AC Milan 2002/2003: The Dream Team yang Terlupakan

Sulit rasanya membayangkan Grande Milan era akhir 1980-an hingga awal 1990-an yang diperkuat trio Belanda tersohor itu. Rasanya terlalu jauh bagi pencinta sepak bola era 2000-an untuk membayangkan betapa hebat Marco Van Basten, Ruud Gullit, hingga Frank Rijkaard meski banyak video pertandingannya di kanal Youtube.

Tapi, setiap pencinta AC Milan tentu punya tim terbaik berdasar pengalamannya masing-masing. Untuk generasi yang mulai menyaksikan Rossoneri mulai dekade 2000-an, bukankah bisa untuk menyebut AC Milan yang meraih double gelar Coppa Italia dan Liga Champion 2002/03 sebagai salah satu skuat terbaik? Era AC Milan yang ini tentu masih bisa dijangkau ingatan generasi Milanisti kelahiran 1990-an.

AC Milan 2002/03 bisa jadi adalah tim yang menjadi menu pembuka Milanisti generasi 90-an pada sepak bola untuk pertama kali. Meskipun masih kalah populer dengan AC Milan-nya Arrigo Sacchi, pada awal millenium baru, AC Milan 2003 adalah tim dengan salah satu skuat yang mempunyai nama-nama mentereng di Eropa, tak kalah dengan Real Madrid. Permainannya pun bisa dibilang menghibur mengingat nama-nama berskill tinggi yang bercokol di skuat ini dan racikan permainan menyerang ala Carlo Ancelotti.

AC Milan 2003 adalah tim dengan salah satu skuat yang mempunyai nama-nama mentereng di Eropa, tak kalah dengan Real Madrid.

Dilatih oleh Carlo Ancelotti, bekas anggota The Dream Team dan asisten pelatih Arrigo Sacchi di timnas Italia. Ancelotti langsung nyetel dengan kultur klub, karena ia sendiri pernah menjadi bagian dari Milan selama bertahun-tahun. Ancelotti Direkrut oleh Adriano Galliani, Wakil Presiden AC Milan, atas instruksi Silvio Berlusconi, Presiden AC Milan yang berambisi untuk merajai Eropa kembali, setelah pada musim sebelumnya Milan gagal total di semua kompetisi.

Meski musim pertamanya di Milan Ancleotti kembali gagal total. Berlusconi masih mempercayai Ancelotti untuk tetap mengasuh 23 anak angkatnya di AC Milan. Berlusconi mempersilakan Ancelotti untuk mencari formula yang tepat bagi permainannya, dan menjanjikan Ancelotti pemain yang dibutuhkannya.

Berlusconi yang emoh gagal lagi, bersama Adriano Galliani, mengupayakan segala cara untuk membawa Milan menjadi raja Eropa. Mekanisme kerjanya ialah, Berlusconi memberi perintah, Gaillani bergerak. Dwitunggal AC Milan ini menjadi salah satu aktor penting Milan dalam usahanya menjadi penguasa benua biru.

Sang Presiden merasa Ancelotti butuh asisten untuk menjaga konsistensi yang gagal didapatkan musim sebelumnya. Ia memerintahkan Gaillani untuk mendatangkan 16 staff untuk membantu kinerja Ancelotti. Selain itu Ancelotti juga akan didampingi Mauro Tossatti, rekannya di Grande Milan sebagai Asistennya.

BACA JUGA:  Jejak Pemain Turki di FC Barcelona

Lalu Berlusconi juga memerintahkan Galliani untuk melobi dan bernegosiasi dengan tim yang mempunyai pemain yang mereka incar. Gaillani bergerak, dan hasilnya, John Dahl Tomasson, Alessandro Nesta, Samuelle Dalla Bona, Clarence Seedorf, hingga Dario Simic berhasil didaratkan ke San Siro.

Skuat berkualitas

Akhirnya Ancelotti mendapatkan skuat terbaiknya. Skuat yang dalam dan kualitas yang tak jauh berbeda antara pemain utama dan pelapis menjadi kunci raihan gelar ganda. Di lini belakang sang kapten Paolo Maldini berduet dengan Alessandro Nesta yang baru saja didatangkan dari Lazio. Duet bek tengah ini diapit oleh Dario Simic. Bersama Kakha Kaladze kuartet lini pertahanan ini saling bahu-membahu menggalang pertahanan di depan gawang yang dijaga oleh Nelson Dida.

Di lini tengah, terlihat jelas kekayaan materi pemain Milan musim itu. Di lini ini terdapat nama-nama familiar macam gelandang elegan Fernando Redondo, Clarence Seedorf sang spesialis juara Liga Champion, Andrea Pirlo yang masih muda kala itu, Gennaro “Rhino” Gattuso, Rui Costa, serta Serginho. Barisan gelandang ini yang menyeimbangkan lini belakang dan lini depan AC Milan.

Barisan penyerang AC Milan tak kalah mentereng di barisan terdepan tim ini anda dapat temukan penyerang berkaki 0 yang haus gol Rivaldo, striker oportunis Filippo Inzaghi, Andriy Shevcenko yang berada pada masa keemasannya, serta John Dahl Tomasson yang oleh pers Denmark disebut-sebut sebagai The New Laudrup.

Selain itu masih ada pelapis macam Christian Abbiatti, Roque Junior, Massimo Ambrosini, Leonardo –bekas Direktur Olahraga PSG-, Samuelle Dalla Bona, Thomas Helveg, serta pemain gaek kenyang pengalaman, Alessandro Costacurta. Para pemain ini yang menjadi kepingan-kepingan puzzle terakhir yang dibutuhkan Milan untuk meraih gloria mereka.

Meskipun akhirnya gagal menjadi kampiun Serie A. Pada pertengahan musim Serie A sebenarnya mereka menjadi juara paruh musim, sayangnya konsistensi mereka tidak berjalan dengan baik seiring dengan Coppa Italia dan Liga Champion yang masih mereka jalani. Dan akhirnya klub memutuskan untuk memprioritaskan Liga Champion sebagai sasaran prestasi. Juga Coppa Italia.

Satu target tercapai, yaitu trofi Coppa Italia yang berhasil direngkuh, dan AC Milan juga berhasil masuk ke final Liga Champion. Final Liga Champion 2003 yang diselenggarakan di Old trafford ini mempertemukan jawara Serie A, Juventus, dan juara Coppa Italia, AC Milan. Derby D’Italia di Liga Champion ini jadi penentu, yang pulang membawa trofi-lah yang menyandang status sebagai terbaik di italia.

BACA JUGA:  Angin Perubahan yang Dibawa Carlo Ancelotti

Cerita haru sebelum final Liga Champion

Ada cerita haru beberapa minggu sebelum laga puncak ini dimulai. Seorang anak pengidap Leukimia bernama Andrea merupakan penggemar berat AC Milan, seperti yang telah kita ketahui, umumnya penyakit ini sulit, bahkan bisa dibilang jarang sekali bisa disembuhkan, dan dokter telah memvonis Andrea. Skuat Milan yang mengetahui cerita ini dari media Italia beranjak menjenguk Andrea. Andrea sangat gembira mengetahui bahwa para pemain Milan begitu peduli padanya, di sisa masa hidupnya ia hanya punya satu permintaan, dan permintaan itu ia sampaikan kepada Paolo Maldini. Ia meminta agar AC Milan memenangkan Liga Champion untuknya. Maldini dan kawan-kawan lantas mengiyakan permintaan tersebut.

Maldini telah berjanji kepada Andrea, dan ia mengabsorpsikan cerita sedih ini menjadi peletup semangat rekan-rekannya sebelum laga puncak Liga Champion dimulai. Berlusconi telah menagih prestasi setelah Maldini diberikan tandem, dan rekan-rekan yang luar biasa, Galliani menyampaikan pesan itu dan berharap yang terbaik dari mereka. Ancelotti beserta staff-nya telah mendampingi dan mengasuh mereka dengan baik, ditambah dengan janji yang diberikannya kepada Andrea, tak ada jalan keluar lain bagi Maldini selain memenangkan laga final.

Pertandingan final yang harus berlanjut hingga babak adu penalti ini akhirnya diakhiri dengan manis oleh masuknya bola tendangan Andriy Shevchenko ke jala gawang yang dijaga Gianluigi Buffon. Maldini berlari meluapkan emosinya, menebar senyuman, kegembiraan, dan mengeluarkan segala yang berkecamuk di lobus-nya.

Tagihan Berlusconi, harapan Gaillani, dan usaha Ancelotti beserta para staffnya berhasil dibayar dengan bisnis yang baik, yaitu trofi Coppa Italia dan Liga Champion. Meskipun sempat digadang-gadang sebagai The Next Dream Team oleh media-media Italia karena potensinya merebut treble winner, layaknya murid kesayangan guru yang hanya berhasil menjawab dua dari tiga soal yang tersedia, sang murid tetap dipuja sang guru. AC Milan 2003 masih disebut sebagai tim impian oleh media kala itu, dan sematan itu pun masih layak dengan materi pemain, raihan prestasi, dan berbagai hal lainnya.

 

Komentar
Jurnalis sekaligus penggemar Serie A yang tinggal di Solo. Dapat disapa dan diajak berdiskusi via akun Twitter @taufiknandito