Sudah jadi rahasia umum bila Italia amat populer sebagai negeri dengan aneka makanan yang menggugah selera. Dewasa ini, menemukan menu-menu khas Italia seperti pasta, pizza dan spaghetti bukan perkara sulit, tak terkecuali di Indonesia. Mulai dari restoran mewah dengan harga selangit sampai lapak-lapak tepi jalan yang mematok harga penuh nurani.
Namun Italia tak hanya dikenal sebagai negeri penghasil makanan lezat, mereka juga sangat hebat dalam urusan sepak menyepak bola. Calcio bagi masyarakat Italia adalah candu yang luar biasa nikmat rasanya. Negara yang bentuk geografisnya bak kaki ini merupakan salah satu raja sepak bola Eropa, bahkan dunia.
Dalam rentang 1982 hingga 2012 silam, tim nasional Italia punya taji yang luar biasa. Tercatat, mereka sukses menembus tiga final Piala Dunia yakni 1982, 1994 dan 2006. Di tiga kesempatan itu Gli Azzurri berhasil membawa pulang dua gelar yaitu di tahun 1982 dan 2006.
Italia juga berhasil menembus dua final Piala Eropa, masing-masing pada tahun 2000 dan 2012 yang lalu. Sayangnya Italia memang kurang berjodoh di turnamen antarnegara Eropa, di sepasang partai pamungkas itu juga mereka harus tertunduk akibat tumbang dari Prancis dan Spanyol.
Dalam rentang waktu yang sama, klub-klub Italia dikenal beringas tatkala mentas di kompetisi antarklub Eropa. Kebetulan saat itu UEFA menyelenggarakan tiga kompetisi prestisius yakni Piala/Liga Champions, Piala UEFA/Liga Europa dan Piala Winners (dihentikan penyelenggaraannya sejak 1999/2000).
Selama tiga dekade tersebut, wakil-wakil Italia sanggup membawa pulang 20 trofi secara keseluruhan. Rinciannya adalah delapan trofi Piala/Liga Champions (1985, 1989, 1990, 1994, 1996, 2004, 2007 dan 2010), delapan gelar Piala UEFA/Liga Europa (1989, 1990, 1991, 1993, 1994, 1995, 1998 dan 1999) dan empat titel Piala Winners (1984, 1990, 1993 dan 1999). Kala itu, klub-klub dari negeri pizza benar-benar menjadi maharaja di benua biru.
Tak heran bila kompetisi Serie A dijadikan kiblat oleh negara lain, tak terkecuali oleh Indonesia yang pernah mengirimkan pemain-pemain belia dalam program primavera ke negerinya Benito Mussolini tersebut di pertengahan tahun 1990-an. Namun kini hal tersebut tak ubahnya kenangan belaka.
Di Piala Dunia 2014, timnas Italia yang tergabung di grup D bersama Inggris, Kosta Rika dan Uruguay justru harus angkat kaki lebih dulu karena hanya finis di peringkat ketiga. Ini mengulangi kegagalan mereka di Piala Dunia 2010 saat tersingkir di babak penyisihan grup karena hanya finis di posisi buncit grup F. Gli Azzurri memang sanggup melaju hingga final di Piala Eropa 2012, namun mereka harus menanggung malu setelah digunduli Spanyol dengan skor telak 4-0.
Setali tiga uang, performa klub-klub Serie A juga semakin merosot dalam lima musim belakangan, termasuk musim ini. Mari kita mulai dari kompetisi antarklub Eropa nomor wahid alias Liga Champions.
Pada musim 2011/2012, wakil Italia yang sanggup melaju paling jauh adalah AC Milan. Itupun hanya sampai di fase perempatfinal usai digasak raksasa asal Catalunya, Barcelona dengan skor agregat 3-1. Sedangkan dua kontestan lain asal Italia yang juga melaju ke fase gugur, Internazionale Milano dan Napoli, telah lebih dulu keok di perdelapanfinal, masing-masing dari Marseille dan Chelsea dengan agregat 2-2 (Inter kalah gol away) dan 5-4.
Semusim berselang, penampilan seadanya utusan Serie A kembali berlanjut meski meloloskan Milan dan Juventus ke fase gugur. I Rossoneri tumbang lewat agregat 4-2 di sepasang laga perdelapanfinal dari Barcelona sedangkan Gianluigi Buffon cs. harus mengakui kehebatan Bayern Munchen di dua leg babak perempatfinal via agregat 4-0.
Musim 2013/2014 menjadi bencana lanjutan wakil Serie A setelah Milan sebagai satu-satunya perwakilan harus keok di perdelapanfinal setelah digunduli tim Spanyol, Atletico Madrid, dengan skor total 5-1.
Secercah cahaya sempat hadir di musim 2014/2015 lalu saat Juventus menembus final walau harus menerima kekalahan dari Barcelona dengan kedudukan 1-3. Tapi perlu dicatat juga bila I Bianconeri merupakan satu-satunya wakil Serie A di babak knockout.
Beralih ke ajang Liga Europa 2011/2012, Italia meloloskan dua pasukannya ke fase gugur yaitu Lazio dan Udinese. Tapi naas, langkah keduanya berakhir prematur. Lazio menyerah dari Atletico Madrid (yang kemudian keluar sebagai juara) via agregat 4-1 di babak 32-besar. Sementara Udinese dihempaskan klub Belanda, AZ Alkmaar, dengan agregat 3-2 di babak 16-besar.
Musim 2012/2013 memberi sedikit harapan buat Italia pasca mengirim trio Inter, Lazio dan Napoli ke babak knockout. Napoli yang bermaterikan skuat cukup mumpuni secara tak terduga justru dikandaskan oleh wakil Republik Ceska, Viktoria Plzen, di fase 32-besar dengan skor total mencolok 5-0.
Sementara I Nerazzurri harus menanggung kecewa akibat tersingkir di babak 16-besar meski memiliki agregat sama kuat 4-4 dengan tim asal Inggris, Tottenham Hotspur, namun kalah akibat aturan gol tandang. Sedangkan Lazio harus terhenti langkahnya di perempatfinal sehabis dibenamkan wakil Turki, Fenerbahce, via agregat 3-1.
Italia memiliki empat utusan di fase gugur musim 2013/2014 yakni Fiorentina, Juventus, Lazio dan Napoli, itupun dengan catatan Juventus adalah lungsuran dari Liga Champions. Naas buat Lazio, klub kebanggaan para Laziale ini mesti mengakui kedigdayaan tim asal Bulgaria, Ludogorets Razgrad di babak 32-besar via agregat 3-4.
Begitu juga dengan Napoli yang terhempas oleh raksasa Portugal, Porto, di fase 16-besar dengan skor keseluruhan 3-2. Sementara La Viola harus tersingkir setelah ditumbangkan via agregat 2-1 oleh rival senegara, Juventus, di babak 16-besar. Juventus sendiri kemudian harus menelan pil pahit akibat digasak jagoan Portugal lain, Benfica, di semifinal lewat kedudukan total 2-1. Patut diingat jika final Liga Europa musim 2013/2014 diselenggarakan di J-Stadium, markas I Bianconeri.
Italia kembali menaruh harapan besar begitu lima kesebelasan sukses menembus fase gugur Liga Europa musim 2014/2015. Mereka adalah AS Roma, Fiorentina, Inter, Napoli dan Torino.
Tapi harapan tinggal harapan begitu nama pertama mesti mengakui keunggulan tim senegara, Fiorentina, setelah dicukur dengan agregat 4-1 di babak 16-besar. Hal yang sama juga menimpa Inter dan Torino yang tewas oleh sabetan Wolfsburg dan Zenit St. Petersburg masing-masing dengan kedudukan total 5-2 dan 2-1.
Fiorentina dan Napoli sejatinya sanggup lolos sampai ke semifinal, sialnya mereka berdua mesti mengakui keunggulan lawan masing-masing di babak tersebut, yakni Sevilla dan Dnipro Dnipropetrovsk via agregat 5-0 dan 2-1.
Dan musim 2015/2016 kali ini seolah menjadi kulminasi betapa klub-klub Italia kehilangan daya tatkala bersaing dengan para rival dari negara lain. Dua wakil negeri pizza di Liga Champions, AS Roma dan Juventus, telah mengepak koper usai bertekuk lutut dari Real Madrid dan Bayern Munchen di perdelapanfinal via agregat 4-0 dan 6-4.
Padahal semua orang tahu jika final Liga Champions musim ini akan berlangsung di Stadion Giuseppe Meazza, markas Inter dan Milan.
Sementara Fiorentina, Lazio dan Napoli yang mentas di Liga Europa juga telah gugur. La Viola keok di tangan Tottenham di babak 32-besar. Setali tiga uang, I Partenopei, secara mengejutkan digulung wakil Spanyol, Villarreal. Lazio yang kemudian jadi satu-satunya harapan Italia juga mesti rela diremukkan oleh utusan Republik Ceska, Sparta Praha, dengan agregat 4-1 di fase 16-besar.
Sungguh menyedihkan bila mengetahui fakta jika Italia tak lagi punya wakil di kompetisi antarklub Eropa musim ini. Padahal Italia merupakan salah satu negara paling sukses, baik di level timnas maupun klub. Seperti dikutip dari football-italia.net, ini merupakan rekor terburuk klub-klub Italia di ajang antarklub Eropa dalam 15 tahun terakhir. Hal ini seolah membuka borok tentang bobroknya sepak bola Italia dalam beberapa tahun ke belakang.
Banyaknya klub yang bermasalah dalam hal finansial, degradasi kualitas, stadion-stadion kuno yang tak lagi representatif, enggannya tim-tim Italia memberdayakan pemain-pemain akademi sendiri hingga urusan nonteknis macam skandal judi atau kongkalikong dengan mafia sudah merusak sepak bola Italia itu sendiri.
Suka tidak suka, para pencinta calcio harus mengakui bila Italia kini sudah semakin tertinggal dengan para pesaing seperti Inggris, Jerman, Portugal, Prancis dan Spanyol.
Sudah seharusnya petinggi federasi sepak bola Italia (FIGC), para pemilik klub dan pemerintah Italia duduk bersama guna mengatasi hal ini secepat mungkin. Bila Italia tak memiliki perencanaan jelas untuk sepak bola mereka, jangan harap terlalu banyak Gli Azzurri bakal mengangkat trofi Piala Dunia atau Piala Eropa dalam waktu dekat. Pun begitu dengan tim-tim Serie A di kompetisi antarklub benua biru.
Berbenahlah Italia!