Setiap ada perhelatan sepakbola antarnegara kelas wahid, nama Spanyol selalu melejit sebagai kandidat juara. Bursa taruhan bahkan kerap menempatkan mereka di posisi teratas. Pasalnya, materi pemain yang dimiliki La Furia Roja memang adiluhung.
Nama-nama seperti Iker Casillas, Andres Iniesta, Sergio Ramos, dan Xavi Hernandez menjadi garansi akan hadirnya performa menawan serta prestasi gemilang. Gelar Piala Dunia 2010 serta Piala Eropa 2008 dan 2012 menjadi buktinya.
Meski demikian, ada grafik menurun yang terlihat dari Spanyol dalam beberapa tahun terakhir. Setelah membawa pulang trofi Henri Delaunay pada tahun 2012 silam, mereka mulai kehilangan tajinya.
Dimulai dari gelaran Piala Konfederasi 2013 di Brasil yang mana mereka sukses melenggang sampai ke babak final tetapi akhirnya ditaklukkan tuan rumah dengan skor mencolok 0-3.
Mimpi buruk Negeri Matador tidak berhenti di Piala Konfederasi. Setahun berselang, mereka kembali ke Brasil yang jadi penyelenggara Piala Dunia 2014.
Tergabung bersama Australia, Belanda, dan Cile di Grup B, La Furia Roja tampil jeblok dan secara mengenaskan gugur di babak penyisihan. Kekalahan 1-5 dari De Oranje bahkan masih diingat sebagai malapetaka oleh masyarakat Spanyol hingga detik ini.
Tak ada yang memprediksi bahwa Spanyol akan kalah dengan skor setelak itu. Apalagi skuad mereka masih diisi nama-nama hebat semisal Casillas, Iniesta, Ramos, dan Xavi.
Kegagalan itu sendiri berakibat pada keinginan Vicente Del Bosque mengundurkan diri dari jabatan pelatih. Namun federasi sepakbola Spanyol, RFEF, bersikukuh tetap menggunakan jasanya.
Alhasil, Spanyol datang ke Prancis pada Piala Eropa 2016 dengan Del Bosque masih duduk sebagai entrenador. Apes, seperti kejuaraan-kejuaraan sebelumnya, kiprah La Furia Roja juga tak memuaskan.
Walau lolos dari fase grup, Spanyol yang mulai diisi banyak nama-nama baru sebagai bentuk regenerasi, dibuat tak berdaya oleh Italia asuhan Antonio Conte pada babak 16 besar.
Dua gol Gli Azzurri yang dibukukan Giorgio Chiellini dan Graziano Pelle menjadi garansi kepulangan David De Gea dan kolega.
Pada musim panas 2016 juga, Del Bosque memutuskan pensiun dari kancah sepakbola. Posisinya sebagai juru strategi Spanyol lantas digantikan oleh Julen Lopetegui.
Pengalaman Lopetegui menukangi tim U-19 dan U-21 Spanyol yang menjadi jawara Eropa tahun 2011 dan 2013 menjadi alasan utama RFEF menunjuknya. Paling tidak, proses regenerasi skuad dan penyegaran strategi bisa dijalankan Lopetegui dengan baik.
Hasilnya tidak mengecewakan, sang entrenador menghadirkan angin segar untuk Negeri Matador dengan mengukir catatan 20 laga tak terkalahkan, dalam uji tanding maupun kualifikasi Piala Dunia 2018. Asa melihat Spanyol kembali bergigi pun menyeruak.
Akan tetapi, nasib geruh seolah enggan menjauh dari La Furia Roja. Beberapa hari jelang tampil di Rusia, RFEF memecat Lopetegui. Berita ini bak bom atom yang meledak di markas latihan.
Persiapan matang yang sudah dilakukan tiba-tiba luluh lantak. Lopetegui dipecat karena dianggap lancang oleh RFEF karena melakukan kontak dengan Real Madrid dan menyepakati kerja sama seusai Piala Dunia 2018.
Los Blancos sendiri mengumumkan Lopetegui sebagai pelatih anyarnya beberapa hari jelang kejuaraan antarnegara nomor wahid itu diselenggarakan.
Keputusan RFEF dinilai terlalu gegabah dan akibatnya pun fatal. Ditukangi Fernando Hierro sebagai caretaker, laju mereka terhenti di babak 16 besar setelah tumbang di tangan Rusia pada babak adu penalti.
Pada pertandingan itu Hierro seakan tidak memberi instruksi apapun kepada para pemainnya yang sepanjang laga banyak melakukan umpan guna mempertahankan penguasaan bola.
Gol Spanyol pun tercipta dari hasil set piece dan kesalahan antisipasi pemain belakang Rusia sehingga terjadi gol bunuh diri oleh Sergei Ignashevich sebelum disamakan Artem Dzyuba.
Empat turnamen dengan hasil mengecewakan dan kedalaman skuad yang tidak sementereng Prancis, Portugal, ataupun Belgia bikin Spanyol tak menjadi favorit di Piala Eropa 2020 kendati nama mereka tetap masuk dalam bursa juara.
Terlebih, skuad mereka banyak dihuni nama-nama baru. Menariknya lagi, Luis Enrique sebagai pelatih tak memanggil satu orang pun penggawa Real Madrid, termasuk Ramos.
Hal ini sendiri dinilai menggerus kekuatan La Furia Roja meski Ramos juga semakin gaek dan menurun kemampuannya. Namun pengalaman segudangnya dirasa akan berguna untuk membimbing rekan-rekannya yang masih belia.
Malang bagi Enrique, ketika persiapan timnya nyaris mencapai 100 persen, virus Covid-19 menjadi pengganggu. Sergio Busquets yang jadi andalannya di lini tengah terpaksa diisolasi secara mandiri sejak 6 Juni 2021 lalu.
Walau dirasa tak memiliki kekuatan yang superior, tetapi meremehkan Spanyol bisa menjadi bencana bagi lawan-lawannya. Keberadaan De Gea di bawah mistar, duo Aymeric Laporte dan Pau Torres di jantung pertahanan, dan Koke di lini tengah, tetap menjadi ancaman tersendiri.
Praktis, hal yang mesti dibenahi Enrique sesegera mungkin adalah kemampuan lini depannya mengeksekusi peluang dengan sempurna. Gerard Moreno dan Alvaro Morata kudu digembleng habis-habisan agar tak banyak membuang peluang.
Spanyol mengawali kampanyenya di Piala Eropa 2020 dengan bermain imbang 0-0 melawan Swedia (15/6). Kendati dominan dalam penguasaan bola, mereka tak dapat mencetak gol karena finishing yang buruk maupun aksi heroik Robin Olsen di bawah mistar Blagult.
Eits, jangan buru-buru mencoret Spanyol dari perburuan gelar karena performa tersebut. Di laga selanjutnya, mereka bisa bangkit dan menunjukkan kelasnya lalu lolos ke fase gugur dengan membantai lawan-lawannya.
Tak mesti dengan skor besar, tipis pun cukup selagi tiket ke babak selanjutnya dapat dikantongi. Bagaimanapun juga, Spanyol tetaplah Spanyol. Piala Eropa 2020 bisa menjadi arena di mana mereka mengangkat trofi lagi usai puasa sewindu.