Jagad sepakbola dibikin geger saat foto dari faksimile yang dikirim Lionel Messi kepada manajemen Barcelona beredar di media sosial. Ada yang percaya, ada yang tidak. Namun siapapun pasti kaget dengan hal tersebut karena selama ini kita mengetahui bahwa Messi adalah Barcelona, Barcelona adalah Messi.
Sebenarnya kabar tentang kepindahan seorang pemain andalan di suatu klub merupakan hal yang lumrah. Para penggemar sepakbola tentu mengetahui perginya Iker Casillas dari Real Madrid, Alessandro Del Piero dari Juventus, sampai Steven Gerrard dari Liverpool. Mereka adalah ikon klub yang hijrah menuju kesebelasan lain saat kariernya mendekati akhir.
Kita semua tahu betapa besarnya peran pria kelahiran Rosario tersebut untuk Barcelona dalam rentang 15 tahun terakhir. Ia menjadi tumpuan utama dalam mencaplok gelar demi gelar yang kini memenuhi lemari trofi di Stadion Camp Nou. Bahkan akibat mismanajemen di tubuh klub serta kepergian Andres Iniesta dan Xavi Hernandez, Messi seolah-olah berjuang sendirian untuk kejayaan Blaugrana.
Layaknya pemain-pemain ikonik lainnya, ada relasi romantik di antara Messi dan Barcelona. Sebuah hubungan yang muncul sedari Si Kutu, julukan Messi, belum akil baligh. Ya, meski punya bakat mumpuni di lapangan hijau, Messi kecil punya masalah hormon pertumbuhan. Tak heran bila tubuhnya tergolong mungil.
Bakat Messi sebetulnya sudah diperhatikan salah satu tim raksasa Argentina, River Plate. Namun mereka mundur teratur gara-gara harus membiayai pengobatan Messi agar pertumbuhannya dapat berjalan sebagaimana mestinya sebesar 900 Dolar AS per bulan.
Berlainan dengan kubu River, Barcelona lewat sang Direktur Olahraga mereka saat itu, Carles Rexach, justru bersedia menanggung segalanya asalkan Messi bergabung dengan akademi kepunyaan Blaugrana, La Masia. Ayah Messi, Jorge Horacio, pun setuju dengan klausul tersebut.
La Masia rupanya jadi rumah yang tepat untuk Si Kutu. Perkembangannya di seluruh level usia berjalan dengan prima. Tak heran bila pelatih Barcelona di pertengahan 2000-an, Frank Rijkaard, sampai berani memberinya kesempatan debut, ia masuk menggantikan Deco Souza di menit ke-82, dalam laga Derbi Barcelona kontra Espanyol pada 16 Oktober 2004.
Semenjak debut, Messi berhasil memamerkan magi yang membuat dunia berdecak kagum. Liukannya di atas lapangan dan gol-gol indah yang ia bukukan laksana pertunjukan yang terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja. Wajar bila kemudian namanya diapungkan sebagai bintang baru di kancah sepakbola dan siap mengikuti jejak para legenda semisal Johan Cruyff, Diego Maradona, dan Pele.
Barcelona adalah kesebelasan besar di Eropa dan dunia, tapi nama mereka jadi semakin mengangkasa lantaran presensi Messi. Akibatnya, penggemar Blaugrana pun semakin masif jumlahnya. Entah mereka murni mendukung Barcelona sebagai klub atau sekadar menjadi fanboy Messi.
Capaian kolektif Messi di Stadion Camp Nou pun luar biasa. Ada sepuluh titel La Liga Spanyol, enam Copa del Rey, delapan buah Piala Super Spanyol, empat gelar Liga Champions, dan masing-masing tiga trofi Piala Super Eropa dan Piala Dunia Antarklub. Sementara di ranah pribadi, Messi mencaplok lima Ballon d’Or, enam Sepatu Emas Eropa, dan tujuh gelar El Pichichi (pencetak gol terbanyak di La Liga Spanyol).
Pantas rasanya bila menyebut Messi dan Barcelona saling membutuhkan. Meskipun saya bukan seorang suporter Barcelona, tetapi sebagai penikmat sepakbola yang tumbuh besar di era rivalitas salah dua pemain yang disebut sebagai salah satu yang terbaik sepanjang masa (Messi dan Cristiano Ronaldo) jelas saya akan merasa ada yang janggal jika nantinya Si Kutu meninggalkan Stadion Camp Nou tidak dengan label pensiun.
Romansa panjang yang terjalin antara Messi dan Barcelona memang akan menemui titik akhir suatu saat nanti, tapi Barcelonistas di manapun berada pasti ogah melihat itu terjadi jelang musim 2020/2021 dimulai. Wajar kalau banyak dari mereka berbondong-bondong datang ke pelataran Stadion Camp Nou dan membentangkan spanduk besar yang berisi tulisan agar Si Kutu bertahan.
Kisah di antara Messi dan Barcelona ibarat cerita gubahan Fujiko Fujio yang berwujud Doraemon dan Nobita. Kita tahu betapa romantisnya hubungan dua sosok berbeda wujud tersebut sebagai sahabat dan bahkan keluarga. Doraemon adalah seorang robot kucing dari masa depan dan Nobita hanya pelajar yang terkenal malas dan bodoh, tetapi relasinya keduanya sangat eksepsional.
Dalam film animasi Stand by Me Doraemon, jelas tergambarkan jika seorang Nobita memiliki ketergantungan tinggi akan keberadaan Doraemon. Nobita seakan tak berdaya bila Doraemon enyah dari sisinya. Mungkin dari situ terlihat bahwa hanya Nobita yang diuntungkan atas keberadaan Doraemon dalam kehidupannya. Namun sejatinya tidak demikian karena Nobita juga membuat Doraemon merasa hidupnya lebih berguna lantaran dapat membantu orang lain.
Hubungan antara Doraemon dan Nobita merupakan simbiosis mutualisme yang dibumbui rasa cinta sebagai sahabat dan keluarga. Hal ini, menurut saya, persis dengan relasi Si Kutu dan Barcelona. Keduanya sama-sama mendapat keuntungan. Tak peduli siapa yang berperan sebagai Doraemon dan siapa yang berperan sebagai Nobita, tapi hubungan Messi dan Barcelona memang sudah sepatutnya begitu. Penuh kehangatan. Bukan sebaliknya, lebih-lebih sampai berpisah di tengah jalan.