John dan Doris Naisbitts menerbitkan satu buku yang mencerahkan sekali kenapa kemudian Cina menjadi negara yang superpower dalam satu dekade terakhir. Mendominasi perekonomian dunia, memiliki cadangan devisa yang luar biasa besar, dan ini hebatnya lagi, membuat Amerika Serikat, sang polisi dunia, kewalahan meladeni pertumbuhan ekonomi Cina yang melesat naik.
Buku yang terbit pada tahun 2010 ini banyak disarankan oleh dosen-dosen Ilmu Hubungan Internasional di kampus saya sebagai referensi untuk melihat pertumbuhan pesat Cina. Mewajarkan kenapa Cina akan mendominasi dunia dalam berbagai sektor.
Kalau Timur Tengah dan Amerika Serikat banyak berpolemik perihal minyak, Cina jauh lebih tenang. Ia mengalihkan fokusnya tentang bisnis minyak dengan bermain di pasar yang lebih “adem ayem”, yaitu di Afrika. Ia juga menyasar tidak hanya bisnis minyak, namun juga gas alam dan batu mulia. Cina memilih untuk banyak berkembang di banyak sektor dan tidak bergantung di beberapa sektor tertentu untuk pertumbuhan ekonominya.
Dalam salah satu mata kuliah yang saya ikuti, Ekonomi Politik Internasional (yang kebetulan dosennya cantik betul dan sungguh saya idolakan), kami dibeberkan banyak perspektif untuk melihat tumbuh kembangnya perekonomian Cina sebagai sebuah bentuk perencanaan negara yang memang sudah dirancang dengan benar dan berkonsep sangat amat matang.
Deng Xiaoping, yang merupakan pencetus kebangkitan Cina lewat revolusinya sejak tahun 1978-1992, memberikan dasar yang kuat kenapa kemudian Cina bisa menjadi seperti sekarang.
Istilah yang ditawarkan Cina mengacu pada strategi “meminjam anak panah lawan”. Syahdan, dalam satu kisah epik mengenai pertempuran di Cina dalam perebutan kekuasaan, ada satu kubu yang mengirim puluhan kapal tanpa awak ke arah lawan yang ditutup dengan jerami dan kain hitam.
Musuh yang menduga itu adalah pasukan lawan segera melontarkan banyak anak panah dan menghujani ribuan anak panah untuk menyerang kapal-kapal itu. Sayang betul, ternyata itu salah. Ribuan anak panah yang menancap di kapal tersebut tidak membunuh satu pun pasukan lawan. Kubu pengirim kapal segera menarik kembali kapalnya dan menggunakan anak-anak panah yang menancap itu kemudian untuk suplai senjata mereka dalam perang di kemudian hari melawan musuh yang sama.
Fragmen di atas adalah yang terjadi ketika Zhuge Liang dan Zhou Yu berdebat mengenai taktik perang di sungai melawan pasukan Cao Cao yang lebih terorganisir dan sistematis. Zhuge Liang, yang notabene adalah ahli strategi perang terbaik di zaman Sam Kok, mencetuskan bahwa ia mampu mendapatkan 100.000 anak panah dalam waktu singkat untuk memberi suplai bagi pasukan Wu dalam perang mereka melawan pasukan Wei.
Inilah yang kemudian ditiru dengan cermat oleh Deng Xiaoping dalam masa pemerintahannya dalam upaya melakukan revolusi untuk membangkitkan kembali Cina dan menjadi negara seperti yang kita lihat saat ini.
Alkisah, Deng mengundang banyak investor luar untuk datang dan mengajarkan proses pembuatan alat transportasi dan teknologi lainnya untuk kemudian ia serap ilmunya dan membuat sendiri produk yang sama dengan kualitas tak jauh berbeda namun dijual dengan harga miring. Maka tak heran, hampir semua barang saat ini ada made in China-nya, bukan?
Beberapa bahan bercanda di kampus saat itu adalah kisah tentang pesawat jet tempur buatan ala Cina dan Amerika Serikat. Dengan bujet tertentu, Amerika Serikat mampu membuat satu pesawat jet F-16. Sedangkan Cina, dengan bujet yang sama dengan AS, mampu membuat lima pesawat jet menyerupai F-16 dengan harga jual yang lebih murah daripada harga jual jet milik AS.
Ini yang membuat jengkel Amerika Serikat dan beberapa negara liberal di Eropa Barat, semisal Jerman. Cina, mengacu pada buku Naisbitts, menjadi negara terbesar ketiga dunia dalam urusan ekspor, mengungguli Jerman, bung!
Tidak hanya ekonomi, Cina juga menawarkan cara pandang ala Timur yang bisa menandingi Western modern democracy sebagai nilai beradab yang diakui dunia, mengingat sejarah Perang Dunia dan Perang Dingin memang memunculkan negara liberal dan demokratis sebagai pemenang. Jerman luluh lantak di dua Perang Dunia dan Uni Soviet pecah jelang “kekalahan” di Perang Dingin melawan AS.
Saya tentu sepakat dengan artikel Om Lam tentang geliat ekonomi Cina yang agak merunduk dua tahun terakhir. Tapi eksodus pemain top Eropa, yang sedang dalam periode usia emas maupun yang usianya tak lagi muda, tetap mampu diharapkan mendongkrak ekonomi Cina dengan geliat sepak bolanya yang semakin mentereng.
Guangzhou Evergrande dan Shanghai Shenhua bisa terdepan dalam perihal perekrutan banyak pemain bintang. Juga kedepankan nama Jiangsu Suning yang tengah bergeliat dengan masif di bursa transfer sampai akhir Februari tahun ini.
Konon, berdasarkan desas-desus dari dosen pakar fiskal dan ekonomi di kampus, salah satu alasan FIFA “takut” memberi hukuman sanksi ke Indonesia di zaman-zaman terdahulu karena pasar yang ditawarkan Indonesia sangat menggiurkan. Negeri ini, seperti ujar Zen RS, adalah negeri gila nonton bola yang pasarnya sangat teramat menguntungkan.
Kalau kemudian FIFA akhirnya memberi sanksi tahun lalu dan FIFA terkena skandal korupsi kemudian, itu lain soal. Bisa memunculkan dugaan teori konspirasi yang tak berujung.
Cina pun juga gila bola seperti itu. Penikmat sepak bola di negeri Cina sedang bergeliat. Cina hampir selalu dominan di semua bidang olahraga. Bulutangkis, tenis meja, voli pantai, atletik bahkan hingga tenis saat atlet Cina, Li Na, mampu menjuarai Roland Garros 2011 dan Australia Terbuka 2014.
Dari Asian Games hingga Olimpiade, Cina sudah mampu bersanding dengan negara-negara mapan lainnya sebagai kompetitor untuk juara umum. Cina bukan di level yang sama dengan negara Asia lain perihal dominasi di sektor olahraga. Cina, sedang menuju ke titik yang mungkin bisa mencerahkan dan menginspirasi negara dunia ketiga lainnya di Asia dan sekitarnya, Indonesia misalnya.
Siapa tahu ya, Cristiano Ronaldo bisa pensiun di Persib Bandung, kalau geliat ekonomi negara kita setara dengan Cina lima tahun ke depan. Dengan catatan, kalau Indonesia meniru langkah positif Cina perihal pertumbuhan ekonomi dan tidak bebal, ya?
Gong Xi Fa Cai 2567!
NB : Oh ya, kalau mau baca novel Sam Kok dan sejarah tiga kerajaan di Cina, saya sarankan yang versi Yongki Angkawijaya. Lebih sedap dan terjemahannya mantap!