“Benar bahwa Pradana (Aditya Wicaksana) menjadi General Manager (GM). Kami menerima e-mail circular struktur kepengurusan yang ditandatangani oleh Pak Cucu (Soemantri),” ungkap Direktur Bisnis PT Liga Indonesia Baru (PT LIB), Rudy Kangdra, seperti dilansir Kumparan.
Setelah itu, situasi menjadi semakin ruwet. Pasalnya, Cucu Soemantri merupakan Direktur Utama PT LIB, sedangkan Pradana yang menjadi GM adalah anaknya. Menurut Rudy Kangdra, disadur dari Antara, Pradana telah menjabat sejak 3 Maret 2020 dan diangkat langsung oleh Cucu.
Tentu saja semua sorotan kemudian menuju kepada bapak-anak yang memegang posisi penting dalam struktur organisasi operator Liga Indonesia itu. Sadar akan kemungkinan terjadinya kisruh, Cucu kemudian berusaha meredam suasana.
“Saya memastikan anak saya tidak akan bekerja di PT LIB. Saya juga akan menghadap Ketua PSSI untuk menjelaskan hal ini agar tidak terjadi kisruh,” ujar Cucu yang juga Wakil Ketua Umum PSSI itu.
Akan tetapi, beberapa pihak di dalam operator liga itu sendiri justru mengeluarkan pernyataan yang berseberangan. Misalnya saja pernyataan Direktur Keuangan, Anthony Chandra, yang berujar bahwa Pradana sudah bekerja di kantor LIB.
Mengenai konflik tersebut, Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan, meminta perseroan yang menjadi penyelenggara kompetisi sepakbola Indonesia itu menyelesaikannya melalui rapat internal. Senada dengan itu, Ketua Asprov Jawa Barat, Tommy Apriantono, juga meminta keadaan tersebut dituntaskan dengan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Pendapat lain diungkapkan oleh Sekretaris Umum Persiraja, Rahmad Djailani, yang menginginkan masalah itu diselesaikan secara baik-baik terlebih dahulu. Andai tidak menemukan jalan keluar, barulah RUPS menjadi jalan terakhir.
Akan tetapi, alih-alih mereda, kisruh dalam tubuh operator liga itu justru semakin memanas. Puncaknya adalah ketika tersebar surat berisi protes yang ditandatangani oleh tiga direktur LIB: Sudjarno (Direktur Operasional), serta Rudy (Direktur Bisnis), dan Anthony (Direktur Keuangan).
Tentu saja Cucu menjadi yang dikeluhkan dalam surat itu. Pengaduan tersebut juga ditembuskan kepada Dewan Komisaris serta beberapa pihak PSSI, yakni ketua umum, wakil ketua umum, exco, dan sekjen.
Poin protes tiga direktur tersebut, yang pertama adalah mengenai pengelolaan perseroan yang tak lagi mengacu pada Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Kedua, monopoli keputusan oleh direktur utama tanpa melalui rapat direksi.
Ketiga, kekhawatiran pengambilan keputusan secara sepihak itu menimbulkan keresahan dan permasalahan yang berkelanjutan. Poin terakhir adalah penyangkalan keterlibatan dewan direksi atas keputusan-keputusan yang diambil secara sepihak.
Isi surat tersebut menggambarkan dengan cukup gamblang keadaan dalam persereoan yang betul-betul carut-marut. Meski mengungkapkan masalah kepercayaan kepada Cucu, namun Rudy enggan menyebutnya sebagai mosi tidak percaya.
Ia lebih memilih menganggapnya sebagai pemberitahuan kepada PSSI dan juga dewan komisaris yang mewakili pemegang saham terhadap situasi internal perseroan. Keadaan pelik tersebut kemudian diusulkan untuk diselesaikan melalui RUPS Luar Biasa.
Sejatinya, kabar akan diadakannya pertemuan antar pemegang saham tersebut sudah lama berhembus. Namun, tujuannya bukan membahas masalah internal, melainkan soal kepastian kelanjutan kompetisi ditengah pandemi Corona.
Menelaah lebih lanjut, sebenarnya protes tersebut memuat beberapa kejanggalan. Walaupun memakai logo LIB, surat tertanggal 4 Mei 2020 itu tak mencantumkan nomor korespondensi resmi. Beberapa klib Liga 1 sebagai pemegang saham juga tak merasa menerima pesan tersebut.
Ditengah pertanyaan soal legalitas surat itu, sekretariat PSSI justru menyatakan sudah menerimanya. Hal itu dikonfirmasi oleh Yunus Nusi, yang bertindak sebagai Plt Sekjen PSSI setelah Ratu Tisha mengundurkan diri. Pihak federasi pun tak main-main dalam menanggapinya.
“Surat ini tentu akan dibahas dalam rapat Exco PSSI. Sekretariat baru menerima, maka saya akan menyampaikan kepada Ketua Umum PSSI dan Exco yang kemudian tentu akan menjadi salah satu agenda rapat,” ujarnya seperti dikutip dari detikSport.
Sementara itu, salah satu anggota exco yang terkenal vokal, Haruna Soemitro, melemparkan pernyataan pedas. Ia benar-benar geleng-geleng kepala soal konflik yang berujung surat dari direksi tersebut. Lebih lanjut, dirinya juga tak menampik kisruh itu bisa mempengaruhi integritas LIB.
“Ya, pasti (klub bisa kehilangan kepercayaan). Itu, kan, artinya pemimpin atau direktur utamanya tidak bisa mengelola bawahannya,” ungkap Direktur Madura United sebagaimana dilansir Antara.
Namun, pandangan CEO Bali United, Yabes Tanuri, dan CEO PSIS, Yoyok Sukawi, sedikit berbeda. Keduanya berpendapat kisruh internal itu tak berpengaruh langsung terhadap klub, meskipun keduanya juga setuju diadakan RUPS Luar Biasa.
Mungkin benar, secara langsung memang tak bersinggungan terhadap peserta liga, tetapi tentu akan berpengaruh terhadap penyelenggaraan kompetisi. Saat ini, klub liga Indonesia tengah terkatung-katung dengan hanya berpegangan pada keputusan force majeure.
Dalam keadaan hidup segan mati tak mau, peserta liga tengah menunggu kepastian keberlanjutan kompetisi. Tentu saja mereka menginginkan adanya keputusan secepatnya agar segala hal dapat diperhitungkan kembali, terutama soal anggaran.
Begitu pula para pemain yang sama limbungnya, tak tahu apakah mereka akan dapat tetap mendapatkan sisa kontraknya. Tak semua dari pesepakbola itu juga punya penghasilan lain disamping hasil mengolah si kulit bulat.
Baik pihak klub, staf, maupun pemain tentu saja memahami kondisi pandemi yang sedang dihadapi oleh Indonesia. Tak ada yang bisa menyangkal itu. Namun, tidak bisa dipungkiri juga dalam situasi seperti ini, kepastian mengenai kompetisi, sangat mereka nanti.
Bukan main-main, ini soal mata pencaharian, bagaimana dapur tetap bisa mengepul. Dan keputusan soal keberlanjutan liga tersebut tentu saja hanya dapat diberikan oleh operator kompetisi, dalam hal ini LIB.
Saat semua pihak menanti jawaban seperti saat ini, kubu penanggung jawab liga justru dihantam krisis internal yang tak kunjung tuntas. Lalu, apakah sekarang masih bisa dikatakan bahwa konflik tersebut tak berpengaruh kepada klub dan segala tetek bengek di dalamnya?
Setelah itu, soal integritas. Andai yang diprediksikan oleh Haruna soal klub yang kehilangan kepercayaan terhadap LIB benar adanya, kemudian kompetisi macam apa yang bisa diselanggarakan atas dasar ketidakpercayaan peserta atas penyelenggaranya?
Selanjutnya, publik penggemar si kulit bulat mungkin telah mendapat angin segar dengan disiarkannya laga pembuka Liga Korea. Lalu, Liga Jerman yang sudah menentukan tanggal kick off mereka. Disusul juga dengan tim-tim Liga Spanyol dan Liga Italia yang mulai berlatih pula.
Kemudian, apakah saat ini adalah saatnya publik pecinta sepakbola Indonesia berharap bahwa liga di negeri tercinta bisa segera terlaksana? Melihat kondisi internal operator liga yang carut-marut seperti itu, sepertinya banyak berdoa adalah jawabannya. Haha.