Fantasia, Furbizia, dan Sepakbola yang Mencintai Italia

Bertempat di Stadion Wembley, London, dua negara top Eropa, Inggris dan Italia beradu fantasia, kekuatan, dan strategi dalam laga final Piala Eropa 2020 pada Senin dini hari kemarin (12/7) waktu Indonesia.

Masing-masing negara punya misi tersendiri. Gareth Southgate ingin membawa The Three Lions memenangkan Piala Eropa pertamanya sepanjang sejarah sekaligus menghapus kegagalannya pada semifinal Piala Eropa 1996.

Sementara Roberto Mancini bernapsu memberikan gelar kedua bagi Gli Azzurri pada ajang ini seraya membuktikan bahwa mereka sudah bangkit dari keterpurukan pasca-gagal mentas di Piala Dunia 2018.

Bermain di ‘kandang sendiri’ bikin Inggris di atas angin. Namun Italia yang sedang ada dalam tren positif 33 laga tak terkalahkan mustahil untuk dipandang sebelah mata.

Benar saja, ketika sepak mula dilakukan. Semua berpikir satu hal. Siapa yang pintar memanfaatkan kelemahan lawan, dialah yang mengambil keuntungan terlebih dahulu.

Narasi football is coming home menggema luar biasa seusai Luke Shaw bikin gol cepat pada menit ke-2. Memanfaatkan umpan silang terukur Kieran Trippier, bek kiri bernomor punggung 3 itu merangsek ke kotak penalti dan melepaskan tendangan yang tak bisa dibendung Gianluigi Donnarumma.

Gegap gempita jelas menyelimuti masyarakat Inggris ketika melihat The Three Lions unggul. Nahasnya, momen itu juga menjadi batas akhir kebahagiaan mereka.

Sadar dalam posisi ketinggalan, Italia mengubah pola permainan mereka agar lebih agresif di sepertiga akhir permainan dan sangat merepotkan Inggris kala bertahan.

Gli Azzurri memang gagal menciptakan gol penyeimbang sampai turun minum. Namun momentum tetap ada di tangan mereka pada babak kedua. Selain taktik yang mumpuni, ada dua modal lain yang yakni fantasia dan furbizia.

Dalam bukunya yang berjudul The Dark Heart of Italy, Tobias Jones menyebutkan bahwa dua ‘seni’ di atas merupakan sesuatu yang cuma dimiliki sepakbola Italia.

BACA JUGA:  Arteta dan Kepercayaan pada Proses

Fantasia merupakan seni untuk menghasilkan momen ajaib atau serangan kejutan yang bisa memecah ketangguhan pertahanan lawan.

Gol-gol yang dibuat Nicolo Barella dan Lorenzo Insigne ke gawang Belgia, kemudian gol Federico Chiesa ke jala Spanyol merupakan pameran sejati dari fantasia tersebut.

Lewat permainan yang terstruktur, Italia mendikte permainan lawan. Statistik pertandingan di babak kedua menjadi buktinya. Barella dan kawan-kawan mendominasi penguasaan bola, menciptakan peluang lebih banyak dan beroleh kesempatan untuk melakukan tembakan ke gawang lebih sering.

Sebaliknya, Inggris justru tampak inferior di babak kedua. Mereka tertekan dan kesulitan bikin peluang. Tak ayal jika banyak cuitan di media sosial Twitter yang mempertanyakan keberadaan tiga pemain menyerang Inggris, Harry Kane, Raheem Sterling, dan Mason Mount pada momen tersebut.

Kemampuan Jorginho dan Marco Verratti dalam menguasai bola serta mendistribusikannya ke depan membuat Kalvin Phillips dan Declan Rice sebagai poros ganda Inggris keteteran.

Berawal dari sepak pojok yang didapat, situasi kemelut berhasil diciptakan di depan gawang Jordan Pickford. Di titik inilah Leonardo Bonucci hadir dan melesakkan gol penyama kedudukan yang membawa laga berakhir dengan skor 1-1 di waktu normal dan dua kali perpanjangan waktu.

Di luar fantasia itu, Italia juga memaksimalkan trik-trik licik mereka yang disebut furbizia. Penggemar sepakbola pasti masih ingat aksi Fabio Grosso di menit-menit akhir laga perdelapanfinal Piala Dunia 2006 melawan Australia yang bikin wasit menghadiahi Gli Azzurri dengan penalti? Atau, perbuatan Marco Materazzi kepada Zinedine Zidane di final Piala Dunia 2006 yang bikin legenda Prancis itu diusir keluar lapangan?

Furbizia selalu dipandang sebagai perbuatan tercela. Termasuk oleh media-media Inggris yang berulangkali mengatakan bahwa The Three Lions mesti berhati-hati dengan aksi yang satu ini kala bertanding di lapangan.

BACA JUGA:  Menyoal Gemellaggio dan Para Pelakunya di Serie A

Benar saja, ada cukup banyak aksi furbizia yang dilakukan Italia dalam laga final kemarin. Satu yang paling kentara adalah upaya Giorgio Chiellini menarik kerah baju Bukayo Saka ketika sang pemain muda berhasil mendorong bola jauh dari kaki sang bek agar dapat dikuasai.

Jika pemain dari negara lain akan melepaskan tekel keras atau menarik tangan Saka yang lajunya kencang, maka Chiellini menggunakan intelijensianya dengan baik sehingga memilih kerah baju Saka untuk ditarik sebab lebih mudah dijangkaunya.

Namun bukan Italia namanya jika memanfaatkan itu cuma di atas lapangan saja. Di luar lapangan, mereka juga sudah mengganggu mata dan telinga publik Inggris dengan berbagai provokasi terkait final Piala Eropa 2020.

Ada media yang menuliskan headline bahwa Inggris adalah ‘juara pesanan’ FA kepada UEFA pada turnamen kali ini. Sementara kapten Gli Azzurri, Chiellini, menyebut bahwa presensi Inggris di final bukanlah hal mengejutkan sebab mereka memainkan enam dari tujuh laganya di Stadion Wembley.

Pada akhirnya, Italia membuktikan bahwa mereka lebih berkelas dibanding Inggris. Gelar kedua berhasil diangkut ke Negeri Pizza setelah unggul adu penalti 3-2.

Berbekal strategi, fantasia sampai aksi furbizia, Italia berhasil membuat dewa sepakbola berpihak kepada mereka. Alhasil, football is not coming to home but to Rome.

Komentar
Abdi negara yang suka nonton sepakbola tanpa huru-hara. Akun twitter @abietsaputra