Distopia Penjualan AC Milan

<> on June 6, 2014 in Milan, Italy.

Para taipan asal Rusia, Amerika Serikat, Timur Tengah, dan kini Tiongkok kini sudah menjadi penghuni tetap tribun kehormatan di berbagai stadion terkemuka Eropa menggantikan para pemilik lama.

Klub Italia, bagaimanapun termasuk terlambat untuk dilirik oleh para investor baru ini. Ada faktor kekeliruan pengelolaan yang menyebabkan banyak klub di negeri ini dilanda kesulitan keuangan, sehingga proses akuisisi lebih kompleks.

Selain itu ada unsur keengganan dan rasa gengsi para pemilik untuk melepas klub ke tangan orang asing. Para pemilik klub yang umumnya merupakan keluarga kaya yang sudah turun temurun menguasai sendi-sendi ekonomi dan kultur negeri peninsula ini menjadikan klub sepakbolanya sebagai identitas dan kebanggaan.

Keadaan ini pula yang terjadi pada AC Milan, di mana calon pembeli dari Tiongkok sedang melakukan negosiasi intensif dan amat melelahkan dengan Silvio Berlusconi selaku pemilik Milan sekarang.

Tahun 1986 silam, Silvio mengakuisisi I Rossoneri ketika klub itu hancur lebur pasca-skandal judi Totonero dan kesulitan finansial. Sebagai sosok visioner yang kontroversial dan memiliki pola pikir out of the box, apa yang dilakukan Silvio pada Milan dengan mengumpulkan para pemain bintang kala itu seperti mengubah cara lama pengelolaan klub sepakbola tidak hanya di Italia saja, melainkan di Eropa.

Sederet prestasi bergengsi juga berhasil ditorehkan Milan, termasuk di antaranya lima gelar Liga Champions selama kepemimpinan Silvio.

Namun era kejayaan sudah berlalu. Silvio tidak lagi memiliki pengaruh dan kekuatan finansial seperti dulu. Akibatnya, Milan terlempar dari jajaran klub elit Eropa. Di negeri sendiri saja, klub yang didirikan tahun 1899 ini pun kesulitan bersaing. Sudah tiga musim beruntun Milan gagal lolos ke kejuaraan antarklub Eropa.

Atas dasar inilah Silvio berniat menjual klub yang begitu dibanggakannya ini kepada siapa saja yang memiliki kemampuan untuk mengangkat kembali prestasi. Proses akuisisi pun sudah berlangsung sebanyak dua kali sejak dua tahun terakhir, namun belum juga rampung.

Proses pertama terjadi dua tahun lalu ketika konsorsium yang diwakili oleh pebisnis Thailand bernama Bee Taechaubol melakukan negosiasi, namun seiring berjalannya waktu, konsorsium ini tidak dapat memenuhi permintaan Silvio.

Ada angin sejuk berhembus ketika musim panas 2016 lalu sekelompok pengusaha dari negeri Tiongkok datang mengetuk pintu Fininvest, perusahaan holding milik Silvio yang menjadi induk dari AC Milan. Harga jual pun telah ditetapkan sebesar 740 juta euro, yang akan dibayarkan secara berkala.

Terhitung sejak proses awal negosiasi, konsorsium yang kemudian mengenalkan diri dengan nama Sino European Sport (SES) ini pun telah dua kali menyetor deposit yang tidak dapat dikembalikan (non-refundable deposit) senilai masing-masing 100 juta euro kepada Fininfest.

BACA JUGA:  Euforia Tifosi Italia

Setoran pertama dilakukan pada September 2016, lalu yang kedua pada awal tahun 2017. Semula, pengambilalihan akan selesai akhir tahun 2016, namun akibat sulitnya pengusaha Tiongkok mengalirkan dana ke luar negeri –karena pemerintah Tiongkok lebih mendukung investasi dalam negeri untuk memperkuat nilai mata uang yuan–, SES pun membuka rekening di British Virgin Island untuk menyetor tambahan deposit senilai 100 juta euro.

Setoran tambahan ini kemudian memberi SES tambahan penundaan hingga 3 Maret 2017.

Namun hingga 3 Maret 2017, SES kembali gagal menutup transaksi pembelian, dikabarkan akibat mundurnya para investor. Dalam rilis resmi yang dikeluarkan setelah pertemuan antara SES dengan Fininvest, Adriano Galliani, CEO Milan menjelaskan bahwa proses penjualan akan kembali ditunda, dan pihak SES diberikan waktu hingga 31 Maret untuk menutup transaksi.

Jika kita bisa menebak-nebak skenario andai terjadi kegagalan transaksi, maka keluarga Berlusconi akan tetap menjadi pemilik Milan, atau akan ada lagi grup konsorsium lain yang siap melakukan negosiasi baru.

Proses penjualan Milan ternyata tidak berlangsung mudah dan terlalu berlarut-larut tidak seperti yang terjadi pada klub lain. Harapan akan masa depan yang lebih baik atau biasa disebut utopia, kini berangsur menjadi sebuah distopia. Dari sini, kita dapat melihat beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya transaksi ini menjadi kenyataan.

Yang pertama seperti yang telah disebutkan tadi adalah adanya hambatan dari konsorsium Tiongkok untuk mengalirkan dana ke Fininvest. Alasan birokrasi boleh saja dilontarkan, akan tetapi jika melihat dari sisi berbeda, boleh jadi karena para investor melihat investasi kepada Milan tergolong berisiko tinggi.

Begini, dilihat dari aspek finansial, Milan mengalami tren penurunan pendapatan. Jika sebelumnya berada di kisaran 200 hingga 250 juta euro, kini dalam dua tahun terakhir pendapatan Milan mandek di kisaran 200 juta euro berdasarkan laporan dari firma keuangan Deloitte.

Absennya Milan dari kejuaraan antarklub Eropa berpengaruh besar terhadap penurunan ini. Milan juga tidak memiliki stadion sendiri, yang mana hal ini berpengaruh terhadap kemampuan memaksimalkan pendapatan tiket.

Sementara berdasarkan studi valuasi klub yang dilakukan oleh majalan Forbes, peringkat Milan terus mengalami penurunan meski secara kuantitatif tidak terkoreksi signifikan. Namun imbasnya, nilai Milan kini telah berada di bawah Liverpool, Juventus, Chelsea, PSG, Manchester City, bahkan Tottenham Hotspur dan Borussia Dortmund.

Padahal lima tahun sebelumnya, posisi Milan masih bersanding dengan Real Madrid, Barcelona, Manchester United atau Bayern Munchen. Ini menunjukkan bahwa posisi tawar Milan semakin merosot di mata dunia usaha dan penggemar sepakbola.

Apa pengaruhnya? Jelas berdampak pada pemasukan nilai sponsor dan penjualan merchandise.

Konsorsium mana pun yang ingin membeli Milan juga harus membereskan persoalan lain seputar keuangan. Milan diwarisi utang sebesar 250 juta euro dan laporan keuangan yang selalu menunjukkan angka rugi dalam lima tahun terakhir.

BACA JUGA:  Urbi et Orbi: Pesan Paskah dan Luka Marc Bartra

Hal ini tentu saja akan berdampak besar, karena amat mungkin Milan terbentur aturan Financial Fair Play yang diberlakukan oleh UEFA.

Lalu berbicara soal skuat, rasanya agak sulit menemukan hal menarik selain bermunculannya talenta muda lulusan akademi seperti Gigio Donnarumma, Davide Calabria atau Manuel Locatelli, juga para pemain muda seperti Suso Fernandez dan Alessio Romagnoli.

Meski musim ini telah banyak membuang para pemain medioker bergaji besar, namun skuat Milan masih butuh banyak sekali perbaikan. Paling tidak, butuh hingga lima pemain berkualitas untuk benar-benar bisa mengangkat performa Rossoneri agar bisa bersaing di papan atas Serie A dan kembali bertaji di kompetisi antarklub Eropa.

Bagi para calon pemilik, persoalan pelik ini jelas menjadi PR besar. Terdapat potensial tambahan nilai investasi yang jumlahnya sulit diukur, jauh melebihi harga jual yang ditetapkan. Para calon pemilik ini pun seperti berusaha bernegosiasi dengan Silvio untuk menurunkan harga, namun selalu ditolak.

Lalu yang kedua, ada keengganan dari Berlusconi untuk betul-betul melepas Milan. Ia masih ingin memegang kendali dan merasa lebih tahu bagaimana cara mengurus klub ini daripada siapa pun.

Karena itulah ia menuntut persyaratan yang berat, misalnya ia ingin tetap menjadi presiden kehormatan, lalu direksi tetap diisi oleh orang-orang pilihannya, dan skuat yang didominasi mayoritas Italiano. Belum lagi nilai jual yang sudah dipatok secara saklek.

Terakhir, adanya proses tunggu-menunggu antara para pemain, agen pemain, hingga mantan legenda terkait penjualan ini. Keputusan pengambilalihan Milan berpengaruh dengan kelangsungan nasib para pemain, termasuk perpanjangan kontrak pemain sepenting Donnarumma.

Para mantan legenda seperti Paolo Maldini yang sempat didekati untuk menjadi bagian dari manajemen juga menyiratkan keraguannya pada calon pemilik baru Milan karena ia merasa lebih layak diberi peran lebih penting.

Padahal bagi pihak investor di seberang sana, perkembangan Milan saat ini tentu turut mempengaruhi keputusan akuisisi. Situasi ini seperti menunggu mana yang keluar lebih dulu antara ayam atau telur.

Hingga akhir musim di mana posisi klasemen Serie A Italia sudah jelas, rasanya kita masih akan terus melihat proses negosiasi pembelian yang berbelit-belit dan menguras kesabaran.

Untuk mengakhiri distopia yang bagaikanMengapa proses akuisisi AC Milan sulit terlaksana? episode perang tak berksesudahan ini, mungkin tak ada salahnya Silvio mengalah saja dan mengikuti kata Dave Mustaine dalam lagu Megadeth berjudul Dystopia, “The quickest way to end the war is lose.”

Komentar
@aditchenko, penggemar sepak bola dan penggiat kanal Casa Milan Podcast