Barcelona dan Kegelisahan yang Menghantui

Perburuan titel La Liga Spanyol musim 2019/2020 makin sengit. Dua tim terbesar di Negeri Matador, Real Madrid dan Barcelona, jadi pihak yang memperebutkan gelar tersebut. Sampai tulisan ini dibuat, Los Merengues duduk di puncak klasemen dengan koleksi 80 poin dari 35 pertandingan sedangkan Los Cules menguntit dari peringkat dua dengan raihan 79 angka setelah berlaga sebanyak 36 kali.

Keberhasilan Sergio Ramos dan kawan-kawan nangkring di posisi satu juga berkat kesalahan Lionel Messi beserta kolega sendiri. Di saat rivalnya itu selalu memetik kemenangan dalam delapan partai La Liga terakhirnya, Barcelona justru kehilangan angka tiga kali sebab menyudahi laga dengan hasil imbang. Masing-masing saat jumpa Sevilla (20/6), Celta Vigo (27/6), dan Atletico Madrid (1/7).

Diakui atau tidak, kurang bagusnya performa Los Cules akhir-akhir ini adalah buah dari permasalahan internal yang tak kunjung selesai. Padahal, mereka butuh fokus prima guna menyelesaikan kompetisi dengan status juara, baik di level domestik maupun regional.

Saya pun jadi ingat kisah Manchester United selepas Sir Alex Ferguson menyatakan pensiun sebagai pelatih mereka di pengujung musim 2012/2013 kemarin. Pelan tapi pasti, United jatuh dalam kesemenjanaan. Alih-alih bersaing memperebutkan gelar juara, mereka lebih banyak berkutat dengan perebutan tiket lolos ke kejuaraan antarklub Eropa.

Sialnya lagi, kepergian Ferguson juga diikuti dengan proses gonta-ganti pelatih yang dilakukan The Red Devils. Mulai dari David Moyes, Louis van Gaal, Jose Mourinho hingga kini dibesut Ole Gunnar Solskjaer. Walau Van Gaal dan Mourinho sempat memberikan gelar, tapi United belum betul-betul kembali ke trahnya sebagai kesebelasan raksasa yang dominan di tanah Inggris dan Eropa seperti era Ferguson.

Pengelolaan klub dinilai amburadul karena berfokus pada sektor komersial. Beberapa kali, transfer pemain yang mereka lakukan juga nyeleneh dan kerap jadi bahan tertawaan di media sosial. Lebih dari itu, mentalitas tim juga mengalami degradasi sehingga di momen-momen tertentu, United bak tim ayam sayur yang tak tahu bagaimana cara bermain sepakbola yang benar. Meski tak separah United, tapi gelagat komedi ini yang sekarang terlihat di Barcelona.

Suksesi Presiden Muasal Kiamat

Bila rontoknya kedigdayaan United bermula dari mundurnya sang pelatih legendaris, problem Los Cules lebih sistemik yakni dari pergantian pucuk pimpinan klub. Sandro Rosell yang mundur tahun 2014 digantikan oleh wakilnya, seorang pebisnis bernama Jose Maria Bartomeu.

Selayaknya pebisnis, Bartomeu memang jeli mengeksploitasi sisi komersial klub. Semenjak kiprahnya sebagai wakil presiden Rosell beberapa tahun silam, ia sudah melancarkan agenda bisnis yang membuat klub kehilangan jati dirinya. Misalnya saja menggandeng sponsor komersial yang menempel di seragam klub guna mendapat suntikan dana masif. Mulai dari Qatar Foundation, Qatar Airways sampai kini diisi oleh Rakuten.

BACA JUGA:  Teka-Teki Penerus Messi di Adidas: Apakah Jude Bellingham?

Kesucian jersi Barcelona yang sejak berdirinya klub tak pernah disesaki sponsor akhirnya patah di tangan Bartomeu. Entah ini diakibatkan industri sepakbola yang semakin menggeliat, terlebih Barcelona punya nama besar, atau memang keserakahan Bartomeu semata.

Semboyan Los Cules yaitu Mes Que un Club yang artinya Lebih Dari Sekadar Klub pun mulai diplesetkan banyak pihak. Ya, Barcelona memang lebih dari sekadar klub, mereka juga mesin penghasil uang dalam jumlah masif.

Luis Enrique: Eksploitasi Total Keganasan Trio MSN

Salah satu akar bencana yang diciptakan Bartomeu ialah mulai berpalingnya klub dari filosofi. Gaya bermain Total Football yang dibawa Johan Cruyff ke Stadion Camp Nou dan disempurnakan oleh Pep Guardiola lewat Tiki-Taka yang menuai segudang trofi dipandang sudah kuno karena banyak cara untuk mematahkannya.

Saat menunjuk Luis Enrique sebagai nakhoda baru, semangat untuk bermain menyerang dan indah tetap ada. Namun ada banyak modifikasi yang dilakukan oleh bekas pelatih tim Barcelona B tersebut. Salah satu yang paling kentara adalah eksploitasi Enrique terhadap trio maut Messi-Luis Suarez-Neymar kala itu.

Hasilnya memang yahud. Selama tiga musim bertarung bersama, trio MSN melahirkan 318 gol. Bahkan pada musim 2014/2015, gelontoran 122 gol mereka melampaui perolehan gol klub sekelas Paris Saint-Germain (PSG) yang sangat dominan di Prancis lantaran hanya mengantongi 120 gol.

Sistem permainan besutan Enrique berorientasi kepada trio ini. Dengan begitu, penguasaan bola bukan lagi kewajiban utama. Lini tengah hanya sekadar mengisi zona-antara di lapangan. Barcelona tak canggung memainkan bola-bola panjang dari sepasang full back, Jordi Alba, dan Dani Alves, dengan sasaran utama trio MSN di depan.

Di sejumlah momen, kecenderungan pragmatis Enrique tetap menghasilkan trofi juara. Namun pada akhirnya, hal itu membuat permainan Los Cules terlihat makin monoton karena menonjolkan skill individu para penggawanya, terutama trio MSN.

Utang Budi Ernesto Valverde kepada Lionel Messi

Lepas dari Enrique, masuk ke mulut Ernesto Valverde. Sepakbola pragmatis masih jadi primadona di Barcelona. Ragnarok mulai tampak saat Neymar yang menjadi kepingan puzzle trio MSN memilih cabut dari tanah Catalan buat membuktikan kapabilitasnya dan bergabung ke PSG di musim panas 2017 silam.

Kendati masih punya Suarez, ada banyak perubahan sekaligus pembenahan yang dilakukan Valverde. Pasalnya, tak ada lagi Xavi Hernandez di tubuh klub. Sementara Andres Iniesta cuma bermain untuk mereka semusim lagi. Praktis, segalanya digantungkan sang pelatih kepada Messi yang sayangnya, juga memiliki keterbatasan di momen-momen tertentu.

Benar jika Barcelona masih memenangkan dua gelar di musim perdana Valverde di Stadion Camp Nou. Namun permainan pragmatis yang Messi-sentris bikin mereka tak sulit untuk ditaklukkan. Matikan sang megabintang asal Argentina, maka habis sudah Barcelona.

BACA JUGA:  Topeng di Wajah Ronald Koeman

Final Copa del Rey 2018/2019 menjadi bukti sahihnya. Kala itu, Messi mencatatkan 31 persen usage rate. Artinya, 31 persen penguasaan bola Los Cules ada di kaki Messi. Bahkan penguasaan bola Valencia secara keseluruhan saja cuma 28 persen. Hal ini menyiratkan buntunya strategi tim dan bila Messi dihentikan, maka kiamat untuk Barcelona.

Realitanya, Valencia yang saat itu ditukangi Marcelino Garcia Toral sanggup meredam Barcelona dan menang dengan skor tipis 2-1. Peluang Valverde meraup double winners seperti di musim perdananya melatih pun kandas dengan cara menyakitkan.

Apalagi di musim itu, Barcelona juga tersingkir secara mengenaskan dari ajang Liga Champions. Unggul 3-0 di semifinal leg pertama melawan Liverpool, mereka malah dipecundangi saat melakoni leg kedua via kekalahan telak 0-4.

Quique Setien dan Ilusi Tiki-Taka

Quique Setien populer akan kegigihannya menerapkan gaya main yang menekankan pada penguasaan bola saat menukangi tim-tim papan tengah selevel Las Palmas, dan Real Betis. Ketika Valverde tak sanggup mempertahankan jabatannya, manajemen lantas menarik Setien ke Stadion Camp Nou di pertengahan musim 2019/2020.

Akan tetapi, tak ada sihir yang berhasil Setien perlihatkan. Gaya main klub memang mulai kembali condong ke penguasaan bola secara luar biasa. Namun layaknya Valverde, Setien juga kecanduan pada aksi-aksi brilian Messi di atas lapangan. Sebuah keunggulan tapi juga penyakit kronis yang tampak sulit disembuhkan.

Lihat saja bagaimana Barcelona saat ini bermain, semuanya berpusat ke La Pulga. Pergerakan pemain, dan umpan-umpan yang dilakukan seakan bergantung pada apa yang Messi lakukan di lapangan. Messi jadi aktor utama yang menginisiasi serangan dan mengobrak-abrik pertahanan lawan di fase menyerang. Gol-golnya amat diharapkan, entah lewat permainan terbuka atau bola-bola mati.

Makin sial, Setien bukan figur yang dihormati oleh seluruh penggawa Barcelona. Ia sering kerepotan menguasai ruang ganti, yang mungkin saja didominasi oleh ego Messi. Akibatnya, beberapa kali penggawa Los Cules kedapatan tidak mendengarkan instruksinya dari pinggir lapangan dan bahkan mengabaikan asisten Setien kala mendekati para pemain.

Saat ini, Barcelona memang masih bisa bersaing di level tertinggi, baik dalam kompetisi domestik maupun regional. Namun tanpa perbaikan yang jelas serta menyeluruh, ketika Messi dan rekan-rekan sepantarannya pensiun, klub yang berdiri tahun 1899 ini dapat kehilangan arah. Apalagi kalau presiden klub nantinya masih diisi orang-orang yang lebih mementingkan sektor komersial dan menepikan kebutuhan teknis.

Barcelona akan tetap bertahan, tapi penggemar mereka pasti gelisah bukan kepalang. Tak menutup kemungkinan, Los Cules jadi tak ada bedanya dengan Levante atau Real Valladolid.

Komentar