 60x/menit) yang dikenal dengan istilah bradycardia.
Bandingkan angka tersebut dengan denyut nadi orang normal yang berkisar pada angka 60-100x/menit. Kalau tidak percaya, silakan hitung denyut nadi Anda sekarang.
Penebalan jantung pada atlet ini kemudian diteliti lebih jauh oleh Barry J. Maron. Dalam publikasinya yang berjudul The Heart of Trained Athlete yang mengomparasi ukuran jantung olahragawan dari berbagai cabang disebutkan bahwa pembesaran jantung pada pemain sepak bola masih berada di bawah atlet lain seperti balap sepeda, renang, dan marathon.
Untuk lebih jelasnya, simak diagram berikut ini :
Walaupun secara ukuran dan kinerja fisiologis berbeda dengan populasi non-olahragawan, hal ini bukanlah sebuah masalah. Alih-alih masalah, hal ini justru sangat baik untuk kesehatan.
Pada tahun 2009, sebuah penelitian yang berjudul Football Stadium Defibrilator for Cardiac Arrest yang dilakukan oleh Thiene G., mempublikasi penyebab utama SCA pada atlet yaitu Hyperthrophic Cardiomyopathy, sering disingkat HCM, (kondisi di mana otot-otot jantung mengalami pembesaran, tetapi tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya) dan Commotio Cordis (terjadinya benturan di area yang spesifik pada jantung sehingga mengganggu kerja jantung).
Dua penyebab ini terutama terjadi pada atlet dengan usia <35 tahun. Khusus untuk HCM, ia adalah penyebab terbesar dengan persentase sekitar 26%, seperti yang ditunjukkan oleh diagram berikut :
Para ahli percaya bahwa HCM diakibatkan oleh mutasi genetik. Sehingga, apabila seorang atlet memiliki mutasi genetis yang mengakibatkan HCM, disertai dengan adanya endurance training yang memperbesar jantung itu sendiri seperti yang telah dijelaskan, jadilah mereka sangat beresiko untuk mengalami SCA.
Malangnya, HCM tidak akan terlihat pada diri seseorang sampai ia mengalami SCA yang mematikan itu.
Lebih jauh membahas SCA, penelitian Drezner, dkk. berjudul Sudden Cardiac Arrest in Intercolligiate Athletes: Detailed Analysis and Outcomes of Resuscitation in Nine Case menyebutkan hanya tujuh dari sembilan atlet yang mengalami SCA mendapat defibrilasi (semacam terapi kejut listrik) dalam waktu 3,1 menit pasca kejadian.
Hasilnya, hanya satu dari tujuh yang bisa bertahan hidup. Dari penelitian ini, dapat kita simpulkan bahwa batas antara hidup dan mati seorang atlet hanya berada pada hitungan menit sampai dengan pertolongan datang.
Penelitian lain oleh Link MS, dkk. pada tahun 2003 berjudul Automated External Defibrilator Arrythmia Detection in A Model of Cardiac Arrest Due to Commotio Cordis menyebutkan persentase keselamatan binatang yang “sengaja” dibuat mengalami SCA mencapai 100% dan 92% jika dilakukan terapi kejut listrik dalam 1-2 menit.
Mengenai data-data yang diperoleh dari penelitian di atas, banyak pihak kemudian mengusulkan perubahan-perubahan terkait Laws of the Game yang diberlakukan FIFA, seperti:
- Kewajiban menyediakan defibrilator (alat terapi kejut listrik) yang terjangkau dalam waktu 3-5 menit
- Membolehkan tim medis masuk ke lapangan jika melihat seorang pemain kolaps, dengan atau tanpa persetujuan wasit utama, tetapi harus diketahui oleh ofisial ke-4 pertandingan, sampai terbukti pemain yang bersangkutan tidak mengalami SCA.
Untuk poin nomor 2, terlebih apabila pemain tersebut terlihat mengalami kejang, sesuatu yang dialami oleh lebih dari 50% penderita SCA.
Tidak hanya sebatas pemberlakuan aturan seperti di atas, FIFA juga mengimbau agar para pemain melakukan pengecekan kondisi jantung secara reguler dengan mengunjungi dokter sebagai langkah pencegahan.
Pengecekan ini meliputi pemeriksaan fungsi dan morfologi (bentuk) dari jantung. Selain itu, FIFA juga mengimbau agar pemain tidak memaksakan diri untuk bermain jika sedang berada pada kondisi sakit demam, karena menurut mereka ada beberapa virus tertentu yang apabila menginfeksi hanya terlihat seperti demam, namun bisa menyebabkan kerusakan pada otot jantung.
Berkat perbaikan-perbaikan pada sistem pertolongan inilah, selain banyak faktor lain tentunya, Fabrice Muamba, eks pemain Bolton Wanderers yang mengalami SCA di lapangan dapat diselamatkan.
Dari rentetan kejadian ini, saya menyadari bahwa sepak bola telah sangat diperhatikan, tidak hanya dari perspektif ekonomi, namun juga kesehatan.
Faktor lain yang tadi disebut menyelamatkan Fabrice Muamba adalah keberadaan seorang konsultan penyakit jantung bernama dr. Andrew Deaner yang ternyata merupakan seorang penggemar Tottenham Hotspur dan kebetulan sedang menonton partai Tottenham Hotspur vs Bolton Wanderers itu.
Dr. Deaner ini ternyata bukan sembarang dokter. Ia juga merupakan sekretaris dari Cardiology Council of the Royal Society of Medicine, semacam pejabat di asosiasi perkumpulan dokter jantung Inggris. Ini adalah bukti bahwa sepak bola telah dinikmati oleh berbagai macam lapisan masyarakat.
Catatan kaki : Tulisan yang sama pernah dimuat dalam Fandom Magazine Edisi 2.