Penunjukkan Shin Tae-yong sebagai pelatih timnas Indonesia di penghujung 2019 kemarin seakan berbisik kepada pecinta sepakbola negeri ini bahwa harapan itu masih ada.
Bukan karena nama besar sang pelatih anyar, tetapi tujuan PSSI menunjuknya yang menjadi sinyal sebuah perbaikan. Federasi sepakbola Indonesia yang biasanya langsung menampar pelatih baru dengan target-target tidak masuk akal, kala itu bersikap sedemikian arif.
“Target objektifnya persiapan Timnas U-19 untuk Piala Dunia U-20 (sebagai tuan rumah)”, ujar Ketua Umum PSSI, Mochamad Iriawan, seperti dilansir dari Pikiran Rakyat.
Selain itu, mereka juga berkomitmen dalam mendukung upaya pelatih membangun timnas mulai dari hal-hal mendasar, seperti pembinaan kelompok umur dan pembentukkan gaya bermain. Ketika itu, banyak orang berpikir bahwa sepertinya PSSI sudah tobat dari kebiasaan lamanya.
Akan tetapi, tabiat tetaplah tabiat. Belum lama ini, Shin melontarkan kritik pedas teruntuk PSSI melalui media massa di Korea Selatan. Yang paling disorot adalah soal unek-uneknya bahwa federasi itu sudah tidak lagi sejalan dengan visinya.
Mereka yang yang awalnya bersikap suportif terhadap program jangka panjang pelatih asal Negeri Ginseng itu, mulai menunjukkan jati dirinya. Shin dan kolega mulai dihajar dengan setumpuk target yang semestinya tidak terlintas di kepala dalam waktu dekat.
Yang paling dekat adalah target klasik yang selalu sukses mendepak para pelatih timnas sebelumnya, yakni menjadi juara Piala AFF. Kemudian, keharusan pula untuk mencapai semifinal bagi timnas U-19 di Piala Asia 2020, ditambah kewajiban menggapai delapan besar Piala Dunia U-20 tahun depan.
Konflik tersebut, walaupun pada akhirnya mereda, semakin menegaskan bahwa PSSI lagi-lagi gagal memahami bagaimana pembinaan sepakbola bekerja. Mereka hanya berorientasi pada pencapaian tanpa mau bersusah-susah melewati serangkaian prosesnya.
Mungkin para penggemar mulai perlu bertanya, kapan terakhir kali PSSI mencanangkan rencana pembinaan sepakbola untuk jangka panjang, dieksekusi dengan benar, dan dipertahankan dalam waktu lama.
Alih-alih membedah problem sistematis di kancah sepakbola nasional seperti, pembenahan kualitas liga dan restrukturisasi kepengurusan, PSSI malah berkubang dalam skema jangka pendek. Pendeknya target itu jelas bukan demi sepakbola Indonesia, tetapi semata untuk kepentingan nama baik kepengurusan.
Pembenahan struktur dan sistem yang membutuhkan waktu amat lama untuk mendapatkan hasilnya, jelas tidak strategis untuk mendongkrak pamor. Setir kemudian dibanting menuju jalan pintas melalui serangkaian target gelar yang mau bagaimanapun jelas tidak masuk akalnya.
Persetan dengan kelangsungan sepakbola Indonesia. Kepengurusan hanya sementara, jadi untuk apa membuat target jangka panjang yang mengawang-awang. Lebih baik menggenjot reputasi semu seapik mungkin dalam waktu yang singkat. Mungkin begitu pikir bapak-bapak di dalam federasi.
Salah satu kerja PSSI yang tak kunjung rampung adalah soal kontinuitas pembinaan usia muda. Kerap kali publik dibuat girang dengan berita jayanya Garuda Muda di kancah internasional, seperti Piala Gothia hingga Piala AFF kelompok umur.
Akan tetapi, apabila sudah masuk ke level senior, semua akan loyo pada waktunya. Entah karena program pembinaan yang tidak berkelanjutan atau jangan-jangan pembinaan di level terendah pun sudah salah arah. Yang jelas, pekerjaan rumah itu sudah ada sejak lama dan tak kunjung digarap dengan serius.
Imbasnya, naturalisasi pemain yang terkesan terkesan serampangan menjadi solusi instan. Beberapa diantaranya yang gagal bersinar, seperti van Beukering atau Toni Cussel. Bahkan, ada yang tidak pernah sekalipun menjejakkan kaki bersama timnas, misalnya Herman Dzumafo dan Zoubairou Garba.
Fenomena ini menimbulkan tanya besar di masyarakat. Bagaimana ceritanya negara dengan penduduk 270 juta jiwa bisa kesulitan mencari pesepakbola sampai harus melakukan naturalisasi?
Kemiskinan visi dari PSSI itu sudah memakan korban banyak pelatih. Dalam satu dekade terakhir, juru taktik pertama dipecat adalah Alfred Riedl. Ia mampu membawa timnas mencapai final kala itu, tetapi sejurus kemudian justru didepak. Dalihnya, perekrutan Riedl tak sesuai prosedur.
Saat itu, animo pecinta sepakbola Indonesia sedang membuncah. Pencapaian Riedl diharapkan berlanjut di era selanjutnya yang mana PSSI menunjuk Wim Rijsbergen sebagai suksesor.
Berbekal keberhasilannya ikut membawa Trinidad dan Tobago melaju ke Piala Dunia 2006 sebagai asisten pelatih, Wim dihadiahi target gila, yakni membawa Indonesia ke Piala Dunia 2014 di tengah kisruh federasi. Baru setahun menjabat, ia didepak karena kalah lima kali beruntun.
Andai kisah itu terlampau lawas, cerita Luis Milla jelas sangat segar dalam ingatan. Pelatih yang sukses mengantar skuad muda Spanyol menjuarai Piala Eropa U-21 tersebut dijanjikan dukungan penuh dari PSSI dalam upayanya membangun sepakbola Indonesia.
Progresnya pun terlihat jelas dalam waktu yang bisa dikatakan cukup singkat. Permainan kolektif ala Negeri Matador sudah mulai kentara kala itu. Pemain pun mengakuinya. Namun apa daya, timnas mesti tersungkur di babak 16 besar Asian Games.
Yang oleh PSSI diartikan sebagai saat yang tepat untuk memutus kontrak. Bagi mereka, kalau ingin menyaksikan permainan indah, sebaiknya datang ke sirkus saja. Trofi instan lebih penting.
Agaknya Indonesia mesti iri kepada Islandia. Pulau kecil di ufuk utara bumi itu hanya dihuni 340.000 jiwa, sekitar 800 kali lebih sedikit dibanding Indonesia. Namun, mereka berhasil mencapai perempat final Piala Eropa 2016 setelah mengalahkan saudara tua mereka, Inggris.
Faktor utamanya bukanlah pelatih dengan nama besar yang diberi target mendadak, apalagi lalu dipecat ditengah jalan. Heimir Hallgrimson, juru taktik Islandia saat itu, bahkan merangkap sebagai dokter gigi sembari menukangi timnas.
Pemain kelas dunia juga tidak selalu menjadi garansi. Eidur Gudjohnsen yang pernah berkostum Barcelona tahun 2006-2009 tak mampu pula mendongkrak performa timnasnya sendirian. Lebih dari itu, kunci menggilanya performa Islandia di lapangan hijau adalah pembenahan federasi.
Termasuk di dalamnya adalah perbaikan pada sistem pembibitan pemain muda. Mereka punya sentra pelatihan pemain usia muda yang sukses, salah satunya di Breidabik. Tentu saja hal itu ditunjang dengan memperbanyak pelatih berkualitas yang berada di level atas seusai standar UEFA.
Proses yang dilalui oleh Islandia tentu tak hanya seumur jagung. Lars Lagerback adalah pionirnya. Selama lebih dari lima tahun ia membuat dan menerapkan konsep pembinaan pemain muda di sana. Jangka waktu yang tak pernah diberikan oleh PSSI.
Federasi sepakbola negeri ini perlu mulai berpikir untuk membangun sepakbola secara sistematis dengan target jangka panjang. Mereka butuh menyadari bahwa ada masalah pelik yang perlu diperbaiki. Jika tidak dilakukan, bahkan merekrut Pep Guardiola atau membangkitkan arwah Johan Cruyff pun niscaya hanya akan sia-sia belaka.