Pada era kepelatihan Paul Lambert, Aston Villa dikenal memiliki kompaksi vertikal dan horizontal yang cukup baik sehingga tidak menyisakan ruang antar lini ketika bertahan. Ketika menyerang mereka memanfaatkan transisi yang ada dan melakukannya dengan sangat cepat. Namun semenjak Lambert digantikan oleh Tim Sherwood, strategi permainan Aston Villa berubah. Fase transisi tidak lagi mereka manfaatkan dengan secepat mungkin. Permainan Aston Villa lebih berorientasi pada penguasaan bola dan high pressing. Beberapa hasil positif pun berhasil didapatkan. Apakah ini berarti pengetahuan taktik Sherwood lebih baik dari Paul Lambert?
Susunan pemain
Pada laga ini, Ronald Koeman – yang masih kehilangan Fraser Forster, Morgan Schneiderlin, dan Dusan Tadic – menggunakan skema 4-2-3-1. Paulo Gazzaniga kembali menjadi pilihan utama di bawah mistar. Lini belakang Southampton diisi oleh duet Jose Fonte dan Toby Alderweireld yang diapit oleh Nathaniel Clyne dan Ryan Bertrand. Victor Wanyama dan Steven Davis bermain di lini tengah sebagai poros ganda dengan James Ward-Prowse memainkan peran no. 10. Posisi sayap diisi oleh Sadio Mane dan Shane Long, sedangkan ujung tombak diperankan oleh Graziano Pelle.
Dari kubu seberang, Tim Sherwood memilih untuk menggunakan skema 4-3-2-1. Shay Given yang bermain sebagai penjaga gawang ditopang oleh duet Jores Okore dan Ron Vlaar. Leandro Bacuna dan Alan Hutton bermain sebagai fullback. Tiga gelandang tengah diisi oleh Ashley Westwood yang bermain sebagai no. 6 di belakang Fabian Delph dan Tom Cleverley – yang bermain sebagai no.8. Posisi duet no. 10 ditempati oleh Jack Grealish dan Charles N’Zogbia. Christian Benteke – yang menemukan performanya semenjak diambil alih Sherwood – kembali menjadi ujung tombak.
Permasalahan kompaksi
Salah satu hal menarik pada pertandingan ini adalah penggunaan dua no. 10 oleh Aston Villa. Ketika Southampton mecoba melakukan build-up dari belakang, keduanya mencegah agar bola tidak dapat diberikan kepada kedua poros the Saints. Pada babak pertama, Southampton tidak dapat melakukan build-up dari belakang dengan memanfaatkan umpan-umpan yang terstruktur. Build-up yang dilakukan oleh Southampton lebih banyak menggunakan umpan-umpan vertikal yang langsung diarahkan ke Pelle. Namun hal ini justru lebih membahayakan. Mengapa demikian?
Ketika bola diarahkan langsung ke Pelle, area sentral Aston Villa hanya diisi oleh Westwood. Lalu di manakah Delph dan Cleverley? Seperti dijelaskan sebelumnya, kedua no.10 Aston Villa bertugas untuk mencegah bola diberikan ke kedua poros Southampton. Hal ini menyebabkan tiga pemain terdepan Aston Villa berada di area sentral, sehingga tidak ada akses pressing ke kedua fullback Southampton. Untuk mendapatkan akses pressing ke fullback Southampton, Sherwood menggunakan kedua no. 8-nya.
Keduanya menempatkan diri di area yang cukup berjauhan dari Westwood untuk menjaga adanya akses pressing ke kedua fullback Southampton. Akibatnya, Westwood harus meng-cover area yang cukup luas. Terlebih, Southampton menjadikan Westwood – yang posturnya lebih kecil – sebagai target duel udara dengan Pelle. Hal ini memaksa salah satu dari bek tengah Aston Villa untuk membantunya sehingga membuka channel bagi Mane dan Long. Hal ini direpresentasikan dengan baik oleh gol pertama yang dicetak Mane.
Selain itu, buruknya kompaksi spasial Villa di area sentral juga membuka halfspace di sekitar Westwood. Untuk mengantisipasi hal ini, Aston Villa menggunakan kedua bek tengahnya untuk menutup halfspace. Di sini terlihat buruknya koordinasi antara Westwood dengan kedua bek tengah The Villans. Ketika Okore atau Vlaar berusaha untuk bergerak ke area sentral, Westwood seharusnya meng-cover ruang yang ditinggalkannya. Yang sering terjadi justru Westwood ikut bergerak ke halfspace sehingga lagi-lagi meninggalkan channel bagi Mane dan Long.
Hal ini direpresentasikan dengan baik pada gol ketiga yang dicetak Mane. Buruknya kompaksi pada sistem pertahanan Aston Villa ditambah dengan tingginya garis pertahanan yang mereka terapkan membuat lini belakang mereka rentan terhadap bola-bola yang diarahkan ke zona di belakang lini pertahanan mereka. Gol kedua yang dicetak Mane merepresentasikan hal ini dengan baik.
Penggunaan sistem pressing dengan menggunakan tiga pemain pada lini pressing terdepan seperti ini akan membuat terbukanya sejumlah ruang terutama di area halfspace. Oleh karena itu, di lini pressing kedua biasanya ditempatkan empat pemain dalam skema 3-4-3. Selain untuk menutup halfspace, penggunaan tiga bek juga dapat mereduksi channel yang ada (hal yang sama dialami Dortmund kala melawan Bayern di semifinal DFB Pokal).
Efektifitas no. 10
Jika kedua no. 10 Villa mampu memaksa build-up Southampton menggunakan umpan-umpan langsung, sebaliknya ketika Aston Villa yang menguasai bola, keduanya tidak memberikan kontribusi yang cukup. Posisi keduanya yang berada di area sentral menyebabkan tidak adanya outlet serangan Villa di sisi lapangan. Hal ini lagi-lagi memaksa Delph dan Cleverley untuk bergerak melebar agar kedua fullback Villa mendapatkan akses dalam kombinasi umpan. Akibatnya adalah, mudah bagi Southampton untuk mengisolasi Westwood via Ward-Prowse dan Pelle.
Koeman menerapkan sistem pressing situasional dalam skema 4-4-1-1. Para pemainnya menempatkan pemain-pemain Aston Villa dalam bayang-bayang mereka dengan cerdas. Hal ini membuat sirkulasi bola Aston Villa hanya berkutat di belakang dalam bentuk-U, dari bek kiri ke bek tengah, ke bek kanan, dan kembali lagi.
Ward-Prowse yang berorientasi pada Westwood juga ikut membantu turun lebih dalam untuk mereduksi channel di antara Davis dan Wanyama. Sehingga, praktis zona 14 di depan pertahanan Southampton tidak tersentuh oleh Aston Villa.
Hanya ada dua progresi yang dapat dilakukan Aston Villa. Pertama melalui area sayap. Progresi bola dari belakang melalui area sayap sebenarnya tidak dapat disebut sebagai progresi, karena mudah bagi lawan untuk mereduksi ruang dan opsi yang dimiliki pembawa bola di area sayap. Selain itu, jika memanfaatkan progresi dari sisi lapangan untuk kemudian diakhiri dengan umpan silang, pemain bertahan lawan tentu sudah mengantisipasi hal tersebut. Berbeda jika umpan silang yang dilakukan berawal dari progresi bola melalui area sentral.
Kedua, melalui umpan langsung vertikal ke Benteke yang bergerak ke channel. Progresi ini juga mudah diantisipasi oleh lini pertahanan Southampton, karena lini pertahanan mereka tidak begitu tinggi. Selain itu, The Saints memiliki kompaksi yang rapi baik secara vertikal (jarak antar lini), horizontal (jarak antar pemain dalam satu lini) maupun spasial (kerapatan ruang dalam satu blok pertahanan). Sehingga, bola kedua selalu berada dalam kekuasaan pemain-pemain Southampton.
Overload
Pada babak kedua, Sherwood melakukan sedikit perubahan. Kedua no. 10-nya menjadi lebih banyak bergerak ke area halfspace dan sayap sehingga serangan-serangan Aston Villa kini memiliki outlet yang lebih jelas. Selain itu, pergerakan mereka juga mengakibatkan overload di area sayap dan halfspace. Sementara itu, Benteke bergerak di channel yang jauh dari bola untuk menarik salah satu bek tengah yang jauh dari bola. Dengan demikian, maka bek tengah yang dekat dengan bola harus tetap berada di tempatnya untuk meng-cover areanya. Sayangnya, Aston Villa tidak mampu memindahkan bola karena tidak adanya pemain yang menjadi outlet di sisi jauh (Bayern melakukan ini ketika melawan AS Roma di Liga Champions).
Mengetahui hal ini, Koeman menarik Davis dan menggantikannya dengan Maya Yoshida. Yoshida bermain sebagai bek tengah, sementara itu Alderweireld bergeser sebagai no. 6 di belakang Wanyama dan Ward-Prowse. Dengan adanya seorang no. 6, maka salah satu bek tengah yang dekat dengan bola dapat bergerak untuk meng-cover area yang mengalami overload sementara gelandang no. 6 dapat meng-cover ruang yang ditinggalkannya.
Kesimpulan
Mungkin masih terlalu dini untuk menilai kelayakan seorang Tim Sherwood untuk menangani Aston Villa. Namun ada satu hal yang perlu digarisbawahi, yaitu masalah kompaksi. Masalah kompaksi memang menjadi kultur yang pada dekade ini telah membuat tim-tim Inggris gagal bersaing di Eropa. Apabila tim-tim Inggris masih menaruh kepercayaan pada pelatih-pelatih yang masih belum memahami pentingnya kompaksi, maka peluang tim-tim asal Inggris untuk kembali berjaya di Eropa sangat kecil. Aston Villa saat ini memang bukan tim yang menjadi representasi Inggris di Eropa. Namun, apabila kompetisi di Inggris masih mengabaikan pentingnya masalah kompaksi tentu hal ini akan memengaruhi tim-tim yang menjadi wakil Inggris di kompetisi Eropa.