Antara Superstar dan Unknown di Bursa Transfer

Saya pernah berbicara sedikit tentang bagaimana sebuah transfer mampu membantu branding sebuah klub. Menyajikan janji-janji kejayaan saat pemain datang adalah satu hal yang tak mungkin tak terlintas dalam benak.

Pertanyaannya, mana yang lebih penting? Membeli superstar, seseorang yang digambarkan digdaya dan luar biasa, atau membeli seorang pemain yang boleh dibilang medioker? Atau lebih halus lagi, unknown dalam dunia sepak bola? Tentu, dari sekian banyak kasus yang saya lihat, membeli pemain besar tetap menjadi prioritas utama.

Pertama, label superstar perlu kita sepakati dulu, yaitu memiliki performa yang trengginas dan (sebelumnya) bermain di klub besar juga.

**

Terutama jika Anda fans klub besar, kedatangan superstar akan mendatangkan lampu sorot saat transfer terjadi. Mereka akan membicarakan harga yang fantastis, nama besar si pemain, yang bermain di klub besar, dan dengan kemampuan bermain yang fantastis.

Publisitas mereka di media dapat disimak. Nama mereka mudah ditemukan lewat Google. Video-video aksi bombastis bertebaran di YouTube dengan judul yang memacu adrenalin seperti ini: “(nama pemain Anda) all skill/goals/save.”

Jersey mereka laku, dan seakan musim ini akan menjadi milik kita. Namun betulkah selalu demikian?

Klub besar membeli superstar adalah hal biasa. Luis Suarez dan Neymar Jr. ke Barcelona misalnya. Terutama Neymar, ia telah menawarkan sesuatu, bahkan sejak sebelum dibeli Barcelona.

Video aksinya di YouTube jelas akan membuat banyak manusia menyaksikannya. Sementara fans Real Madrid, yang menyukai Neymar, pelan-pelan menebar benci karena memilih pindah ke rival abadi mereka. Setelah Neymar, menyusul Suarez, yang bersama Lionel Messi, membangun trisula maut di lini depan. Hasilnya, treble winner di musim pertama mereka bekerja sama.

BACA JUGA:  Jiwa-jiwa yang Terjual Dalam Sepak Bola: Sebuah Resensi

Namun, membeli superstar tak melulu menjadi jaminan mutu. Andriy Shevchenko di Chelsea adalah kisah ironi dari superstar yang gagal mengemban ekspektasi. Disusul Robinho di Manchester City, Ricardo Kaka di Real Madrid, dan Fernando Torres di Chelsea.

Dan ya, jangan lupakan Angel Di Maria di Manchester United. Sisanya mungkin Anda bisa membantu saya mengingat lebih banyak lagi berapa banyak superstar yang justru turut membangun sebuah kekacauan besar. Ada ekspektasi luar biasa yang harus dipikul seorang superstar.

Membeli seorang superstar adalah persoalan memperkukuh brand. Membuat mereka membeli jersey dengan name-set pemain saat kedatangan pertama. Nama besar seeprti memberikan janji dan gula-gula yang menggiurkan. Menawarkan fantasi liar bahwa tim ini akan juara, atau setidaknya tampil di semifinal di berbagai kompetisi.

Namun jelas, hidup bukan seperti bermain FIFA dan PES di mana label superstar akan menjamin kelas sesuai overall-nya. Kita hidup di dunia nyata.

Di dunia nyata, Leicester dengan uang-uang kecilnya itulah yang menjuarai Liga Inggris musim lalu. Konon, gaji dua minggu Wayne Rooney bisa membeli satu Riyad Mahrez. Di dunia yang sama pula, Dimitri Payet, seorang yang tak dikenal itu bisa naik kelas dari unknown menjadi superstar.

Di dunia nyata yang sama pula, klub seperti Liverpool gagal menahun ketika melakukan pendekatan yang sama. Di dunia nyata pula, ada humor bernama Memphis Depay. Seorang yang dari unknown, lalu mendadak bergelar “The Next Ronaldo” itu bahkan tak bisa melakukan umpan lambung.

Di dunia yang sama itu pula, Anthony Martial, yang dikatakan buang-buang uang itu malah berhasil. Tentu hal ini sungguh terasa surealis, namun betul-betul terjadi di dunia kita. Bukan dunia simulasi Football Manager.

BACA JUGA:  Sepak Bola dalam Bayangan Terorisme 2.0

Di dunia (sepak bola) nyata macam inilah, kita perlu kemudian melepas segala nilai-nilai dan berusaha hidup seperti kata Friedrich Nietzche, yaitu memiliki kehendak bebas!

Bebas membeli siapa saja selama itu memang kebutuhan klub, terlepas dari label superstar atau unknown. Karena sudah tentu, bahkan seorang superstar pun dapat berakhir dengan kesia-siaan. Flop.

Maka dari itu, yang harus lebih Anda khawatirkan adalah, pertama, visi manajer klub Anda dan kedua, visi klub sendiri. Jangan lupa, yang Anda cintai itu klub, bukan pemain yang datang dan pergi!

 

Komentar