Kuarter empat hanya tinggal 3 detik lebih sedikit. Skor sama kuat, 74-74, dan kalaupun skor ini bertahan tidak akan merugikan kedua tim untuk lanjut ke overtime.
Di detik penghabisan itu, Kris Jenkins, guard Villanova Wildcats, merangsek masuk ke area pertahanan North Carolina Tar Heels. Sepersekian detik, tidak menyentuh satu detik bahkan, ia memposisikan badan condong ke depan, sedikit melompat kecil di udara, dan lepaslah tembakan tiga angka yang melayang di udara tepat pada detik 0,6 jelang pertandingan berakhir dan bersiap untuk berlanjut ke overtime.
Tembakan itu masuk. A buzzer beater.
Pertandingan tersebut adalah Final NCAA Tournament 2016 (4/4) untuk kompetisi basket antar-universitas di Amerika Serikat. Tepat setelah bel berbunyi dan tembakan tiga angka Jenkins memberi kemenangan besar, seluruh ofisial, pemain dan pendukung Wildcats tumpah dalam euforia.
Stadion bergemuruh, luapan kegembiraan membuncah, tapi di satu sudut lain, kamera menyorot wajah pelatih Tar Heels dan barisan pemain cadangannya. Mereka lesu dan tak percaya. Sebuah ekspresi yang mengusik, sekaligus mengundang simpati. Ada campuran rasa takjub, heran, dan sedih.
Di titik itu, terkadang, menonton sebuah kesedihan di dalam suatu kekalahan bisa begitu melankolis dan mengundang empati yang mendalam. Entah kenapa, menonton cuplikan pertandingan basket itu, tepat ketika tembakan tiga angka tadi masuk, saya tidak terkesiap, dan merasakan degup euforia yang membuncah.
Mungkin, karena itu pertandingan basket dan bukan sepak bola. Mungkin juga, karena itu Villanova Wildcats dan bukan Arsenal. Saya tidak berani janji reaksi saya akan sama datarnya andai Olivier Giroud mencetak gol dengan tendangan overhead kick ala Zlatan Ibrahimovic andaikata Arsenal bermain di final Liga Champions Eropa melawan Barcelona pada tahun 2025 nanti.
***
Seingat memori di kepala saya, Arsenal jarang memenangi laga dengan kemenangan dramatis di akhir laga. Gol Danny Welbeck di penghujung laga saat melawan Leicester City di bulan Februari (15/2) lalu adalah satu-satunya gol last minutes yang mampu saya ingat.
Tentu, merayakan euforia akan gol itu juga saya luapkan selepas-lepasnya. Kebetulan, saya menonton di rumah tetangga kosan yang juga teman kampus sendiri.
Saya melompat dari atas kursi, berteriak lantang sambil teriak, “Jancuuuuk, kuwi lo gol cuuuuuk!” dengan tanpa sungkan dan tanpa malu. Di hadapan kawan saya, adik kawan saya, dan ibunya. Di dalam rumah orang lain, saya melepaskan semua emosi dan luapan euforia itu tanpa peduli apa pun lagi.
Tapi itu hanya untuk yang menang. Dan kadang orang lupa, sepak bola sebagai permainan adalah tentang yang menang dan yang kalah. Orang tidak mengingat juara dua (kecuali Anda seorang Johan Cruyff), karena mereka terfokus pada euforia sang juara pertama.
Sepak bola terkadang menjadi sebuah arogansi tiada akhir karena hanya berfokus pada kemenangan, bukan kepada mereka yang kalah karena, semisal, tidak beruntung.
Di final Liga Champions Eropa tahun 1999 di Camp Nou, Bayern Munchen dan Presiden UEFA saat itu, Lennart Johansson sudah bersiap untuk prosesi penyerahan piala untuk The Bavarian dengan mempersiapkan pita berlogo Munchen.
Dua gol Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solskjaer menghancurkan semuanya. Cerita yang sudah dirangkai dan dipersiapkan akan ditutup dengan indah oleh Munchen, dirusak oleh dua sepakan sudut yang sukses dikonversi menjadi dua gol dalam tiga menit injury time.
Kisah di Camp Nou 1999 mirip novel bahagia dengan plot cerita dua pasangan pria-wanita yang romantis, namun tiba-tiba ditutup dengan akhir yang penuh twist, ketika ternyata si wanita menolak diajak menikah karena ia seorang lesbian.
Itu menyenangkan, di satu sisi, tapi juga menyebalkan, di sisi lain. Menyenangkan, karena kejutan cerita bagi pembaca adalah sensasi tiada tanding.
Menyebalkan karena sepanjang cerita, kita dikonstruksikan untuk percaya bahwa jalinan cinta yang berliku dan penuh halangan itu akhirnya berakhir dengan sebuah akhir cerita yang manis lewat pernikahan.
Saya rasa, di titik itu, gol di penghujung laga yang memberi kemenangan bisa sangat amat tajam seperti pedang Isildur yang menjadi warisan para Raja Gondor yang begitu ditakuti oleh Sauron.
***
“Bukan tim terbaik yang menang malam ini, tapi yang paling beruntung,” ujar Lothar Matthaus sesaat usai pengalungan medali bagi juara kedua di tribun. Medali itu hanya satu detik mengalungi leher Matthaus sebelum ia buru-buru melepasnya dan gestur itu menunjukkan kekecewaan yang mendalam.
Masalahnya, terkadang membahas keberuntungan di sepak bola seperti membahas apakah hantu dan alien benar ada atau tidak di muka bumi ini.
Ia metafisik, susah menjelaskan faktor keberuntungan dalam khazanah sepak bola, utamanya, ketika semua bisa dihitung dengan statistik dan angka dalam tabel statistik adalah sesuatu yang didewakan banyak orang.
Banyak orang mencatat jumlah tendangan ke gawang, berapa persen satu tim menguasai bola, berapa banyak tekel dan intersep yang dibuat, tapi coba sesekali, tanyakan pada ahli statistik terbaik di dunia, bagaimana bisa Solskjaer berada di muka gawang Oliver Kahn untuk mencocor bola yang secara ajaib, menghampiri kakinya?
Mungkin, ia memang diinstruksikan Sir Alex Ferguson untuk berdiri di far post dan berharap bola liar mendatanginya. Mungkin juga, prosesi tendangan sudut Manchester United sudah begitu sering diasah di latihan sehingga bisa membuahkan gol.
Tapi agaknya, itu aneh. United mendapat 12 tendangan sudut saat itu dan hanya dua yang berhasil dikonversi menjadi gol. Andai latihan cornerkick United dan data statistik dipadukan, mungkin skor akhirnya adalah 12-1 untuk keunggulan United, bukan?
Karena dengan hal-hal metafisik itu dan sesuatu yang tidak bisa diprediksikan bahkan oleh data statistik sekalipun, kita harusnya sadar dan memahami bagaimana perasaan mereka yang menderita gol di akhir laga.
Ottmar Hitzfeld, pelatih Munchen saat itu, berujar “Kami kaget dengan gol Sheringham, dan mempersiapkan diri memasuki babak tambahan, tapi kemudian gol kedua mereka terjadi dan itulah sepak bola. Kami butuh beberapa hari bahkan minggu untuk sembuh dari kekecewaan ini.”
Agar sepak bola tidak menjadi sebuah glorifikasi yang arogan, ada baiknya sesekali kita merasakan dan membayangkan bagaimana perasaan Oliver Kahn kemasukan dua gol dalam tiga menit di akhir laga dalam sebuah partai final.
Terkadang, tidak semua yang menang adalah hebat, dan yang kalah adalah buruk. Hitam dan putih ada, agar memudahkan orang menentukan tatanan sosial.
Menang dan kalah ada di sepak bola, untuk memudahkan pemahaman akan siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Tapi, tidak semua pecundang, mungkin, adalah mereka yang kalah. Kadang, ada sesuatu yang sulit dijelaskan di sepak bola. Anda bisa bermain sempurna selama 89 atau 90 menit lalu kemudian hancur oleh gol di masa njury time.
Beberapa hari silam (14/4), laga leg kedua babak perempat final Liga Europa yang mempertemukan tuan rumah Liverpool melawan tamu dari Jerman, Borussia Dortmund. Dalam sembilan menit awal babak pertama, Liverpool sudah luluh lantak 0-2 lewat dwi gol masing-masing dari Henrikh Mkhitaryan dan Pierre-Emerick Aubameyang.
Sampai menit ke-79, skor masih berpihak 2-3 untuk keunggulan sang tamu, seusai gol Marco Reus dibalas oleh dua gol dari Divock Origi dan Phillipe Coutinho.
Masalah muncul, justru ketika Dortmund lengah dan memilih memainkan tempo pertandingan melawan tim tuan rumah yang kesetanan mengejar defisit. Benar saja, gol sundulan Mamadou Sakho berhasil menaikkan semangat juang anak-anak Merseyside sampai akhirnya, tusukan James Milner dari sisi kiri pertahanan Dortmund, berbuah umpan silang manis yang dikonversi Dejan Lovren menjadi gol pada menit ke-91.
Gol yang praktis, menghujam telak mental pemain Dortmund. Setangguh-tangguhnya mesin perang ras Arya, mereka masih manusia. Dan manusia, biasanya, kalah oleh waktu. Sisa satu menit tidak membantu sama sekali sebelum peluit panjang berbunyi dan anak asuh Thomas Tuchel terkapar di Anfield dengan tragis.
Mereka berjuang memang, sebaik-baiknya, sehebat-hebatnya. Semua pasukan terbaiknya bermain, armada perang mereka lengkap dengan Mats Hummels menggalang lini pertahanan, dipadu dengan ketenangan Julian Weigl dan kreatifitas Shinji Kagawa di lini tengah. Lini serang pun dahsyat dengan perpaduan trio Reus, Aubameyang dan Mkhitaryan. Apa yang bisa dijelaskan dari kekalahan Dortmund?
Kesalahan Tuchel memasukkan Mathias Ginter dan berupaya memperlambat tempo? Bisa jadi, tapi Dortmund bukan tim kemarin sore. Mereka jelas tahu apa yang harus mereka lakukan.
Saya bersorak untuk kemenangan dramatis armada Jurgen Klopp, tapi di satu sisi, untuk sebuah kekalahan dari gol di penghujung laga yang sulit dijelaskan, saya bersimpati sedalam-dalamnya untuk Die Borrusen.
Kalaupun semua hal itu bisa dijelaskan, hanya bisa dengan satu hal: Air mata.