Untuk kedua kalinya sejak pergantian milenium, Parma FC kembali dinyatakan bangkrut. Usai dengar pendapat selama 10 menit, pengadilan akhirnya memutuskan untuk menjatuhkan vonis bangkrut kepada klub asal Emilia-Romagna. Hutang yang menggunung (diperkirakan mencapai angka 200 juta euro) yang akhirnya menyebabkan klub gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya membuat otoritas hukum di Italia tak pikir panjang untuk menjatuhkan vonis tersebut.
Semuanya tampak baik-baik saja bagi Parma setelah musim lalu mereka tampil mengesankan dan akhirnya mampu mengakhiri musim di urutan keenam, sekaligus lolos ke kompetisi Liga Europa. Namun, UEFA kemudian mampu mendeteksi adanya ketidakberesan pada tata kelola keuangan klub. Parma yang saat itu belum melunasi gaji pemain untuk bulan Juli pun kemudian dilarang tampil di kompetisi tersebut dan digantikan oleh Torino.
Pertanyaan pun kemudian mengemuka. Ada apa dengan Parma dan siapa yang bertanggungjawab atas kekacauan ini?
Jurnalis Mina Rzouki, dalam podcast sepak bola BBC, mengatakan bahwa akar masalah keuangan ini tak dapat dipisahkan dari pemilik Parma yang mengundurkan diri usai UEFA mencabut lisensi Liga Europa mereka, Tommaso Ghirardi. “Ghirardi mengambilalih klub pada tahun 2007 ketika klub memiliki hutang sebesar 16,1 juta euro. Tujuh tahun kemudian, angka hutang kotor mereka mencapai 197,4 juta euro. Jika jumlah piutang dikesampingkan, maka jumlah hutang bersih mereka sendiri sudah berada di angka 97 juta euro,” tutur Rzouki.
“Antara musim panas 2013 dan musim panas 2014, Parma terlibat di lebih dari 450 transaksi pemain, baik itu pembelian, peminjaman, kepemilikan bersama, maupun penjualan. Bagaimana mungkin ia (Ghirardi) tidak bersalah?” lanjut Rzouki.
Praktik bisnis yang dijalankan Parma ini dinamakan plusvalenza. Sederhananya, Parma banyak membeli pemain-pemain muda dengan harga murah dengan harapan bisa dijual dengan harga tinggi di kemudian hari. Secara keseluruhan, Parma bahkan sampai memiliki pemain berjumlah 226 orang yang kebanyakan ‘disekolahkan’ di klub-klub lain. Sialnya, tak satupun dari pemain-pemain ini kemudian mampu berkembang dan mencapai nilai yang diharapkan.
Selain plusvalenza tadi, kebiasaan klub-klub Italia dalam mengalokasikan mayoritas anggarannya untuk menggaji pemain juga menjadi masalah. Menurut Ornella Belia, seorang pakar hukum olahraga asal Italia, seperti dikutip Hedi Novianto dalam kolomnya di FourFourTwo Indonesia, masalah alokasi anggaran yang mencapai 60-80% hanya untuk gaji pemain menimbulkan masalah tersendiri. Pada akhirnya, situasi besar pasak daripada tiang pun sulit untuk dihindari. Akumulasi dari berbagai mismanajemen inilah yang akhirnya memaksa Parma untuk kembali gulung tikar.
Setelah berganti pemilik sampai dua kali, Parma nyatanya tetap tak bisa diselamatkan. Malah, pemilik terakhir mereka, Giampietro Manenti, sudah lebih dahulu menjadi pesakitan setelah ditangkap polisi atas tuduhan pencucian uang. Situasi ini tak pelak memunculkan banyak reaksi simpatik dari publik. Presiden Sampdoria, Massimo Ferrero, secara terang-terangan bahkan sudah meminta klub-klub Serie A untuk membantu Parma secara finansial untuk membantu mereka bertahan hingga akhir musim.
Sampai saat ini, opsi terbaik Parma untuk mengakhiri musim adalah dengan menerima pinjaman sebesar 5 juta euro dari FIGC dan Serie A untuk membiayai klub hingga akhir musim. Opsi lainnya adalah dengan menunggu adanya tawaran dari investor-investor lokal yang terus didesak oleh walikota Parma, Federico Pizzarotti untuk mengambilalih Parma. Pizzarotti sendiri sejak awal sudah tidak percaya kepada Manenti yang membeli Parma dari konsorsium Albania senilai 1 euro.
Parma yang dulu sempat berjaya dan mendunia, kini harus menerima kenyataan pahit bahwa mereka sejatinya hanya merupakan klub kecil dari Emilia-Romagna yang bahkan, secara historis pun tak lebih baik dari Bologna. Sebelum Calisto Tanzi menginjeksi Parma dengan uang hasil penjualan produk olahan keju dan akhirnya mampu membawa klub bersinar di kancah internasional, kota Parma bahkan nyaris tak pernah diidentikkan dengan sepak bola. Sebelum itu semua, Parma lebih dikenal lewat musik, keju, dan arsitektur kotanya.
Kasus yang menimpa Parma ini jelas bukan yang pertama (dan sepertinya takkan jadi yang terakhir) di sepak bola. Menilik rentannya klub sepak bola akan mismanajemen yang berujung pada kebangkrutan, sudah selayaknya klub-klub sepak bola di manapun mereka berada, lebih berhati-hati dalam menjalankan bisnisnya.
Hmm, bagaimana ya dengan klub-klub Indonesia?