Real Madrid resmi menjuarai Liga Spanyol usai mengalahkan Villarreal pada pekan ke-37 dengan skor 2-1. Mereka sukses mengumpulkan 86 poin, unggul 7 poin dari pesaing terberat mereka Barcelona yang pada saat bersamaan secara mengejutkan harus takluk dari Osasuna.
Hasil tersebut membuat anak asuh Zinedine Zidane meraih gelar liga yang ke-34, terbanyak dari semua tim di lingkup sepakbola Spanyol saat ini. Namun di balik itu, beberapa isu kontroversial mencuat dan menerpa Los Merengues yang sedikit memberi noda dalam perayaan juara mereka.
Beruntung Karena Rival Sedang Bapuk
Pernyataan tentang keberuntungan Madrid keluar dari mulut banyak kalangan, bahkan di luar penikmat berat sepakbola Spanyol. Anggapannya adalah tim dari ibukota itu juara karena pesaing terberat mereka, Barcelona dan Atletico Madrid, diterpa masalah terhadap performa di lapangan.
Ada fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwasanya performa dua tim tersebut memang sedang buruk. Permasalahan keharmonisan di tubuh Barcelona serta inkonsistensi permainan Atletico memang menjadi salah satu faktor mengapa Madrid meraih gelar musim ini.
Namun, tak patut juga ketika situasi tersebut digunakan untuk mengomentari Madrid. Meskipun benar pula permainan Los Blancos tak juga bisa dikatakan sempurna. Sebanyak 8 kali seri dan 3 kekalahan merupakan bukti bahwa tetap ada yang harus mereka perbaiki.
Akan tetapi, menyebut bahwa Real Madrid juara karena keberuntungan semata rasanya sangatlah berlebihan. Toh, dalam kompetisi, untuk dipastikan juara, sebuah tim hanya butuh lebih baik dari tim lain. Tak peduli berjarak sedikit atau banyak, yang penting memberi hasil lebih apik saja.
Lagipula, performa mereka juga tak butuk-butuk amat. Catatan tak pernah kalah di kandang, nirbobol terbanyak, hingga paling sedikit kebobolan merupakan bukti solidnya tim yang dimiliki Madrid. Mental seperti itu tak hanya berlaku di Spanyol. Toh, Liverpool juga menunjukkan hal serupa di Inggris.
Andai harus dikatakan beruntung, perlu disadari bahwa itu tak juga datang begitu saja dari langit. Selama semusim, Madrid sudah mengusahakan yang banyak orang menyebutnya sebagai keberuntungan tersebut.
Bantuan VAR dan Wasit
Argumen itu muncul setelah dalam beberapa laga, khususnya setelah libur akibat pandemi, banyak keputusan wasit maupun VAR yang dianggap menguntungkan Madrid. Mulai dari 3 penalti dalam 3 laga berturut-turut, hingga pelanggaran-pelanggaran tim lawan yang diabaikan oleh wasit.
Narasi keberpihakan pengadil kepada tim yang dimiliki oleh Florentino Perez itu muncul mengikuti kejadian-kejadian itu. Beberapa menyebut bahwa wasit bertindak bias dalam pertandingan yang melibatkan Los Merengues dan ada tendensi untuk menguntungkan mereka.
Pendapat tersebut sebetulnya bukan hal baru dalam sepakbola. Pada akhir dekade 2000-an hingga awal 2010-an, ketika Barcelona benar-benar merajai Eropa, argumen serupa juga muncul. Lingkupnya tak hanya di Liga Spanyol, tetapi di kompetisi antarklub Benua Biru.
Anggapan bias tersebut tak berhenti di Semenanjung Iberia saja. Rivalitas Manchester United dan Liverpool juga digoreng oleh media dengan narasi serupa di Inggris. Sementara itu, di Italia, pendukung Inter Milan dan juga tuding-menuding soal ini. Perdebatan tersebut memang tak bisa hilang dari dunia sepakbola.
Lagipula, jika bicara data, ada sebab yang masuk akal mengapa Madrid mendapat banyak hadiah penalti. Simpel saja, mereka sering masuk ke kotak penalti. Hingga dinobatkan juara, tercatat sebanyak 1115 kali anak asuh Zidane membuat sentuhan di dalam area itu.
Dengan angka itu, mereka menjadi tim terbanyak yang melakukannya. Logikanya menjadi sederhana. Semakin sering sebuah tim membuat sentuhan di kotak penalti, probabilitas mereka untuk dilanggar jelas semakin besar. Jadi, tak heran Madrid mendapat 11 penalti dalam semusim.
***
Sebagai penutup, apapun komentar kepada Madrid, itu tetap tak akan mengubah fakta bahwasanya Los Merengues berhasil memuncaki klasemen pada musim ini. Jika diperhatikan, Zidane juga sanggup mengatasi kritikan dengan melakukan inovasi dalam taktiknya, terlebih setelah libur akibat pandemi.
Kuatnya tekad dan dan keharmonisan di ruang ganti yang seperti tak terpengaruh oleh kondisi Gareth Bale menjadi faktor kunci selain yang terjadi di atas rumput hijau. Dan tentunya kredit tersendiri bagi untuk Karim Benzema yang mampu menjelma sebagai juru gedor andalan.
Sekali lagi, selamat untuk Madrid dan Madridistas di atas raihan gelar juaranya. Andai tak benar-benar cukup waktu dan energi, kesampingkan dahulu suara sumbang yang terdengar. Karena bagaimanapun, haters gonna hate!