Manuel Rui Costa: Sang Maestro dari Amadora

Tanggal 13 Januari 2001, saya masih duduk di kelas 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saat itu saya masih sangat gandrung dengan sepakbola, baik memainkan, atau menonton pertandingannya.

Sejak 1994, saat menyaksikan pertahanan tim nasional Italia begitu kokoh meredam serangan-serangan tim nasional Brasil yang berujung pada Romario dan Bebeto gagal mencetak gol di waktu normal, saya langsung jatuh cinta pada AC Milan. Saat itu pertahanan Italia dikawal duet Franco Baresi dan Paulo Maldini, keduanya punggawa Milan.

Pada 13 Januari 2001, AC Milan bertandang ke Artemio Franchi, markas Fiorentina. Pertandingan berlangsung dini hari waktu Indonesia bagian barat. Karena hari itu hari kamis dan keesokan harinya saya masih sekolah, kedua orangtua saya tentu melarang saya begadang untuk menyaksikan tim kesayangan berlaga.

Saya curi-curi kesempatan, terjaga dini hari dan menyalakan layar televisi tanpa suara. Hasilnya? Tim kesayangan saya hancur lebur oleh ulah seorang bernama Rui Costa.

Mengenakan ban kapten di lengan kanan, ia berperan besar pada 3 dari 4 gol yang dicetak Fiorentina malam itu, 2 asis dan 1 gol penutup yang sangat elegan, menendang bola mendatar melalui celah kedua kaki Costacurta, membuat Abbiati sama sekali tak berkutik. Rui Costa benar-benar menghancurkan perasaan saya.

Publik Portugal dan dunia mengenalnya dengan “Sang Maestro”, bagian inti dari generasi emas yang dimiliki Portugal. Lewat tendangan penaltinya timnas Portugal U21 berhasil menjuarai Piala Dunia. Pemain yang lahir di Amadora, Portugal pada 29 Maret 1972 ini tercatat sebagai salah seorang gelandang serang terbaik di generasinya.

Bakat emas Rui Costa ditemukan oleh legenda sepanjang masa Portugal, Eusebio. Saat pertama kali ikut latihan bersama tim junior Benfica, belum genap 10 menit berlatih, Eusebio sudah yakin bahwa Rui Costa kelak akan menjadi pemain penting bagi Portugal.

BACA JUGA:  Barang Antik Bernama Bola Plastik

Eusebio sama sekali tak salah, Rui Costa menjelma menjadi pemain penting bagi Benfica, Fiorentina dan AC Milan, juga timnas Portugal.

Memulai karier profesional di Benfica, masa keemasan Rui Costa terjadi saat ia berlaga di Liga Italia bersama Fiorentina kemudian AC Milan. Saat membela Fiorentina pada tahun 1994 hingga 2001, bersama Gabriel Omar Batistuta, mereka berdua menjadi duet menakutkan, salah satu duet terbaik sepanjang masa dalam dunia sepakbola.

Bukan Kaka, bukan pula Shevchenko, atau Ibrahimovic, atau Inzaghi dan Ronaldinho yang menjadi pemain termahal yang pernah dibeli AC Milan sepanjang masa, Rui Costa lah orangnya. Ini terjadi beberapa bulan setelah Fiorentina menghancurkan AC Milan pada cerita yang saya tulis di atas. Dengan total uang yang harus dikeluarkan Milan sebanyak 43,9 juta euro.

Bermain selama 5 musim di AC Milan sebelum mudik ke Benfica dan pensiun di tahun 2008, Rui Costa berhasil mempersembahkan satu gelar Scudetto Serie A, satu trofi Coppa Italia, satu trofi Piala Super Italia, satu trofi Liga Champions dan satu trofi Piala Super Eropa.

Peran besarnya untuk AC Milan mulai meredup usai kedatangan Kaka. Namun, bagi Kaka, Rui Costa adalah guru, profesor.

“Costa sangat sering menghampiri saya saat jeda pertandingan untuk memberi saran. Misalnya saja, dia memberi tahu saya apa saja yang harus saya kurangi dan tingkatkan di lapangan,” Kaka menambahkan, “Dia juga memberi saya masukan tentang bagaimana cara melewati pemain lawan dan menciptakan ruang untuk rekan-rekan. Dia banyak membantu saya. Hubungan kami lebih seperti seorang profesor dan anak didiknya.”

Gaya permainan Rui Costa memang khas. Ketika bola berada di kakinya, bola seakan melekat, sulit sekali merebut bola darinya. Geraknya yang lamban dan terkesan pemalas malah membuat permainannya terlihat elegan.

BACA JUGA:  Menyanjung Georginio Wijnaldum

Tak salah ia diberi julukan “Sang Maestro”, gerak-geriknya di lapangan dalam menyusun serangan adalah orkestrasi berkelas.

Umpan-umpan tak terduga darinya sangat memanjakan para penyerang yang berdiri di depannya. Batistuta pernah merasakan ini, juga Shevchenko dan Inzaghi, mereka semua benar-benar dimanjakan sang maestro. Permainannya mentahbiskannya menjadi salah satu pemain yang layak menggunakan nomor punggung 10.

Selain Eusebio dan Kaka, banyak pemain yang kagum akan kehebatannya. Cristiano Ronaldo, juniornya di Portugal menjadikan Rui Costa sebagai pemain idolanya. Pele memasukkan Rui Costa dalam jajaran 100 pemain sepakbola terbaik sepanjang masa versinya.

Karier Rui Costa di timnas senior Portugal memang kurang cemerlang, digadang-gadang sebagai generasi emas, tak ada satu gelar bergengsi pun yang diraih Costa dan kawan-kawan di level senior.

Sepanjang 11 tahun membela timnas, Costa berhasil mencetak 26 gol dari 94 pertandingan. Ia pensiun dari timnas usai kekalahan menyakitkan dari Yunani di final Euro 2004 yang berlangsung di tanah kelahirannya. Kemudian 4 tahun kemudian ia memutuskan pensiun dari dunia sepakbola usai pertandingan Benfica menghadapi Vitoria Setubal.

“Saya merasa gembira bisa pensiun di hadapan suporter dan juga pensiun dengan kebanggaan. Banyak sekali emosi dan kesedihan dalam pengunduran diri saya, namun saya merasa bangga dengan karier saya,” ujar Rui Costa sesaat setelah memutuskan pensiun.

Komentar