Jurgen Klopp kembali ke Signal Iduna Park (7/4), namun kali ini dirinya datang sebagai lawan. Klopp datang sebagai nahkoda tim merah asal Merseyside. Duel ini seakan sudah ditakdirkan untuk terjadi di saat yang tepat. Memang bukan partai final seperti yang diidam-idamkan banyak orang, termasuk penulis.
Namun duel ini terjadi ketika Klopp telah mengatasi beberapa permasalahan di tim barunya sejak menggantikan Brendan Rodgers. Begitu pula dengan Thomas Tuchel yang telah melewati fase bongkar pasang sejumlah model permainan bagi Borussia Dortmund.
Thomas Tuchel, seperti yang diperkirakan, memainkan Piszczek dan Durm di sisi yang sama. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi beberapa kemungkinan terkait dengan mekanisme pressing yang hendak diterapkan Klopp. Dalam beberapa pertandingan terakhir Klopp menggunakan mekanisme pressing dengan struktur 4-4-2.
Namun materi pemain yang dimilikinya juga memungkinkan Klopp untuk menerapkan mekanisme pressing menggunkan struktru 4-3-3, seperti yang sukses diterapkannya kala menghadapi Manchester City. Jadi, dari awal pertandingan ini digadang-gadang akan menunjukkan adanya duel taktik yang sangat menarik, dan memang demikian!
Build-up Tuchel vs pressing Klopp
Mekanisme pressing seperti apa yang kira-kira digunakan oleh Klopp? Pertanyaan tersebut merupakan yang pertama muncul, mengingat Dortmund di bawah asuhan Tuchel menjelma menjadi tim dengan penetrasi yang mematikan yang didukung dengan build-up yang stabil.
Dalam pertandingan ini Klopp memilih untuk menggunakan mekanisme pressing dalam struktur 4-3-3. Lallana dan Coutinho yang mengapit Origi bertugas untuk melakukan blokade di area halfspace.
Sementara itu Origi sendiri mengorientasikan dirinya kepada Julian Weigl. Dalam beberapa momen terlihat orientasi ini seperti layaknya man-marking yang kaku. Namun dapat juga lebih fleksibel di mana dirinya menggunakan bayang-bayang tubuhnya untuk menutup jalur passing ke Weigl, dengan demikian dirinya dapat turut aktif dalam memberikan pressure terhadap bola.
Ketiga pemain terdepan ini betugas untuk mengarahkan bola ke sisi lapangan. Ketika bola berada di kolom tengah, mereka hanya menunggu dan memastikan bahwa jalur passing di area sentral dan halfspace tertutup. Begitu bola dialirkan ke sisi lapangan mereka akan menaikkan intensitas pressing dengan memanfaatkan pergeseran blok struktural.
Coutinho atau Lallana (tergantung di sisi mana bola berada) akan mulai memberikan pressure dengan tujuan untuk memaksa lawan melakukan progresi via sisi lapangan di mana sebuah jebakan pressing telah disiapkan. Jebakan pressing ini melibatkan sayap, gelandang tengah, dan fullback di sisi di mana bola berada.
Sementara itu Tuchel, dalam rangka menghadapi pressing Klopp, pada awalnya tampaknya mempersiapkan timnya untuk melakukan build-up dengan struktur tiga pemain di lini pertama. Namun dikarenakan Liverpool menerapkan mekanisme pressing dengan menggunakan tiga pemain di lini terdepan, pada perkembangannya Dortmund menjadi lebih fleksibel.
Terdapat sebuah asimetri dalam struktur build-up yang mereka terapkan. Asimetri ini digunakan untuk membuat Dortmund sendiri menjadi lebih fleksibel, apakah menggunakan tiga pemain di lini pertama atau empat pemain.
Schmelzer memosisikan dirinya lebih tinggi ketimbang Piszczek. Sementara itu Hummels mengambil posisi di sekitar kolom sentral, bukannya di halfspace kiri. Dengan demikian Hummels dapat membantu Bender dan Weigl menerapkan overload yang efektif terhadap Origi.
Overload ini menjadi efektif dikarenakan orientasi Origi terhadap Weigl, sehingga dibutuhkan pemain ekstra untuk mendapatkan stabilitas yang diharapkan. Pada babak pertama Origi tampak sering sendirian menghadapi tiga pemain ini, ketika dirinya mencoba untuk memberikan pressure terhadap Hummels atau Bender, mereka dapat dengan mudah mengamankan sirkulasi bola.
Faktor lain yang berpengaruh adalah Lallana dan Coutinho yang sedikit banyak juga berorientasi ke kedua fullback Dormund sambil menutup jalur passing di area halfspace. Dalam beberapa momen Lallana mencoba untuk memberikan pressure pada Hummels dengan memanfaatkan pemosisian Schmelzer yang terlalu tinggi, di mana koneksi aliran bola dari Hummels dapat dipotongnya dengan menggunakan bayang-bayang badannya.
Hanya saja beberapa kali Dortmund dapat keluar dari pressing Liverpool dengan memanfaatkan sejumlah overload seperti yang ditunjukkan pada gambar sebelumnya. Mekanisme-mekanisme overload tersebut membuat pressing Liverpool seolah tidak terkordinasi dengan baik.
Ruang antarlini dalam blok struktural Liverpool
Selain diakibatkan oleh sejumlah mekanisme overload yang diterapkan oleh Dortmund, terdapat manajemen ruang yang memang kurang dikordinasikan dengan baik oleh Liverpool. Hal ini berkaitan dengan bagaimana Liverpool menangani Weigl. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Dortmund meng-overload Origi, sehingga ketika Origi mencoba memberikan pressure Weigl akan bebas. Sementara itu Dortmund masih memiliki satu pemain ekstra yang dapat membawa bola keluar dari pressure.
Hal ini tampaknya sulit untuk diatasi oleh Liverpool. Lallana dan Coutinho lebih terfokus melakukan blokade jalur passing ke kedua fullback dan area halfspace. Sementara itu ketiga gelandang Liverpool tampak ragu-ragu untuk keluar meninggalkan areanya untuk menjaga Weigl dan memberikan bantuan pada Origi.
Mereka khawatir bahwa ruang antarlini mereka dapat diakses Dortmund dengan mudah, di mana Castro dan Mkhitaryan beroperasi. Hal ini semakin diperparah dengan tidak adanya pemain no. 6 murni yang dapat mengamankan ruang antarlini. Can-Henderson-Milner sering memosisikan diri mereka sejajar.
Sementara itu pemain-pemain di lini belakang, terutama duet Sakho-Lovren tampaknya tidak berani keluar terlalu jauh untuk mengamankan ruang antarlini. Mereka lebih memilih untuk mengantisipasi kecepatan yang dimiliki Aubameyang, Reus, dan Schmelzer.
Melalui mekanisme semacam ini Dortmund beberapa kali terlepas dari pressing dan dapat mengakses ruang antar lini. Atau mereka dapat memberikan bola ke Weigl sehingga memaksa blok Liverpool untuk turun lebih dalam.
Dortmund mengalami sedikit diskoneksi
Hal ini diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama, pemosisian Schmelzer yang terlalu tinggi. Hal ini mengakibatkan Liverpool hampir selalu dapat mengarahkan pressing mereka ke sisi Piszczek, sehingga mereka tidak perlu mengambil keputusan terlalu banyak dalam hal menetukan arah pressing.
Kedua, Weigl berdiri sendiri di ruang no.6 dikepung enam pemain Liverpool. Sehingga ketika bola dimainkan ke sisi lapangan, Liverpool selalu dapat mengisolasi aliran bola dan merebutnya. Castro terkadang ikut turun masuk ke ruang no.6, namun area operasi utama dia adalah di ruang antar lini. Ketika Castro turun, maka jumlah pemain di ruang antar lini akan berkurang, Liverpool dapat mengamankan zona tersebut dengan lebih mudah.
Aspek yang paling dominan tentu saja bagaimana Liverpool dapat dengan mudah mengarahkan sirkulasi bola Dortmund dan mengisolasinya di sisi lapangan. Piszczek, Weigl, atau Hummels sangat jarang dapat dengan tepat waktu memberikan support di halfspace bawah.
Memang lini belakang Dortmund dapat beberapa kali mengalirkan bola ke ruang antar lini, namun penetrasi akhir yang diharapkan tidak muncul. Karena Dortmund sebenarnya hanya “melompatkan bola” dan tidak dapat kembali memberikan support. Dengan demikian Liverpool kemudian dapat mengisolasi bola dan merebutnya.
Perubahan-perubahan pada babak kedua
Pada babak kedua, Tuchel memasukkan Nuri Sahin menggantikan Erik Durm. Sahin bermain di ruang no. 6 bersama Weigl. Hal ini ditujukan untuk menghindari adanya diskoneksi, di mana Weigl diharapkan dapat memberikan support terhadap bola di area yang lebih tinggi sementar Sahin tetap tinggal di ruang no. 6, atau sebaliknya.
Pergantian ini memaksa Mkhitaryan untuk mengisi pos sayap kanan, sehingga menghilangkan potensinya sebagai needle player. Koneksi Dortmund di ruang antar lini memang masih ada, namun tidak sebagus Mkhitaryan. Tuchel pada akhirnya menarik Aubameyang dan memasukkan Pulisic untuk mengisi pos sayap kanan dan mengembalikan Mkhitaryan ke ruang antar lini.
Pada saat melakukan build-up Sahin akan turun di antara Bender dan Hummels dengan Hummels bergeser ke halfspace kiri. Atau Sahin yang bergerak ke halfspace kiri bagian bawah, Schmelzer telah memosisikan dirinya di area yang lebih tinggi. Hal ini merupakan hal yang normal untuk mendapatkan pemain ekstra melawan tiga pemain terdepan Liverpool.
Hanya saja pergerakan turunnya Sahin ini justru membawa Joe Allen, yang juga masuk di babak kedua menggantikan Henderson, di mana Joe Allen mengorientasikan dirinya ke Sahin. Ketika Sahin turun lebih dalam, struktur terdepan Liverpool berbentuk 2-4, hal ini berpotensi untuk meningkatkan intensitas pressing Liverpool.
Hanya saja staggering yang terbentuk masih terpecah-pecah sehingga membuka sejumlah jalur passing ke ruang antar lini. Hal ini terutama dikarenakan Origi yang terlalu berorientasi ke Weigl, sehingga ketika Weigl bergerak naik Origi tetap akan mengikutinya. Sementara itu Joe Allen telihat ragu-ragu untuk memosisikan dirinya di lini terdepan tersebut.
Klopp bereaksi dengan memasukkan Firmino menggantikan Lallana. Liverpool merubah struktur terdepan pressing-nya menjadi 4-2 dengan kedua sayapnya dapat mengembangkan akses lebih agresif jika memungkinkan. Joe Allen tidak lagi mengorientasikan dirinya ke Sahin. Di sini Dortmund kembali mengubah struktur build-up-nya menjadi 3-2 dengan Hummels, Bender, dan Piszczek mengisi lini pertama. Dengan struktur ini, diskoneksi antara Hummels dengan Schmelzer kembali muncul. Namun Sahin dapat turun lebih dalam untuk memberi ruang di halfspace kiri bagi Hummels untuk membawa bola ke depan.
Pergantian terakhir yang dilakukan oleh Klopp adalah dengan menarik Origi dan memasukkan Sturridge. Di sini Sturridge tidak mengorientasikan dirinya ke Weigl, sehingga membentuk blok struktural yang lebih stabil.
Kesimpulan
Penulis sebenarnya justru bersyukur karena kedua tim ini tidak dipertemukan di partai final, Sehingga akan tersaji dua kali laga di antara keduanya. Dengan demikian penulis dapat mengamati dua kali duel taktik yang sangat menarik antara Klopp melawan Tuchel.
Namun terlepas dari itu, dari beberapa masalah taktikal yang muncul menunjukkan bahwa sebenarnya keduanya dapat berkembang lebih jauh lagi bersama timnya masing-masing. Terlebih keduanya juga sama-sama orang baru di timnya masing-masing.