Sepak bola akan tetap dan selalu dicintai karena ketidaksempurnaannya, dicintai karena kesalahan-kesalahannya, dan dicintai karena Lionel Messi gagal mengeksekusi tendangan adu penalti atau Cristiano Ronaldo tidak bisa bermain penuh saat Portugal meraih gelar internasional perdananya.
Sepak bola lebih mencintai kisah-kisah tak sempurna dan kita lebih menyukai sepak bola yang seperti itu.
Pele pernah hampir melakukannya: menciptakan kesempurnaan sepak bola. Ia meraih Piala Dunia tiga kali, terbanyak dari siapapun manusia yang pernah ada di muka bumi, namun Pele tidak bisa menampik bahwa ia belum pernah sekalipun berkompetisi di Liga Champions Eropa.
Pele tak pernah sekalipun menjejakkan kaki di benua sepak bola. Beberapa orang tidak menganggap itu sebagai hal yang penting, tapi bagi pengagum Diego Maradona —kompetitor abadinya— hal itu adalah cela.
Maradona pun tak sesempurna itu. Bahkan —bisa dibilang ia dicintai justru karena kesalahan-kesalahannya.
Tangan kiri yang diasosiasikan sebagai tangan tuhan adalah kesalahan terbesar bagi siapapun yang meremehkan sikap culas bisa membawa seseorang ke puncak dunia.
Bahkan di penghujung karier, kasus dopingnya malah semakin membuat orang tidak luntur untuk mencintai Maradona. Karena itu membuktikan bahwa Maradona itu manusia, ia bisa berbuat salah, dan itu berarti ia sama dengan kita.
Kesalahan dalam sepak bola adalah elemen yang tidak terpisahkan. Enzo Bearzot, allenatore Italia yang membawa pulang Piala Dunia menampik bahwa kesalahan adalah hal yang musykil dihilangkan dalam permainan ini.
Itulah kenapa pesannya sederhana, tim yang akan memenangkan pertandingan adalah tim yang paling sedikit melakukan kesalahan.
Bearzot lah yang kemudian membuat Paolo Rossi, pemain kurus, lemah, tak bisa gocek —poacher Italia senior Filippo Inzaghi— mampu mengalahkan The Dream Team Brasil 1982 dengan “Pele Putih”-nya.
Bearzot lah yang secara sadar mampu mengejawantahkan bahwa taktik adalah fondasi mutlak untuk menciptakan sepak bola “jauh” dari kesalahan. Sekali lagi; jauh, bukan menghilangkan.
Itulah kemudian yang menjadi “dosa” Josep Guardiola, dengan penuh sikap perfeksionisnya ia hampir menciptakan Barcelona yang begitu sempurna di awal kemunculannya.
Awalnya dunia tersentak, bersorak, bertepuk tangan. Lalu ketika kesempurnaan itu terjadi begitu lama, Barcelona malah justru dibenci, dihujat, serta dicari-cari kesalahannya.
Berapa kali wasit memberi tim lawan kartu merah, berapa kali wasit memberi Barca penalti, sampai berapa kali wasit tertipu oleh akting menawan Sergio Busquets. Segala elu-elu di awal mendadak berubah lemparan hujatan serta sorak ketika Messi dkk menelan kekalahan.
Musim-musim pertama, orang-orang merayakan kemenangan mutlak Barca atas Real Madrid di seluruh partai. Lalu semua berubah ketika tahun demi tahun Madrid tidak bisa berbuat apa-apa jelang menghadapi partai El Classico. Hal yang kemudian mengubah mainset kita yang awalnya menyukai dominasi Barca karena kesenjangan antara perjuangan daerah melawan ibu kota.
Mendadak kita jadi bersimpati kepada Ronaldo, kasihan kepada tukang kepruk Pepe, menaruh iba kepada Iker Casillas, sejahat-jahatnya mereka, ada alam bawah sadar kita yang berbicara bahwa mereka-mereka ini, ksatria putih dari ibukota, tidak layak untuk tidak mendapatkan kesempatan membalas sama sekali.
Sampai akhirnya kita diam-diam bersorak ketika Gareth Bale memecundangi Marc Batra, atau Ronaldo mengolong Claudio Bravo. Kita gembira, kita tanpa sadar senang dengan pembalasan dan benci dengan pertarungan tidak seimbang.
Itulah yang terjadi saat kita bersorak kala Bale berhasil membobol gawang Joe Hart dari tendangan bebas dan tersenyum getir kala Daniel Sturridge memenangkan Inggris di menit akhir pertandingan.
Itulah yang membuat kita gembira kala Antoine Griezmann menghajar Manuel Neuer dan mengubur keberlanjutan dominasi Jerman. Dan hal itulah yang membuat kita diam-diam tersenyum saat melihat Messi menangis kala Vidal mengangkat Copa America.
Sebelum mengundurkan diri dari timnas Argentina, kisah Messi bak dongeng. Terbentur masalah sejak lahir seperti kelainan hormon pertumbuhan, lalu berjuang mati-matian di Rosario, Argentina, dan dengan perjuangan keras berhasil mengatasinya sampai hijrah ke La Masia.
Messi dipuja dan dicintai karena perjuangannya melawan ketidaksempurnaan, ia digemari karena —awalnya— ia merupakan representasi dari kita yang punya masalah-masalah endemik kemudian mampu mencapai mimpi dengan kerja keras dan air mata.
Air mata yang bukannya tidak bisa muncul lagi saat mengalir begitu deras di final Copa Amerika. Fakta yang semakin mendekatkan sang pujaan kepada kita sebagai manusia fana. Membuat kita semakin yakin bahwa ia bukanlah alien yang selama ini kita kira. Meyakinkan kita bahwa Messi adalah idola karena ia manusia seperti kita.
Di sisi lain, Ronaldo juga punya pendekatan yang similiar. Dibesarkan dari keluarga miskin, bapaknya meninggal karena ketergantungan alkohol, dan hanya punya tiga anggota keluarga tersisa yang mencintai Ronaldo tanpa syarat: Kakak laki-laki, Ibunda, dan seorang anak yang kelak diharapkan meneruskan perjuangannya.
Jika Messi adalah alien, Ronaldo yang digambarkan begitu sempurna sering direpresentasikan sebagai robot. Baik karena profesionalismenya yang kelewatan sampai fokusnya terhadap pertandingan yang tiada banding.
Namun, Ronaldo mengakui, bahwa Messi adalah satu-satunya sosok yang telah “memaksa” dirinya untuk berada di level yang sekarang. Tanpa Messi, Ronaldo mungkin tetap hebat, namun kehebatannya tidak akan ada artinya tanpa lawan yang sebanding.
Dan di final di benua yang lain, untungnya Ronaldo tidak terlalu memecundangi Messi karena cederanya meyakinkan kita bahwa Ronaldo bukanlah robot. Ia manusia yang bisa jatuh, ia pria biasa yang bisa terkapar dan menangis.
Faktanya, Ronaldo memang bisa dibuat hanya sebagai penonton kala Portugal meraih Piala Eropa atas tuan rumah. Ya, Ronaldo yang jadi penonton, sama seperti kita. Ronaldo yang manusia, sama seperti kita.
Sebenci apapun kita terhadap salah satu dari keduanya, sepak bola tetaplah membutuhkan sosok pembanding yang sepadan. Pemenang dan pecundang adalah konsep yang berganti makna seiring berjalannya waktu.
Seperti konsep oposisi biner dari Ferdinand de Sausser, tokoh linguistik dari negara penyelenggara Piala Eropa tahun ini. Konsep sederhana yang membagi bahwa suatu hal haruslah dipisahkan jadi dua hal yang berlawanan agar memiliki makna.
Seperti makna hitam yang tidak akan berarti apapun tanpa adanya makna putih, kegelapan tidak akan terlihat menakutkan jika cahaya tidak mendapatkan tempat, dan surga tidak terlihat menggiurkan jika neraka tidak pernah tercipta.
Franz Beckenbauer, Diego Simeone, sampai hipokrit macam Jose Mourinho adalah sosok yang dibutuhkan oleh sepak bola. Sebenci apapun kita terhadap sosok-sosok seperti ini, hidup akan terasa membosankan jika orang-orang seperti Johan Cryuff, Guardiola, sampai Arrigo Sacchi dibiarkan sendirian memainkan dan memenangkan trofi demi trofi.
Dan untuk itulah kesalahan dalam sepak bola akan terus direproduksi untuk keuntungan gegenpressing Klopp, jurus karate Simeone, atau aikido Antonio Conte.
Kita mencintai kesalahan-kesalahan dalam sepak bola, tertawa kala Carlo Ancelotti dipencundangi Rafael Benitez atau Jupp Heynckes dikadali Roberto di Matteo. Alasannya sederhana: agar sosok-sosok agung yang sepertinya tiada banding, bisa terpeleset dan jatuh sehingga kita merasa memiliki keterwakilan di sana.
Karena kita lebih menyukai sepak bola yang seperti itu, bukan sepak bola yang dimainkan robot, alien, atau bahkan dewa-dewa nun jauh di sana.