Beberapa waktu lalu, empat mantan pemain Arsenal mencurahkan isi hatinya ke media mengenai bagaimana pengalamannya semasa berseragam The Gunners. Empat orang itu adalah Bacary Sagna, Robin van Persie, Cesc Fabregas, dan Ashley Cole. Kira-kira seperti ini curhatan mereka:
Bacary Sagna
Suami dari Ludivine ini mengakui bahwa para pemain Arsenal acap minder sebelum menghadapi tim-tim rival, terutama rival sekota, Chelsea. Mereka sudah kalah sebelum masuk lapangan. Memang saat itu kualitas pemain-pemain The Blues lebih baik dari Arsenal, tetapi menurutnya Arsenal mampu mengalahkan Chelsea apabila mereka bersatu dan punya mentalitas yang lebih kokoh.
Robin van Persie
Sempat menghebohkan Britania Raya di pertengahan tahun 2012 karena kepindahannya langsung ke rival bebuyutan, Manchester United. Ia hijrah dengan nilai transfer 30 juta Poundsterling. Sontak banyak yang mencaci van Persie, tapi ada satu hal yang luput dari atensi bahwa saat itu ia tidak disodori kontrak baru oleh manajemen Arsenal. Padahal van Persie ingin bertahan di Stadion Emirates dan siap mengeluarkan kocek 1 juta Poundsterling dari kantong pribadinya demi mewujudkan itu. Situasi demikian mendorong The Red Devils untuk melayangkan tawaran bergabung yang sulit ditolak van Persie.
Cesc Fabregas
Fabregas adalah salah satu wonderkid menjanjikan Arsenal pada masanya. Fabregas pindah ke Barcelona pada musim panas tahun 2011 karena ingin mendapat trofi bergengsi yang tidak kunjung ia dapatkan bersama The Gunners. Ia pernah bercerita, di lapangan hanya dia sendiri yang berjuang dan berusaha keras sedangkan pemain lain tidak bernafsu untuk meraih kemenangan, berlari gontai tanpa tujuan. Bermain setiap pekan hanya menjadi formalitas untuk menggugurkan kewajiban. Tak heran jika ia memilih pindah.
Ashley Cole
Ia juga menggegerkan Inggris karena menyeberang ke rival sekota, Chelsea. Cole menjadi bagian dari pertukaran pemain dengan William Gallas medio 2006 silam. Ia menuturkan alasan mengapa hijrah ke Stadion Stamford Bridge. Salah satunya keengganan manajemen Arsenal mengganti pemain-pemain yang kalibernya setara dengan yang hengkang. Ya, berturut-turut Thierry Henry, Robert Pires, dan Jose Antonio Reyes berganti kostum sementara Dennis Bergkamp pensiun di saat yang sama. Cole merasa manajamen tak lagi tertarik pada trofi. Prediksi yang sedihnya menjadi kenyataan.
Dari cerita beberapa pemain di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa penyebab menurunnya performa Arsenal di pengujung era kepelatihan Arsene Wenger bukan faktor pelatih saja. Memang harus diakui, strategi dan taktik sang monsieur sudah termakan zaman. Namun manajemen yang harusnya mendukung kinerja Wenger juga turut andil atas kemerosotan The Gunners.
Manajemen tidak mampu memagari pemain-pemain bintang yang ingin hengkang dan mencari pengganti sepadan. Strategi pelatih yang usang ditambah manajemen yang buruk membuat semangat kompetitif pemain semakin menurun setiap tahunnya. Keadaan ini berimbas kepada runtuhnya aspek paling fundamental yakni mentalitas tim.
Aspek mental inilah yang menjadi masalah utama Arsenal. Di saat-saat krusial, di mana Arsenal seharusnya di atas kertas meraih kemenangan, mereka justru beroleh hasil kurang elok. Situasi ini selalu terjadi hampir setiap tahun. Hanya satu pertandingan yang benar-benar memuaskan saya saat The Gunners bermarkas di Stadion Emirates yaitu saat menumbangkan AC Milan dengan skor 2-0.
Ketika tongkat estafet kepelatihan berlanjut ke Unai Emery, keadaan tak berubah secara signifikan. Saat Pierre-Emerick Aubameyang dan kawan-kawan berpeluang finis di posisi empat, peringkat terakhir untuk lolos ke Liga Champions, mereka justru menyia-nyiakannya. Padahal di saat yang sama, Chelsea, United dan Tottenham Hotspur juga tidak stabil performanya jelang akhir musim 2018/2019. Kondisi itu membuat fans Arsenal menjadi sufi yang zuhud sebab punya sifat sabar dan qanaah (penerimaan) yang tinggi dalam mendukung The Gunners.
Kini tongkat estafet dipegang Mikel Arteta, eks pemain sendiri pada 2011 hingga 2016 silam. Pengalamannya kala menjadi asisten pelatih Pep Guardiola di Manchester City dinilai cukup untuk mempercayainya sebagai manajer anyar. Hasilnya pun memuaskan karena Arteta sudah menyumbang dua trofi sejauh ini, masing-masing berupa Piala FA dan Community Shield.
Berdasarkan informasi yang saya himpun dari berbagai sumber, ada tiga syarat menjadi tim sepak bola yang hebat dan meraih banyak trofi. Antara lain pola permainan yang bagus, efektif dalam mengeksekusi peluang, dan mental yang kuat di saat-saat genting. Bagi saya, Arteta sudah memenuhi dua syarat pertama.
Permainan Arsenal di bawah Arteta sangat tenang dan rapi. Sirkulasi bola cukup bersih sehingga pemain-pemain mampu menciptakan banyak ruang di pertahanan lawan. Tidak perlu melakukan banyak umpan pendek seperti di era Wenger. Efektivitas mulai terlihat di Piala FA saat melipat City di semifinal dan Chelsea di final.
Dalam laga semifinal, Aubameyang dan kolega hanya perlu melakukan empat tembakan tepat sasaran guna menggetarkan jala lawan sebanyak dua kali. Sementara di partai puncak, Arsenal membukukan tiga tembakan tepat sasaran guna mengoyak jala rival sekotanya itu tiga kali.
Saya percaya sepenuhnya ke Arteta perihal pola permainan, taktik dan strategi. Sanad keilmuannya tersambung ke Johan Cruyff, maestro Total Football, lewat Guardiola. Prinsip-prinsip permainan yang ditetapkan Arteta kurang lebih sama dengan Cruyff. Hanya penerapannya di lapangan saja yang berbeda karena menyesuaikan dengan kemampuan para pemain.
Kini tinggal meningkatkan mental pemain ke level yang lebih tinggi. Untuk kompetisi Eropa (musim ini Arsenal berlaga di Liga Europa), Arteta bisa menilik Liverpool saat menjuarai Liga Champions dua musim lalu. Mereka mampu melewati hadangan tim-tim elite di fase gugur. Sanggup melakukannya, maka kesempatan juara menjadi lebih besar.
Di pentas Liga Primer Inggris, Arteta bisa bernostalgia dengan performa Arsenal saat menjuarai kompetisi musim 2003/2004 dengan status tak terkalahkan. Saat itu Arsenal kerap bangkit dari ketertinggalan dan meraih kemenangan di akhir pertandingan. Liverpool 2018/2019 dan Arsenal 2003/2004 adalah contoh bagus untuk Arteta dalam upaya meningkatkan mental tim asuhannya saat ini.
Kesalahan di masa lalu patut menjadi pelajaran untuk internal klub. Manajemen dan jajaran kepelatihan harus saling mendukung supaya Arsenal mampu menggapai prestasi lebih baik di masa depan. Jika internal klub sudah kondusif, para pemain bisa fokus untuk tampil maksimal di atas lapangan.
Dampak selanjutnya adalah pemain-pemain bintang merasa betah sebab percaya dengan visi dan misi klub dalam mendekatkan diri dengan prestasi. Bukan tidak mungkin dengan mental yang kuat, Arsenal mampu menyudahi paceklik gelar Liga Primer Inggris-nya yang sudah berlangsung belasan musim. Apalagi di laga perdana musim 2020/2021, mereka tampil ciamik dengan meraih kemenangan usai mencukur Fulham via skor 3-0.
Tidak menutup kemungkinan juga kalau di masa yang akan datang, berbekal penampilan yang semakin baik, kualitas skuad yang dalam, dan mentalitas paripurna, gelar Liga Champions tak lagi jadi mimpi. Namun sesuatu yang nyata buat dipajang di lemari trofi Stadion Emirates.