Sepak Bola dalam Bayangan Terorisme 2.0

Tanggal 1 Agustus 1936, Adolf Hitler tampil di panggung pembukaan Olimpiade musim panas yang dihelat di Berlin, Jerman. Keberhasilan Jerman menjadi tuan rumah Olimpiade sebenarnya bukanlah buah dari usaha Adolf Hitler.

Jerman sudah terpilih menjadi tuan rumah sejak masa Republik Wiemar, di tahun 1931. Terpuruk oleh kekalahan menyakitkan di Perang Dunia I, Adolf Hitler membangkitkan sentimen pada kaum minoritas yang diragukan darah Arya yang mengalir di tubuhnya.

Kaum Yahudi menjadi sasaran utama propaganda Adolf Hitler melalui Partai Nazi, terutama dengan alasan tuduhan atas peran mereka yang menyebabkan Jerman kalah dalam Perang Dunia I. Perjanjian Versailles, yang menandai akhir perang, dianggap telah merendahkan martabat bangsa Jerman.

Propaganda tersebut menggerakan rakyat Jerman yang sedang mengalami krisis ekonomi, sekaligus krisis kepercayaan diri, memilih Adolf Hitler. Di Stadion Olimpia di kota Berlin, Adolf Hitler tampil.

Walaupun sempat mendapat tentangan dari berbagai negara, seperti Uni Sovyet dan Spanyol yang sedang dikuasai kaum kiri, Olimpiade tetap berlangsung dengan kemeriahan. Di balik kemeriahan Olimpiade, bara ambisi Adolf Hitler untuk meluaskan Reich Ketiga semakin berkobar.

Tiga tahun setelah Olimpiade, pasukan Jerman menyerbu Polandia. Menyusul kemudian Prancis. Garis Maginot yang dibanggakan Prancis dengan mudah ditembus panser Jerman melalui serangan blietzkrieg. Operasi Barbarosa didengungkan Adolf Hitler untuk menguasai Uni Sovyet.

Pada akhir perang, pasukan Adolf Hitler akhirnya yang tumbang.

Kekalahan Jerman menyebabkan negara ini terpecah menjadi Jerman Barat yang pro pada sekutu pimpinan Amerika Serikat dan Jerman Timur yang menjadi kepanjangan tangan kepentingan Uni Sovyet di Eropa Barat.

Jerman Barat tumbuh menjadi negara demokrasi baru dengan pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan. Industri Jerman yang terkenal dengan kualitasnya mengantarkan Jerman Barat menjadi negara maju. Kemajuan yang selanjutnya hendak dirayakan dengan menjadi tuan rumah Olimpiade musim panas tahun 1972.

Hanya dua puluh tahun sejak terpuruk akibat terbius propaganda Adolf Hitler yang mengantarkan kekalahan perang, Jerman Barat kembali menjadi tuan rumah Olimpiade.

BACA JUGA:  Kultur Patriarki dan Nasib Perempuan di Stadion

Perayaan Olimpiade ke-20 yang dipusatkan di kota Munchen tiba-tiba berubah menjadi mimpi buruk. Sekelompok teroris dari Timur Tengah menyerang perkampungan Olimpiade dengan sasaran penginapan atlet dan ofisial Israel.

Serangan dan penyaderaan gagal diatasi oleh aparat keamanan Jerman Barat. Sebelas sandera Israel kehilangan nyawa bersama seorang polisi dan lima orang teroris.

Olimpiade berkabung. Delapan puluh ribu orang datang ke Stadion Olimpiade Munchen dalam upacara berkabung. Olimpiade tetap dilanjutkan dengan suasana berkabung. Israel kemudian memilih pulang. Aksi yang kemudian diikuti negara lain seperti Mesir, Filipina, Aljazair, Belanda, Norwegia, dan lainnya.

Pada 13 November 2015, kesebelasan nasional sepak bola Jerman bertanding dalam pertandingan persahabatan dengan tim nasional Prancis di Stade de France, Paris. Dua negara yang pernah berseteru pada masa Perang Dunia I dan II ini, adalah dua negara dengan tim nasional sepak bola yang dalam dua dekade terakhir banyak diisi oleh keturunan imigran dari berbagai latar belakang budaya.

Prancis dan Jerman adalah dua negara Eropa yang relatif terbuka terhadap arus migran. Bahkan di saat krisis migran yang membanjiri Eropa pada tahun 2015, Jerman membuka diri dengan menerima pengungsi korban perang.

Keturunan imigran dari Timur Tengah dan Afrika Utara menjadi diaspora yang merepresentasikan Islam yang toleran dan mampu beradaptasi dengan kultur Eropa yang sekuler, salah satunya dengan menjadi pemain sepak bola di benua biru.

Tiba-tiba representasi Islam yang ramah dan toleran hancur dalam sekejap kala bom bunuh diri meledak di luar Stade de France, berbarengan dengan serangan-serangan lain di berbagai lokasi di kota Paris.

Beberapa laporan menyebutkan korban jiwa mencapai tidak kurang dari 129 orang dan ratusan korban luka. Islamic State in Iraq and Syiria (ISIS) melalui kanal internet mereka menyatakan diri sebagai pelaku serangan teror mematikan di Paris.

Jelas bahwa pemilihan waktu dan lokasi serangan teror yang berdekatan dengan laga Prancis vs Jerman tidaklah suatu kebetulan. Begitu pula ketika ada ancaman terhadap laga Belgia melawan Spanyol di Brussel (16/11) dan pertandingan antara Jerman vs Belanda di Hannover (17/11) yang menyebabkan kedua laga urung digelar.

BACA JUGA:  Kisah Lahirnya Fandom Foundation

Aksi terorisme umumnya memiliki pola yang seragam, yaitu menyerang lokasi yang memungkinkan terciptanya teror yang meluas melalui pemberitaan media. Pola yang mirip pada serangan di Olimpiade Munchen dan serangan di Paris.

Tentang bagaimana teroris memanfatkan momentum olahraga sebagai media publisitas bisa disamakan dengan bagaimana Adolf Hitler memanfaatkan Olimpiade Berlin sebagai media propaganda.

Bagi kelompok teroris, kemanusiaan adalah nomor kesekian. Tanpa mengenal iba, mereka membunuh masyarakat sipil dengan tujuan menekan lawan sekaligus menciptakan publisitas.

Brian Mc Nair dalam bukunya berjudul “An Introduction to Political Communication” (1999) menyebutkan bahwa terorisme adalah tindakan komunikasi politik di luar jalur konstitusional yang ditujukan untuk menciptakan ketakutan dan chaos melalui aksi dan publikasi mengenai teror.

Mengikuti pendapat tersebut, kini para teroris secara lebih sadis menebar teror, serempak pula secara lebih massif mempublikasikan aksi teror. Bandingkan korban di Olimpiade Munchen dengan serangan di Paris. Bandingkan juga bagaimana teroris menyebarluaskan aksi teror mereka melalui media.

Pada aksi terorisme pada dekade 1970-an dan 1980-an, para teroris melakukan publisitas dengan mengirim siaran pers tertulis dan video ke redaksi media. Dalam proses ini, redaksi bisa melakukan “gatekeeping” terhadap isi pesan teroris.

Kini di masa media digital yang terkoneksi jaringan internet, para teroris bisa langsung mengunggah video yang berisi kebencian. Melalui media sosial di era internet web 2.0, pesan kebencian yang disuarakan para teroris berkelindan dengan beragam berita tentang aksi teror yang mereka lakukan.

Sekali lagi, Islam yang ramah dan toleran melalui representasi pesepak bola tim nasional negara Eropa keturunan imigran muslim dihancurkan oleh teror dan pesan kebencian dari para teroris.

Berbeda dengan para pesepak bola yang meneladankan Islam sebagai rahmat bagi semua umat, para teroris justru menenggelamkan Islam dalam bayangan terorisme yang nir-kemanusiaan.

 

Komentar
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.