Levi’s Stadium di Santa Clara, California, diberi kehormatan untuk menjadi tuan rumah laga pembuka Copa America Centenario 2016, Sabtu (4/6) mendatang. Stadion tersebut sejatinya bukan stadion sepak bola, melainkan kandang San Francisco 49ers yang merupakan salah satu tim peserta National Football League (NFL).
Unik memang, melihat Amerika Serikat yang justru didapuk menjadi tuan rumah peringatan akbar kompetisi antarnegara Amerika Selatan tersebut. Alasan memilih Amerika Serikat pun terkesan sangat “modern football”, yakni karena alasan finansial. Semuanya ada di Amerika Serikat, mulai dari stadion, infrastruktur, sampai pasar yang potensial.
Sejak diselenggarakan seratus tahun silam di Argentina, Copa America telah melewati banyak hal, sebagaimana jagat persepakbolaan pada umumnya.
Sekarang, sepak bola telah bersalin rupa menjadi sebuah industri hiburan bernilai triliunan rupiah dan kita pun takkan lagi memicingkan mata kala mendengar jumlah wah tersebut. Akan tetapi, semua hal tersebut tidak serta merta terjadi begitu saja.
Ada titik nol di mana semua ini berawal, dan di sini, mari kita sedikit melongok ke belakang; ke titik nol, untuk menilai perkembangan sepak bola sebagai representasi pergerakan zaman.
Sepekan sebelum Argentina merayakan hari kemerdekaannya yang keseratus, ibukota Argentina, Buenos Aires, dan kota tetangga, Avellanada, kedatangan tamu dari tiga negara tetangga Amerika Selatan. Ketiga negara tersebut adalah Uruguay, Brasil, dan Chile.
Keempat negara tersebut akan melakoni sebuah turnamen sepak bola bertajuk Campeonato Sudamericano de Selecciones. Turnamen ini berlangsung kurang lebih dua pekan antara 2-17 Juli 1916, dengan sistem round robin (setengah kompetisi).
Enam tahun sebelum kompetisi ini dihelat, Argentina sebenarnya sudah pernah menggelar kompetisi serupa dengan peserta yang sama, kecuali Brasil. Pada turnamen bertajuk Copa Centenario Revolucion de Mayo, Argentina berhasil keluar sebagai juara setelah menghajar Uruguay 4-1 pada laga penentuan. Adapun, turnamen ini juga diselenggarakan dengan sistem round robin.
Copa America merupakan sebuah turnamen yang diselenggarakan atas dasar persaudaraan sekaligus pemberontakan, terutama terhadap FIFA yang sangat berbau Eropa.
Presiden FIFA kala itu, Jules Rimet, acapkali mendengungkan slogan bahwa negara-negara anggota FIFA adalah satu keluarga besar nan utuh. Akan tetapi, laiknya keluarga pada umumnya, tentu ada saja pihak-pihak yang merasa dianaktirikan.
Uruguay, Argentina, Brasil, dan Chile yang merupakan kekuatan sepak bola utama Amerika Selatan pun kemudian berinisiatif untuk bangkit dengan upaya mereka sendiri.
Lewat usulan Hector Rivadavia Gomez, seorang politisi Uruguay, keempat negara tersebut kemudian menggodok sebuah ide tentang konfederasi sepak bola kontinental yang mandiri.
Ide ini sendiri sebetulnya bertentangan dengan pemikiran Jules Rimet, seperti yang tertulis di atas. Akan tetapi, apabila mereka mengacuhkan “kekhawatiran” Rimet, mereka tahu bahwa selamanya mereka akan tertinggal dari “saudara-saudara” mereka di Benua Biru.
Momen hari kemerdekaan Argentina ke-100 pun dimanfaatkan untuk mengumpulkan keempat negara tersebut untuk menentukan nasib persepakbolaan Amerika Selatan.
Di sela-sela turnamen Campeonato Sudamericano de Selecciones, para pejabat dan pengurus sepak bola keempat negara pun bertemu dan akhirnya meresmikan terbentuknya Confederacion Sudamericana de Futbol (CONMEBOL) tepat pada peringatan seabad kemerdekaan Argentina, tanggal 9 Juli 1916.
Terbentuknya CONMEBOL di tengah-tengah turnamen ini sepertinya menunjukkan bahwa ikatan persaudaraan antarnegara Amerika Selatan begitu kuat. Memang betul, akan tetapi, bukan persaudaraan Amerika Selatan namanya kalau tidak dibumbui perseteruan dan perkelahian.
Pada laga pembuka yang digelar di Stadion Gimnasia y Esgrima de Buenos Aires (G.E.B.A), Uruguay bertemu dengan Chile. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa pada turnamen kali ini, negara yang berstatus unggulan adalah Argentina dan Uruguay, sementara itu Brasil berstatus sebagai kuda hitam, sedangkan Chile berperan sebagai lumbung gol penggembira. Laga antara Uruguay dan Chile tersebut berakhir dengan kemenangan telak 4-0 untuk Uruguay.
Di sinilah kemudian perseteruan dimulai. Kala itu, Uruguay memainkan dua pemain berkulit hitam, Isabelino Grandin dan Juan Delgado.
Grandin sendiri, selain merupakan penyerang klub Penarol, merupakan salah satu pelari terhebat Uruguay, terbukti dengan empat medali emas (masing-masing dari nomor 200 dan 400 meter) pada Kejuaraan Atletik Amerika Selatan 1919 dan 1920. Pada laga kontra Chile ini, Grandin mampu melesakkan dua gol pada menit ke-55 dan 70.
Keputusan Uruguay menurunkan dua pemain kulit hitam ini menuai protes keras dari pihak Chile yang menganggap Uruguay bermain curang lantaran memainkan dua “budak Afrika yang bukan orang Uruguay”.
Komplain Chile ini pun kemudian ditanggapi sambil lalu oleh penyelenggara karena “secara teknis”, Grandin dan Delgado adalah orang Uruguay. Grandin yang memiliki julukan “El Negro con el Alma Blanca” atau “Si Hitam Berhati Putih” lahir di Montevideo, sementara sang kompatriot, Delgado lahir di Florida, Uruguay.
Status Chile sebagai lumbung gol ini kemudian mampu menentukan narasi turnamen ke depannya. Setelah kalah 0-4 dari Uruguay, tim asuhan Carlos Fanta kemudian harus kalah dengan skor 1-6 dari tuan rumah, Argentina, sebelum akhirnya berhasil merengguk satu poin hiburan usai bermain imbang kontra Brasil.
Kemenangan 6-1 atas Chile tersebut membuat Argentina memiliki selisih gol lebih baik dari sang rival, Uruguay. Mereka pun optimistis mampu mengulang kejayaan enam tahun silam, meski turnamen yang dimaksud tidak diakui sebagai kompetisi resmi.
Adapun, Brasil yang tidak selemah Chile, namun juga tidak sekuat Argentina dan Uruguay juga turut andil dalam menentukan narasi untuk laga pamungkas yang akan mempertemukan Uruguay dan Argentina.
Pada laga pamungkas, Uruguay pada akhirnya mampu memiliki keunggulan poin atas Argentina setelah mereka mampu mengandaskan Brasil 2-1, sementara sang rival harus puas berbagi angka. Akhirnya, pada laga penentuan, Argentina pun wajib menang untuk bisa menjadi juara, sementara Uruguay cukup bermain imbang untuk bisa membawa pulang trofi.
Emosi menggelegak, adrenalin memuncak, dan tribun stadion pun dibakar!
Ya, laga penentuan yang sedianya digelar pada 16 Juli 1916 harus dibatalkan setelah hanya berlangsung lima menit karena kerusuhan meledak. Hal ini pula lah yang membuat kota Avellanada kemudian bagai kejatuhan durian runtuh.
Stadion G.E.B.A yang digunakan untuk menghelat semua laga merupakan sebuah stadion kecil dengan kapasitas hanya 18.000 penonton. Alhasil, ketika dua rival berat bertemu, stadion ini pun kewalahan menampung antusiasme penonton yang membludak. Jumlah penonton yang hadir jauh melebihi kapasitas stadion hingga akhirnya wasit memutuskan untuk menghentikan laga.
Kekecewaan inilah yang kemudian membuat para penonton naik pitam hingga akhirnya aksi bakar-membakar pun tak terhindarkan. Karena itulah, panitia pun kemudian memutuskan untuk memindah laga ke Avellanada, ke stadion milik Racing Club yang berkapasitas 30.000 penonton, pada hari berikutnya.
Sayang, laga penentuan ini berlangsung antiklimaks. Para penonton, khususnya suporter Argentina, yang mengharapkan hujan gol harus pulang dengan kepala tertunduk setelah kedua tim gagal menyarangkan gol ke gawang lawan mereka.
Hasil imbang tanpa gol tersebut, meski mengecewakan, sudah cukup bagi Uruguay untuk mematri nama mereka sebagai juara perdana turnamen Copa America – meski turnamen ini baru dinamai “Copa America” pada 1975.
Perseteruan, rasialisme, kerusuhan, dan venue yang tak memadai. Itulah cerita-cerita utama yang mewarnai gelaran perdana Copa America. Meski berhasil menelurkan CONMEBOL, namun tetap saja, turnamen tersebut boleh dibilang jauh dari kata sukses.
Seratus tahun berselang, negara-negara Amerika Selatan bukan lagi anak tiri dalam jagat persepakbolaan. Mereka merupakan negara-negara yang mampu berbicara banyak di konstelasi persepakbolaan internasional, terbukti dengan sembilan gelar Piala Dunia yang mampu direngkuh oleh Brasil (5 kali) serta Argentina dan Uruguay (masing-masing 2 kali).
Turnamen ini pun sudah berubah, dari yang awalnya merupakan sebuah simbol persaudaraan dan perlawanan, menjadi sebuah mesin uang yang tak kalah-kalah amat dibanding Piala Eropa.
Meski begitu, percik-percik api yang senantiasa mengiringi gelaran sepak bola Amerika Selatan belum, dan takkan pernah hilang. Biar bagaimanapun, ini Amerika Selatan. Mau semodern apa pun kemasannya, emosi khas Amerika Selatan tetap menjadi intisari.
Dengan ini, mari kita rayakan bersama-sama seabad Copa America dengan senyuman, karena ini adalah sebuah milestone yang menunjukkan seperti apa perubahan yang bisa dicapai umat manusia dalam tempo satu abad.