Apa rasanya perpisahan? Sedih? Sakit? Kecewa?
Dari sekian jenis derita yang acap kali dialami manusia, perpisahan adalah sesuatu yang, orang selalu menganalogikan sebagai akhir dari sebuah awal. Ada pertemuan, dan ada perpisahan.
Namun dalam bingkai yang lebih sakral, katakan, pernikahan dan hal-hal penuh komitmen lainnya, perpisahan adalah rasa getir yang bila disesap perlahan, maka aura pahit dan getirnya terasa dengan amat sangat.
Beberapa waktu yang lalu di bulan September tahun ini yang mulai diselimuti hawa dingin, kabar perpisahan menyeruak ke khalayak luas. Rumah tangga duo megabintang Hollywood, Brad Pitt dan Angelina Jolie retak. Oleh beberapa media dituliskan sebagai “divorce of the year”.
Pasangan yang ditahbiskan sebagai simbol keluarga sempurna, terdiri dari satu pria tampan dan terkenal yang pernah dan masih menjadi idola banyak wanita di penjuru dunia. Serta satu wanita cantik dan anggun, yang juga pernah dan masih selalu menjadi objek fantasi ratusan bahkan ribuan pria di luar sana.
Perpisahan pasangan yang akrab disebut “Brangelina” ini adalah contoh nyata bahwa mau bagaimana bentuknya dan siapa pun yang mengalaminya, patut disesali sedalam-dalamnya.
Respons beragam muncul dari beberapa pesohor Hollywood yang memiliki relasi dekat dengan Brangelina seperti George Clooney. Adele, di salah satu konsernya baru-baru ini bahkan menganalogikan perpisahan Pitt dan Jolie sebagai kiamat.
Atau respons Piers Morgan, suporter Arsenal yang berisik itu, yang secara jenaka mengibaratkan perpisahan Brangelina sebagai ulah manuver politik Donald Trump di bursa pemilihan presiden Amerika Serikat.
Dan, tidak hanya di ranah selebriti dunia, perpisahan pun acap kali terjadi di sepak bola dan membawa kisahnya pada akhir dari sesuatu yang romantik, puitik, dan tak jarang, sangat menyedihkan bila kita rasakan dengan mendalam sebagai bagian dari entitas yang dekat dengan sepak bola.
Laiknya romansa hidup yang berdinamika dan kompleks, sepak bola adalah salah satu medium utama di mana perasaan bermain banyak di situ. Tak jarang, atas nama profesionalisme, perpisahan adalah jalan terbaik bagi karier beberapa pemain di salah satu klub tertentu.
Bisa karena faktor usia yang semakin menua hingga proyek jangka panjang suatu tim yang tak lagi melibatkan pemain tertentu yang sudah menjadi ikon dan legenda dalam kerangka masa depannya.
Bagi saya, ada beberapa contoh perpisahan di sepak bola yang meninggalkan sesuatu yang sama menyedihkan bagi kita yang berkilo-kilo meter jauhnya dari mereka.
Suatu perasaan yang kemudian membuat kita melabeli sepak bola sebagai salah satu cabang olahraga yang tidak hanya berisi semata pertandingan, tapi juga napas kehidupan dan cerita-cerita lapangan hijau.
1. Xavi Hernandez dan Andres Iniesta
Sejak mengenal Barcelona, entah Anda suporter Blaugrana atau orang di luar lingkaran mereka, pasti paham bahwa ada satu poros yang tidak akan terpisahkan dari sejarah hebat Barcelona yakni duet midfield maestro bernama Xaviesta.
Keduanya mekar dari akademi yang sama, berdarah murni Catalan, mengidolai satu sosok yang sama, bermain di titik sentral permainan dengan ritme yang saling mengisi, hingga mengantar negaranya menjuarai Piala Dunia untuk pertama kalinya.
Saya teringat kalimat sederhana Andres Iniesta di laga terakhir Xavi Hernandez sebelum memutuskan meninggalkan Barcelona dan bermain di Liga Qatar bersama Al Sadd. “Xavi adalah kapten, rekan satu tim, dan teman saya sampai kapan pun.” Membayangkan Iniesta tanpa Xavi dan sebaliknya adalah dua hal yang aneh.
Keduanya adalah napas sepak bola Catalan yang agung itu. Sir Alex Ferguson, saking kagumnya, pernah berseloroh bahwa ia tidak pernah menemui dalam hidupnya menyaksikan langsung Xavi dan Iniesta kehilangan bola.
Kegagalan keduanya dalam meraih supremasi tertinggi dalam bentuk Ballon d’Or mutlak hanya karena mereka jauh lebih layak mendapat anugerah tertinggi seperti satu tempat di surga daripada sebatas piala di dunia fana ini.
Mereka berdua lebih layak bersanding dengan orang-orang yang mati bahagia karena menyaksikan sepak bola indah yang mereka peragakan dan praktikkan bersama di Barcelona dan timnas Spanyol.
Perginya Xavi memang tidak mengurangi kehebatan Iniesta. Pria kalem dan rendah hati itu tetap pemain hebat dan Barcelona masih tim yang juga luar biasa hebat. Tapi tak ada lagi nama Xavi di skuat Barcelona adalah penanda zaman bahwa era terus berjalan dan memang, waktu yang fana, tapi Xavi dan Iniesta akan abadi.
Orang akan mengenang mereka sebagai dua gelandang terbaik dunia yang pernah lahir dari La Masia, berkarier panjang, berjaya, dan menutup karier dengan cara yang luar biasa megah.
2. Iker Casillas dan Real Madrid
Kalau ada satu kesebelasan di dunia ini yang layak dicemooh selain Manchester United, tim itu jelas Real Madrid. Ketika sang rival klasik melepas legendanya dengan cara yang megah, diiringi tepuk tangan dan seremonial yang meriah dan melankolis, Madrid justru melakukan sebaliknya.
Kapten, kiper nomor satu, dan ikon penting klub mereka, Iker Casillas, dilepas pergi ke FC Porto dengan cara yang luar biasa menyedihkan.
Casillas diberi satu konferensi pers, sendirian, dan ditemani beberapa helai tisu yang sering ia gunakan untuk menyeka bulir-bulir air matanya yang tumpah deras tiap kali berbicara betapa meninggalkan Madrid adalah keputusan paling berat dalam hidupnya.
Susah menyangkal cerita dan dongeng manis Santo Iker di El Real. Ia adalah simbol tim, wakil dari para Galacticos yang dikumpulkan Florentino Perez untuk dikembang-biakkan menjadi para megalomaniak kelas kakap di kemudian hari.
Bagi saya, (jelas ini subjektif), Casillas lebih dari layak untuk menetap di Madrid dan mengakhiri kariernya dengan cara yang lebih terhormat.
Casillas layak untuk dilepas di depan puluhan ribu suporter di Santiago Bernabeu. Ia adalah simbol El Grande Madrid yang paling paten, dibandingkan Sergio Ramos, yang kini menjabat kapten tim utama dan notabene adalah bocah dari luar Madrid.
Membayangkan Casillas ditendang keluar dan menyaksikan Los Blancos kini hanya berisi Keylor Navas dan Kiko Casilla adalah satu dari sekian hal di dunia ini yang patut sekali kamu tertawakan sekeras-kerasnya untuk mengejek Florentino Perez dan otak ajaibnya dalam mengelola sepak bola di Real Madrid.
3. Steven Gerrard dan Liverpool
Perpisahan model apalagi yang cocok menggambarkan pedihnya “perceraian” Steven Gerrard dengan Liverpool? Keduanya adalah dua sisi yang berbeda, yang melebur bersama waktu dan seiring zaman yang berjalan, keduanya menjadi satu entitas tunggal. Gerrard adalah Liverpool, dan Liverpool adalah Gerrard.
Dua musim sebelum kepergiannya, sang kapten fantastik punya kesempatan mengakhiri puasa Liverpool akan gelar Liga Primer Inggris.
Ajaibnya, bukan kejayaan dan dongeng manis yang ia dapat. Sang kapten justru terpeleset dan membiarkan harapan juara Liverpool menguap begitu saja sekaligus awal dari terpuruknya The Reds yang berujung dipecatnya Brendan Rodgers kemudian.
Pada musim terakhir bersama The Kop, lagi-lagi, bukan nasib baik yang menaunginya. Gerrard justru mendapat banyak malapetaka yang seolah berkata bahwa takdir baik tidak pernah menjadi teman karibnya lagi sejak malam surealis di Istanbul itu.
Kartu merah karena menginjak kaki Ander Herrera di laga terakhirnya melawan Manchester United selama berkostum The Reds, ditekuk Crystal Palace di laga terakhirnya di Anfield, dan dilumat habis Stoke City 6-1 di laga terakhirnya bersama Liverpool musim itu.
Dosa apa coba Steven Gerrard hingga nasib buruk mengiringi akhir buruknya di Liverpool?
Seakan belum cukup, itu masih ditambah catatan gelap yang menjadi noda kecil di karier gemerlapnya bersama The Kop, yakni nihil gelar Liga Prmier Inggris. Tapi bagi saya pribadi, ada dua hal yang melekat erat pada diri Steven Gerrard dan membuatnya layak mendapat respek yang tinggi.
Pertama, sundulan kepalanya di awal babak kedua ke gawang Nelson Dida yang mengawali comeback Liverpool di Istanbul 2005. Dan kedua, kebenciannya yang total kepada Manchester United.
Kalau Anda peka, Gerrard hampir tidak pernah bertukar kostum dengan pemain United tiap kali usai laga yang mempertemukan kedua tim. “Their shirts (United’s jersey) is the only one I won’t allow in my house. I have a big collection of shirts I’ve swapped with other players, but no one from United. They were the enemy.”
Bagaimana bisa Anda tidak mencintai pemain yang membenci Manchester United sepenuh hati seperti Steven Gerrard?