Nangkring di posisi tiga klasemen akhir Grup F babak penyisihan Liga Champions 2019/2020 jadi rapor Internazionale Milano pada kejuaraan antarklub Eropa nomor wahid tersebut. Sebagai efeknya, tim asuhan Antonio Conte harus menerima nasib didemosi ke ajang kelas dua, Liga Europa, mulai fase 32 besar.
Hal itu membuat I Nerazzurri dicibir habis, terutama oleh fans dari klub-klub rival di Italia. Ada yang menyebut Romelu Lukaku dan kawan-kawan sebagai badut di Benua Biru. Ada pula yang mengatakan jika level Inter hanya sebatas itu.
Di tengah badai cercaan dan beraneka macam distraksi yang ada, Conte mengajak pemain-pemainnya untuk tetap fokus pada tujuan tim.
Lelaki berumur 51 tahun tersebut sadar bahwa satu-satunya cara buat melenyapkan aura negatif yang ditimbulkan para pengganggu adalah tampil baik di sisa musim 2019/2020 dalam ajang apapun.
Maka seusai memastikan diri duduk di peringkat dua Serie A 2019/2020 dan menggenggam satu tiket otomatis ke Liga Champions musim depan, I Nerazzurri memusatkan perhatiannya ke Liga Europa.
Sulit menampik anggapan bahwa misi Lukaku dan kolega di ajang ini adalah menjadi juara. Namun dalam setiap wawancara, Conte masih malu-malu untuk mengakuinya.
“Kekuatan dari setiap tim yang masih berpartisipasi merata dan kami bukan unggulan. Kami hanya ingin fokus dari satu laga ke laga selanjutnya. Setelah itu, kita lihat saja kami pantas berada di mana”, terang Conte seperti dilansir dari detiksport.
Kesungguhan Inter saat beraksi di Liga Europa sudah terlihat di 32 besar. Berjumpa wakil Bulgaria, Ludogorets Razgrad, Conte tetap menurunkan skuad terbaiknya. Alhasil, laga kandang dan tandang sukses mereka menangkan masing-masing via skor 2-0 dan 2-1.
Usai ditunda penyelenggaraannya akibat pandemi Corona serta diubahnya format kompetisi Liga Europa di sisa musim (fase gugur dilanjutkan dalam single match dan dipusatkan di beberapa kota di Jerman), Lukaku dan kawan-kawan langsung tancap gas pada babak-babak berikutnya.
Wakil Spanyol yang mereka temui di perdelapanfinal, Getafe, disingkirkan dengan skor 2-0. Sementara gacoan Jerman, Bayer Leverkusen, ditundukkan lewat kedudukan 2-1 di perempatfinal.
Terakhir, giliaran Shaktar Donetsk dari Ukraina yang dicukur pada babak semifinal via keunggulan 5-0. Inter pun melaju ke final Liga Europa dan akan berhadapan dengan raja di ajang ini, Sevilla.
Mengincar Trofi Pertama
Keberhasilan lolos ke final Liga Europa tentu disambut bahagia Interisti di penjuru Bumi. Usai berpuasa nyaris satu dekade, akhirnya mereka bisa melihat kembali tim kesayangannya tampil di partai puncak dan memperebutkan titel.
Tak hanya fans, para penggawa juga bersorak gembira dengan hal tersebut. Apalagi buat sejumlah penghuni skuad I Nerazzurri saat ini, final Liga Europa nanti adalah partai puncak pertama mereka sepanjang berkarier di dunia sepakbola. Ketegangan dan antusiasme pasti bercampur di sana.
Di sisi seberang, manajemen tentu puas dengan pencapaian tim sejauh ini. Jangan kaget bila senyum di wajah sang presiden klub, Steven Zhang, akan terus berkembang, setidaknya hingga laga final dimulai. Ia pun bisa menyebut bahwa di era kepemimpinannya, kesebelasan yang berdiri tahun 1908 itu berlayar ke arah yang benar.
Pamungkas, ada Conte yang sangat mensyukuri capaian tersebut. Paling tidak, kritik dan olok-olok yang sepanjang musim ini mengarah padanya bisa sedikit diredam sebab proyek yang ia laksanakan di Stadion Giuseppe Meazza menampakkan sinyal positif. Dari sekian sosok yang paling berpengaruh buat langkah Inter musim ini, Conte pantas mendapat kredit paling tinggi.
Ditunjuk sebagai pengganti Luciano Spalletti di kursi pelatih dengan darah Juventino yang mengalir di nadinya, suara-suara negatif mengiringi kedatangan Conte. Terlebih sejumlah pemain yang didatangkan I Nerazzurri sesuai permintaan sang pelatih seperti Lukaku dan Ashley Young, mulanya dianggap sebagai kebodohan oleh segelintir Interisti.
Sempat membawa Lukaku dan kawan-kawan tampil ciamik pada awal musim, apresiasi bagi Conte tergolong minim.
Padahal di tangannya pula Inter mulai memperlihatkan identitas permainan yang jelas. Bukan sekadar mengirim umpan silang dan insyaallah gol saja di fase menyerang atau menumpuk banyak pemain di area sendiri supaya gawang tidak terekspos lawan manakala bertahan seperti yang biasa terlihat pada musim-musim sebelumnya.
Ketika performa tim merosot di Serie A dan akhirnya tergusur dari Liga Champions, nyinyiran untuk lelaki asal Lecce itu malah semakin bergema.
Alih-alih menyebut penurunan Inter diakibatkan masalah teknis, ada saja pernyataan konyol yang menyebut bahwa Conte sengaja merusak tim dari dalam karena ia agen Juventus, rival Inter di kancah sepakbola Italia. Efek kebanyakan nonton sinetron, ya, begini.
Bahkan saat tim asuhannya menyelesaikan Serie A di peringkat kedua, pertama kali dalam kurun sewindu terakhir, Conte masih dihujani kritikan pedas.
Perlakuan kepada mantan allenatore Bari, Juventus, tim nasional Italia, dan Chelsea tersebut sungguh tidak adil. Conte this, Conte that. Padahal ia layak dibela.
Kesuksesan membawa Inter ke final Liga Europa adalah prestasi tersendiri bagi Conte. Pasalnya, ini adalah momen pertama ia mengantar tim asuhannya menjejak partai puncak di kejuaraan antarklub Eropa.
Selama ini, Conte dilabeli sebagai pelatih yang tak tahu bagaimana cara memenangkan kompetisi yang dihelat dengan sistem gugur.
Rapornya bareng Juventus, Italia dan Chelsea selama ini memang merah. Praktis, satu-satunya kesuksesan yang Conte raih dari ajang yang diselenggarakan dengan format macam itu hanyalah Piala FA musim 2017/2018.
Misi Conte bersama Inter di final nanti sangat-sangat jelas. Meraih gelar, menutup mulut dari mereka yang hobi nyinyir seraya memperbaiki curriculum vitae-nya.
Setali tiga uang, kubu manajemen, para pemain serta fans juga sudah memendam hasrat buat memenangkan dan melihat Inter memeluk trofi lagi.
Maka untuk apa meributkan hal-hal yang tak perlu karena saat ini, yang terpenting adalah berdiri bersama Conte dan memberinya dukungan sampai titik darah penghabisan.
Dialah yang bisa mengeluarkan kemampuan terbaik Lukaku dan kawan-kawan di lapangan. Bukan Diego Simeone, apalagi bakul pecel lele.