Relasi Romantik Prancis Bersama Para Gelandang

Pagelaran Piala Eropa di negeri menara Eiffel pada tahun 1984 adalah cerita tentang kedahsyatan seorang gelandang terbaik Prancis pada masanya.

Gelandang yang tidak hanya menjadi tulang punggung tim, tapi juga wajah timnas Prancis secara umum lewat kapabilitas tekniknya, jiwa kepemimpinannya dan, ya, kemampuannya menghadirkan gelar juara bergengsi bagi negaranya.

Michel Platini, nama gelandang elegan tersebut, mewarisi apa yang kemudian begitu identik dengan timnas Prancis, yakni, relasi romantik dengan para gelandangnya.

Di Euro 1984, ia adalah kapten tim sekaligus pencetak gol terbanyak turnamen dengan catatan sembilan gol sejak babak penyisihan grup sampai partai final melawan Spanyol yang berakhir 2-0 untuk kemenangan tuan rumah. Catatan sembilan golnya pula yang masih tercatat sebagai rekor gol terbanyak dalam satu turnamen Euro dan masih bertahan sampai saat ini.

Generasi 1980 di timnas Prancis pula yang dikenal dunia lewat carre magique yang terbentuk dari poros empat pemain tengah dalam wujud Alain Giresse, Luis Fernandez, Jean Tigana, dan Platini sendiri. Satu bukti nyata sekaligus awal dari sebuah relasi yang erat antara Prancis dan kehebatan para gelandang tengahnya yang brilian.

Dan bintang yang paling terang di antara keempatnya adalah Platini. Le Roi (Sang Raja), julukan yang kemudian disematkan padanya menjadi justifikasi mutlak kenapa kemudian eks Presiden UEFA periode 2007-2015 ini meraih tiga Ballon D’Or beruntun sejak 1983-1985.

Dan tepat 16 tahun kemudian, dua tahun usai memenangi Piala Dunia 1998 di Prancis, pada pagelaran Euro 2000, relasi romantik Les Bleus dengan para gelandangnya masih terpatri kuat dengan munculnya legenda baru dalam diri Zinedine Zidane.

Zidane bukan hanya motor serangan, ia juga nyawa tim dan membentuk lini tengah yang tangguh bersama Christian Karembeu, Didier Deschamps, Emmanuel Petit hingga pemuda-pemuda Parisien saat itu dalam sosok Patrick Vieira dan Robert Pires.

David Trezeguet boleh menjadi pahlawan dengan golden goal berharga ke gawang Italia di final, tapi citra bintang dan sinar terang kejayaan Prancis diprakarsai oleh satu nama legendaris, Zinedine Yazid Zidane.

Manajer Real Madrid ini pula yang kemudian menjadi pemain terbaik turnamen dan meneruskan apa yang menjadi kisah romantis publik Prancis dan dongeng heroiknya dengan para gelandang

BACA JUGA:  Mewajarkan Jeda Internasional

Zidane memang menutup karier dengan noda, tapi Prancis mengenangnya sebagai yang terbaik dari yang pernah ada. Ia bersanding sejajar dengan Platini sebagai gelandang elegan dan nyawa tim Prancis pada eranya masing-masing.

Ia putra imigran Aljazair yang didewakan di Prancis dan memiliki nama yang harum walau melepas karier profesionalnya dengan kartu merah usai insiden dengan Marco Materazzi di final Piala Dunia 2006.

Prancis di Euro 2016

Walau terdengar klise dan penuh praduga, pagelaran Piala Eropa yang akan dimulai per 10 Juni 2016 nanti terjadi tepat 16 tahun usai Prancis menjuarai turnamen Piala Eropa terakhirnya di Belanda-Belgia pada tahun 2000. Rentang waktu yang sama yang dibutuhkan Prancis era Zidane sebelum merengkuh kembali gelar bergengsi di daratan Eropa itu usai era Platini pada 1984.

Kebetulan? Bisa jadi, tapi, kalian tahu, coincidence is logical, isn’t it?

Semua menjadi logis mengingat Prancis memiliki skuat yang begitu dahsyat, utamanya, di sektor tengah.

Memang ada masalah pelik dengan cedera yang menimpa Raphael Varane dan Jeremy Mathieu yang membuat Deschamps memanggil Adil Rami dan Samuel Umtiti. Belum lagi dengan polemik yang menimpa Mamadou Sakho saat terjerat kasus doping.

Seakan belum berkurang, hal itu bertambah dengan dilema kasus yang menimpa Karim Benzema dan sengketannya dengan Mathieu Valbuenna, yang membuat keduanya tidak ada di daftar 23 nama yang akan berlaga di Euro nanti.

Tapi melihat ke deret gelandang Prancis, Anda akan paham yang saya maksudkan di awal tadi. Prancis memiliki nama-nama kelas satu yang kebetulan, musim ini tampil cemerlang di klub mereka masing-masing.

Dimulai dari nama Blaise Matuidi, gelandang senior (29 tahun) yang akan menjaga kedalaman dan ketangguhan lini tengah Les Bleus bersama juara Inggris sekaligus gelandang bertahan terbaik Prancis usai era Claude Makelele, N’Golo Kante.

Andai Deschamps turun dengan format tiga gelandang yang menjadi kebiasaannya, satu slot di tengah mutlak untuk superstar muda Juventus, Paul Pogba. Ketiga nama ini adalah jaminan utama kenapa relasi romantik Prancis dengan para gelandangnya bisa terjaga.

BACA JUGA:  Mengenang Malam Jahanam di Loughinisland

Matuidi memiliki nilai lebih karena berpengalaman dan terlibat dalam dua turnamen mayor bersama Les Bleus (Piala Eropa 2012 dan Piala Dunia 2014). Pogba pun sudah terbukti dengan statusnya sebagai salah satu gelandang terbaik dunia terlepas dengan usianya yang baru menginjak angka 23 tahun.

Dan N’Golo Kante? Gelandang mungil milik Leicester City ini adalah salah satu gelandang terbaik di Liga Inggris musim 2015/2016.

Itulah kenapa tahun 2016 ini adalah momen yang tepat kenapa cerita manis para gelandang Prancis akan bisa membantu negeri yang terkenal sekuler ini untuk membuka puasa gelar selama 16 tahun.

Di luar ketiga nama gelandang berkulit gelap tersebut, Prancis masih memiliki Yohan Cabaye, gelandang tengah milik Crystal Palace. Moussa Sissoko dan Morgan Schneiderlin, yang walau tak menampilkan performa brilian bersama Newcastle dan Manchester United, keduanya tetap nama yang kompeten di posisinya.

Dan satu nama bintang yang bersinar terang musim ini bersama West Ham United, Dimitri Payet. L’Equipe bahkan melabeli Payet sebagai free kick specialist terbaik usai era Zidane.

Tujuh gelandang tersebut masih dibantu dengan daya gedor yang berisi nama Antoine Griezmann, Olivier Giroud sampai Anthony Martial, yang ketiganya sukses mencetak catatan dua digit gol musim ini. Juga masih ada penyerang senior, Andre-Pierre Gignac yang tajam bersama Tigres musim ini. Dan pemuda 19 tahun dari Bayern Munchen, Kingsley Coman.

***

Siklus 16 tahun tentu hanya catatan angka dan cerita pemanis belaka. Tanpa taktik yang pas dan mentalitas juara, kegagalan yang sama akan menyapa Les Bleus seperti yang terjadi di Piala Eropa 2012 dan Piala Dunia 2014 lalu.

Tapi sebentar, bukankah spirit Euro 1984 dan 2000 bisa terulang dengan mengacu pada deretan kelas wahid para gelandang-gelandang timnas Prancis saat ini?

Pogba dan Payet, atau Kante dan Matuidi bisa meneruskan apa yang dimulai oleh Platini dan dilanjutkan dengan manis oleh Zidane. Sebuah relasi romantik Les Bleus dengan para gelandangnya.

Vive la France!

 

Komentar
Penulis bisa dihubungi di akun @isidorusrio_ untuk berbincang perihal banyak hal, khususnya sepak bola.