Melihat Jack Wilshere sebagai Anti-Hero

Sebagai salah satu penggemar timnas Inggris beserta produk liganya, penulis merasa tertarik ketika ada tulisan yang mengupas mengenai seluk-beluk timnas Inggris. Khususnya mereka yang dengan cermat dan obyektif mampu mengupas kurang-lebihnya timnas Inggris yang sudah terlanjur dinilai sebagai timnas paling overrated selama satu dekade ini.

Dalam artikel perihal “Bintang Lini Tengah Timnas Inggris”, aktor yang dimasukkan oleh Jordiawan adalah Fabian Delph, Jordan Henderson, Jonjo Shelvey dan Jack Wilshere. Sebenarnya kalau mau jujur, mengingat Euro 2016 masih tahun depan dan Inggris sudah mengantongi tiket lolos, sisa pertandingan kualifikasi bisa digunakan untuk mencoba komposisi lini tengah yang masih dipenuhi talenta muda di luar empat nama tadi.

Ross Barkley tentu saja salah satunya. Kemudian ada beberapa pemain lainnya, sebut saja James Ward-Prowse milik Southampton yang piawai dalam eksekusi bola mati. Lalu ada nama Will Hughes dari Derby County yang walau berlaga di Divisi Championship namun memiliki kualitas yang membuatnya sempat diincar Liverpool. Dan lagi, Will Hughes ini mirip Ed Sheeran perawakannya. Keren, bukan? Dan berturut-turut di belakang dua nama tersebut ada nama Ryan Mason dari Tottenham, Ruben Loftus-Cheek dari Chelsea, atau kalau kalian seorang hipster, boleh masukkan nama Dele Alli atau Alex Pritchard, keduanya dari Tottenham, namun Pritchard sedang dipinjamkan ke Brentford.

Kalau anda penggemar Football Manager, daftar pemain yang penulis sebutkan di atas adalah perwujudan nyata brengseknya banderol harga pemain Inggris di pasaran bursa transfer. Harga pemain-pemain tersebut bisa menembus 10-20 juta poundsterling dengan kualitas yang mungkin memang bagus, namun jam terbang mereka memang patut dipertanyakan.

Kecuali Ross Barkley dan Ward-Prowse, bagi penulis, yang lainnya masih belum layak untuk sesegera mungkin dinaikkan ke timnas senior. Kultur sepak bola di Inggris tidak seperti di Spanyol atau Jerman, misalnya. Spanyol sudah memiliki kultur ball-possesion yang jelas tergambar dalam sistem tiki-taka mereka yang fenomenal dan berkuasa di periode 2008-2012 itu. Jerman pun memiliki pembibitan pemain muda yang dinamis dan sistematis, lalu masih diperkuat dengan kualitas kepelatihan Joachim Loew yang handal secara taktikal dan menarik.

BACA JUGA:  Jorginho: Pelayan yang Dibutuhkan Kai Havertz

Bukan mengejek atau meragukan kualitas Roy Hodgson, namun memang secara kemampuan taktikal, Joachim Loew jelas lebih unggul. Bahkan, Loew berani hanya membawa satu striker murni atas nama Miroslav Klose di skuatnya saat Piala Dunia 2014 lalu, membungkam tuan rumah Brasil 7-1 di semifinal dan menghasilkan trofi juara dunia. Walau sebenarnya, kalau FA mau, ada beberapa pelatih kaya taktik yang patut diberi peluang menukangi timnas Inggris, Alan Pardew dan Garry Monk, misalnya. Atau kalau mau lebih hipster lagi, bisa dimasukkan nama Eddie Howe, pelatih AFC Bournemouth.

Namun terlepas dari intermezzo singkat tentang timnas Inggris dan pemain mudanya, penulis ingin memberi kredit khusus dalam tulisan ini perihal Jack Wilshere.

Jordiawan Maramis menggambarkan Jack Wilshere dalam dua kata, cedera dan rokok. Tidak salah. Sejak tiga tahun terakhir, ada sekitar 15 bulan dilewati Wilshere hanya untuk penyembuhan, operasi dan pemulihan cedera. Dengan kualitas lutut yang rentan cedera, Wilshere mudah saja kehilangan tempat di Arsenal yang dipenuhi pemain sekelas Santi Cazorla, Mesut Ozil hingga Aaron Ramsey. Belum lagi ada nama Francis Coquelin yang menjelma menjadi raja tackle di Liga Inggris musim ini.

Namun seburuk itukah Jack Wilshere? Mari mencoba melihat komentar Hodgson Juni lalu yang dikutip Jordiawan terkait Jack Wilshere. Ucapan Hodgson Juni lalu mengacu pada performa Inggris yang mempecundangi Slovenia 2-3 pada 14 Juni 2015 lewat sumbangsih dua gol Jack Wilshere yang semuanya berasal dari tendangan kaki kiri di luar kotak penalti, dan satu gol Wayne Rooney. Dan yang dibobol pun bukan sembarang kiper. Ada nama Samir Handanovic di bawah mistar Slovenia saat itu. Salah satu kiper hebat yang berlaga di Serie-A.

Namun, apakah itu cukup untuk sebuah pledoi kecil-kecilan bagi Jack Wilshere yang gemar dugem dan ketagihan cedera? Tentu tidak.

BACA JUGA:  Membedah Taktik Timnas Selama Gelaran Piala AFF U-19 2022

Makanya penulis menawarkan satu konsep untuk anda bisa memahami dan menerima Jack Wilshere. Ada satu konsep yang disebut anti-hero, konsep yang konon katanya diinisiasi oleh Nietzsche perihal kepemilikan sepenuhnya kebebasan dalam diri manusia tanpa terikat oleh apa pun. Konsep ini melihat upaya manusia untuk berkuasa sepenuhnya untuk dirinya sendiri. Tidak tunduk. Apalagi diperintah dan diikat oleh dogma-dogma aturan yang klise. Konsep yang agaknya juga dimiliki oleh Juan Roman Riquelme atau mungkin seorang Antonio Cassano.

Sebagai anti-hero, kita semua memang akan dengan mudah saja mencaci dan mencibir Wilshere. Tabiatnya liar, mengejek Tottenham Hotspur tidak hanya sekali, tapi bahkan dua kali saat parade perayaan juara Piala FA. Belum lagi beberapa foto yang berhasil menangkap ulah Wilshere saat dugem dan bahkan merokok. Daftar itu masih lebih panjang lagi kalau disertai riwayat cedera Wilshere yang membuatnya seolah tidak ada nilainya dan kualitasnya pun seolah menguap dan biasa-biasa saja.

Pep Guardiola suatu waktu bahkan pernah berujar bahwa pemain dengan kualitas seperti Jack Wilshere begitu banyak di Spanyol sehingga dia tidak memuji Wilshere sebagai pemain bagus. Heroiknya Wilshere di balik penampilan memikat saat melawan Barcelona di tahun 2011 lalu hilang dan memudar begitu saja menjadi kenangan. Karena memang Wilshere hanya memukau beberapa kali saja. Tidak seperti Lionel Messi yang agaknya tiap minggu selalu punya ide segar untuk memaksa dunia mengakui bahwa dia mungkin memang benar Sang Juru Selamat yang ditunggu-tunggu kedatangannya di akhir zaman.

Jadi, penulis beranggapan, justru dengan menjadikannya anti-hero, kita semua akan bisa menemui titik indah dalam mencintai dan mengidolai Jack Wilshere. Seperti layaknya beberapa dari kita yang memuja Joker, daripada mencintai Batman. Seperti itu, ya?

Sekali lagi, God Save The Quenn. Cheers.

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.