Ketika Stephen Hawking dan Pep Guardiola Menemukan Pola Dalam Kekacauan Pertandingan Sepak Bola

Banyak hal dalam kehidupan ini, sekacau apa pun kelihatannya, selalu memiliki pattern atau pola tertentu. Tentu semakin kacau atau chaos sebuah sistem, akan semakin sulit pula untuk merumuskan polanya seperti kondisi cuaca, pasar saham dan manusia.

Sebuah pertanyaan kritis lalu muncul: Jika pola di dalam sebuah kekacauan sudah berhasil ditemukan, apakah kita dapat memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan?

Pertandingan sepak bola sendiri sesungguhnya merupakan sebuah kekacauan yang terjadi selama 2×45 menit. Ya, setidaknya dibandingkan beberapa olah raga tim lainnya seperti basket atau baseball, sepak bola bisa dibilang lebih chaos.

Pada permainan basket atau baseball, keteraturan atau order dalam permainan bisa lebih sering muncul, salah satunya dipengaruhi oleh banyaknya kesempatan jeda (time out atau lainnya) yang dapat dimanfaatkan untuk menata ulang pola serangan atau pertahanan berikutnya. Lain halnya dengan sepak bola yang permainannya berlangsung lebih mengalir tanpa ada interupsi yang berlebihan untuk membuat semuanya tertata.

Kekacauan yang dimaksud dapat dipengaruhi oleh interaksi berbagai hal seperti taktik pelatih, kedinamisan 22 pemain di atas lapangan, faktor cuaca, kondisi lapangan, keputusan wasit, dukungan penonton dan sebagainya. Namun sesungguhnya, tetap masih memungkinkan untuk menyimpulkan pola dari sebuah atau sekumpulan data pertandingan.

Seperti yang dilakukan oleh ilmuwan Stephen Hawking ketika menemukan formula sukses tim Inggris di Piala Dunia dalam sebuah rumus berdasarkan data yang ia kumpulkan sejak tahun 1966 dan juga menganalisis 204 tendangan penalti yang dilakukan oleh tim nasional Inggris. Hawking berkata: “People have craved understanding of the underlying order in the world. The World Cup is no different.”

Salah satu hal yang paling sering diupayakan untuk ditemukan polanya adalah taktik lawan. Meskipun jelas bukan satu-satunya faktor, namun menurut saya kejelian seorang pelatih dan kemampuan para pemain untuk membaca pola permainan tim lawan merupakan salah satu faktor penting yang bisa menghasilkan kemenangan.

BACA JUGA:  Era Baru Rivalitas Italia dan Spanyol

Dan sejauh yang saya amati, Pep Guardiola merupakan salah satu contoh pelatih yang obsesif dalam upaya membedah pola permainan lawan dan kemudian meracik pola yang spesifik atau customized untuk menghadapinya.

Salah satu buktinya adalah dengan sering menurunkan daftar susunan pemain yang berbeda dari satu pertandingan ke pertandingan lainnya. Hingga separuh musim 2015/2016, Pep sudah mengganti starting eleven dalam 104 pertandingan berturut-turut.

Meskipun memang tidak selamanya hal ini disebabkan oleh kebutuhan taktik semata-mata, terkadang alasan-alasan seperti pemain cedera atau menjaga kondisi psikologis pemain agar tetap baik juga ikut memengaruhi keputusan ini. Sebelum Pep, adalah Alex Ferguson yang juga sering melakukan hal serupa. Ia tercatat pernah memainkan 165 starting eleven yang berbeda dalam kurun waktu tiga musim.

Hal menarik lainnya adalah bagaimana Pep menempatkan para pemainnya. Seorang pemain bisa bertukar-tukar posisi dari satu pertandingan ke pertandingan lain atau bahkan di dalam sebuah pertandingan. Tentu saja ini akan membingungkan pemain lawan (dan mungkin juga membingungkan pemain sendiri).

Ada satu kisah lama yang menggambarkan hal ini, yang diungkapkan oleh Christoph Metzelder, mengenang kekalahan telak Real Madrid dari Barcelona dengan skor telak 6-2 pada tanggal 2 Mei 2009. “Seingat saya itu adalah kali pertama Pep menggunakan false 9. Ia menempatkan Eto’o di kanan dan Messi di tengah. Fabio Cannavaro dan saya saling melihat satu sama lain. ‘Apa yang akan kita lakukan sekarang? Apakah kita harus mengikutinya ke tengah atau tetap menunggu di belakang?’ Kami tidak tahu harus melakukan apa dan sangat sulit untuk terus mengejarnya.”

Selama menangani Bayern München, salah satu perubahan posisi pemain yang paling membuat heran banyak orang adalah menempatkan Lahm sebagai pemain tengah. Namun Pep Guardiola bukannya tanpa alasan. Ia menganggap Lahm cermat mengantisipasi aliran bola selanjutnya, lihai melindungi bola dan sangat cerdas, termasuk dalam mencerna perubahan-perubahan formasi taktik yang dikehendaki Pep.

BACA JUGA:  Polemik Ajang Penghargaan di Kancah Sepakbola

Dalam hal formasi, Pep memang punya banyak stok. Setidaknya ada sembilan formasi yang pernah ia terapkan selama menukangi Bayern München seperti 3-3-1-3, 3-4-2-1, 4-3-3 dan sebagainya. Tergantung siapa lawan yang dihadapi dan perubahan yang terjadi pada saat pertandingan berlangsung.

Lalu, kembali ke pertanyaan pada awal tulisan, apakah keberhasilan memecahkan sebuah pola di tengah kekacauan dapat menolong kita untuk memprediksi hasil selanjutnya di masa depan? Atau kalau mau dibatasi dalam konteks sepak bola, pertanyaannya bisa disesuaikan menjadi: apakah dengan keberhasilan menganalisis taktik lawan dan membuat ramuan penangkalnya pasti menghasilkan kemenangan?

Beberapa penelitian ilmiah menunjukkan bahwa meskipun pola dari sebuah sistem yang kompleks dapat dijelaskan, bukan berarti hasilnya di masa depan dapat selalu diprediksi. Dalam batas waktu tertentu, prediksi tentang hasil sebuah pola bisa jadi selalu benar, namun untuk waktu yang lebih panjang, semakin sulit untuk membuat prediksi yang selalu tepat. Satu saja perubahan terjadi, walau kecil sekalipun, dapat memengaruhi hasil akhir.

Buktinya, meskipun Pak Profesor Hawking sudah membuat ramuan sukses di Piala Dunia, Inggris toh kembali gagal menjadi juara di gelaran Piala Dunia 2014 silam. Jangankan juara dunia, jadi juara grup D saja tak mampu.

Pep Guardiola pun dengan segala kecemerlangannya meramu taktik belum berhasil membawa Bayern menjadi juara Liga Champions, meskipun harus diakui juga bahwa dengan kemampuannya memecahkan pola permainan lawan, ia berhasil mencatatkan sejumlah rekor fantastis.

 

Komentar
Penggemar FC Bayern sejak mereka belum menjadi treble winners. Penulis buku Bayern, Kami Adalah Kami. Bram bisa disapa melalui akun twitter @brammykidz