Julian Nagelsmann merupakan pelatih kepala termuda dalam sejarah Bundesliga, sekaligus termuda ketiga dalam sejarah olahraga.
Menjelang pekan ke-21 musim kompetisi 2015/2016, TSG 1899 Hoffenheim menunjuk Julian Nagelsmann – 28 tahun 201 hari – menggantikan Huub Stevens yang mundur karena masalah jantung.
Lolos degradasi merupakan tugas utama di musim pertamanya. Dan ini adalah misi yang berat. Kenapa? Pertama, Nagelsmann hanya memiliki 14 pertandingan untuk mengeluarkan Hoffenheim dari zona degradasi serta harus dijalani tanpa persiapan musim dingin dan tanpa pembelian pemain sesuai kebutuhan taktik.
Misi berat di tengah situasi yang sangat sulit.
Impresi awal
Setelah bermain imbang dengan Werder Bremen dalam pertandingan debut, Nagelsmann meraih kemenangan pertama di Spieltag 22. Menjamu FSV Mainz, yang berada di posisi 6 dan sedang on-fire, Die Kraichgauer, julukan Hoffenheim, menang dengan skor 3-2.
Di pekan 23, Hoffenheim bertandang ke Borussia Dortmund dan kalah dengan skor 1-3. Walaupun kalah, pasukan Nagelsmann memperlihatkan potensi kekuatan untuk lolos dari jurang degradasi.
Dortmund, yang tertinggal, baru bisa menyamakan kedudukan di menit ke-80 setelah Hoffenheim bermain dengan 10 pemain sejak menit ke-58. Selain itu, sistem pressing Nagelsmann betul-betul membuat serangan Dortmund jauh dari maksimal.
Bila Sebastian Rudy tidak dikartu merah, besar kemungkinan Hoffenheim mampu mendapatkan hasil yang lebih baik.
Pada pekan 26, Die Kraichgauer menjamu Wolfsburg. Sebagian besar publik menjagokan tim tamu untuk merebut 3 poin atau, paling tidak, imbang. Sebagai underdog, Nagelsmann memainkan starting IX yang patut diapresiasi.
Ia memilih memainkan 4 penyerang sekaligus. Andrej Kramaric sebagai penyerang tengah, Kevin Volland dan Mark Uth di kedua sayap, serta Eduardo Vargas, striker tim nasional Cile, sebagai hibrida gelandang tengah (#8) dan gelandang serang (#10).
Hasil akhir? Hoffenheim menang dengan skor 1-0. Pujian berdatangan dan si pelatih termuda dalam sejarah Bundesliga kembali membuktikan bahwa ia jauh dari kata overrated.
Singkat cerita, di akhir musim, Nagelsmann menuntaskan misi. Hoffenheim lolos dari jerat degradasi. Dari 14 pertandingan, Die Kraichgauer meraup 23 poin dan finis di urutan 15.
Sekilas pandang, tidak ada yang spesial dari catatan ini. Tetapi, menjadi berbeda bila kita menelaah perolehan seluruh klub sejak Spieltag 21. Karena, jumlah poin yang dikumpulkan Hoffenheim sejak periode tersebut menempatkan mereka di peringkat ke-5.
Selepas Euro 2016, Hoffenheim melakukan persiapan musim 2016/2017. Jelang musim baru, Hoffenheim melepas 2 pemain utama, yaitu Tobias Strobl dan Kevin Volland. Sebagai pengganti, manajemen membeli Sandro Wagner, Lukas Rupp, Karim Demirbay, dan Kevin Vogt.
Sejauh ini, sampai pekan ke-6, penampilan Hoffenheim termasuk lumayan. Setelah empat kali imbang dari empat pertandingan awal, mereka berhasil meraih 6 poin di dua pertandingan terakhir dan nangkring di peringkat ke-7.
Permainan posisional ala Nagelsmann
Menilik struktur sirkulasi bola Hoffenheim, terlihat kandungan juego de posicion (JdP) di dalamnya. Ada pengaruh Pep Guardiola dan Thomas Tuchel. Perbedaannya, Nagelsmann bermain jauh lebih vertikal dan tidak terlalu fokus pada bola-bola pendek.
Dalam fase konstruktif, Nagelsmann memainkan 2 bentuk umum, yaitu formasi berbasis 3 bek tengah dan formasi dengan 4 pemain belakang.
Dengan bentuk 3 bek tengah, sering kali kedua fullback mengokupansi half-space. Sementara wingback mengisi koridor sayap. Pengertian half-space dapat Anda baca di sini.
Konfigurasi penempatan ruang antara fullback dengan wingback di sini memunculkan stagerring – dari kata dasar stagerred – yang berpotensi positif terhadap daya jangkau pandangan.
Stagerring juga teridentifikasi sejak lini pertama, di mana centerhalf (bek tengah) berposisi lebih dalam ketimbang kedua rekannya. Dengan posisi lebih dalam, selain ideal untuk menghadapi pressing lini depan lawan, struktur ini juga mendukung terbentuknya mini berlian alami antara centerhalf, fullback, dan #6.
Di zona yang berlainan, mini berlian bisa ditemui dari bentuk yang tercipta antara fullback, #6, #8, dan wingback, serta bentuk berlian di antara #9, duo #8, dan #6. Lebih detail tentang nomor posisi, bisa Anda baca di sini.
Selain formasi berbasis 3 bek tengah, Nagelsmann juga kerap memainkan bentuk 4 bek. Dalam pola 3 bek tengah, #6 Hoffenheim tidak selalu berdiri sendiri di ruang antarlini. Ada kalanya Nagelsmann menarik salah satu #8 untuk turun dan membetuk poros ganda dalam fase pertama serangan.
Dalam pola 4 pemain belakang, Hoffenheim memainkan #6 tunggal yang memiliki 2 fungsi. Pertama, #6 turun ke lini belakang dengan tujuan mendorong wingback bergerak lebih jauh ke depan sekaligus membentuk rantai 3 bek tengah demi menciptakan overload di lini pertama terhadap pressing lawan.
Kedua, berfungsi sebagai akses vertikal dalam progresi ke lini ketiga. Kedua fungsi ini hanya diaplikasikan secara situasional, karena, dalam progresinya, Hoffenheim lebih memilih memainkan umpan langsung ke lini depan.
Baik dengan umpan panjang melambung, akibat kerapatan struktur pressing lawan, atau umpan mendatar ke area depan.
Dalam progresi dari fase pertama, salah satu strategi yang digunakan oleh Nagelsmann adalah mendayagunakan area tengah dan half-space sebagai titik awal progresi untuk mengeksploitasi ruang antarlini (belakang dan tengah) lawan.
Strategi ini sejalan dengan salah satu prinsip JdP.
“Positional Play does not consist of passing the ball horizontally, but something much more difficult: it consists of generating superiorities behind each line of pressure. It can be done more or less quickly, more or less vertically, more or less grouped, but the only thing that should be maintained at all times is the pursuit of superiority. Or to put it another way: create free men between the lines.”
Dalam taktiknya, Nagelsmann menggunakan centerhalf, fullback, atau #6 sebagai pemain lini pertama yang memainkan umpan (langsung) kepada “free-man” di lini ketiga.
Sebelum berlanjut ke pembahasan berikutnya, berikut sedikit informasi mengenai apa itu umpan lini ketiga.
Situasi di atas sering kita temui dalam rondo, baik 4v2, 5v3, 4v4+3, dan lain-lain. Umpan ke lini ketiga, ditandai garis dash merah, merupakan umpan yang membelah lini pressing lawan.
Menciptakan umpan ke lini ketiga merupakan elemen penting dalam progresi serangan, karena dengan umpan ke lini ketiga, tim menyerang mem-bypass minimal 1 lini pertahanan lawan.
Bagaimana Hoffenheim menciptakan umpan lini ketiga dan “free-man”, bisa disimak dalam beberapa infografik berikut.
Adalah #9 Hoffenheim, yang bertindak sebagai “free-man” sekaligus penyedia akses di lini ketiga untuk mengeksploitasi celah antarlini Leipzig. Dua koridor yang digunakan sebagai titik awal progresi, tidak lain tidak, adalah koridor tengah dan half-space.
Ketika Hoffenheim bermain dengan dua penyerang, peran “free-man” dilakukan bergantian di antara duo #9. Tetapi, saat bermain dengan trio #9, penyerang tengah merupakan pemain yang paling sering memerankan tugas ini. Alternatifnya, peran ini juga dijalankan oleh penyerang sayap.
Bila memungkinkan, “free-man” secepat mungkin bergerak vertikal. Tetapi, bila peluang tersebut kecil, adalah tugas penyerang sayap atau #8 untuk menyediakan koneksi dengan “free-man” demi berpenetrasi ke kedalaman pertahanan lawan.
Oleh Nagelsmann, kedua #8 memang dimainkan dengan peran berbeda. Biasanya, salah satu #8 bermain lebih vertikal. Nadiem Amiri, Lukas Rupp, atau Karim Demirbay merupakan #8 yang sering mendapatkan tugas ini.
Betapa pun pemain-pemain Die Kraichgauer tampak menikmati strategi ini, tetapi dalam praktiknya, beberapa kelemahan mendasar masih terlihat. Terutama pada intensitas pergerakan tanpa bola yang berpengaruh langsung terhadap spacing dan koneksi antar-pemain.
Di momen ini, ketika Niklas Sule bergerak ke depan, Rupp, Pirmin, dan pemain-pemain di lini depan tampak statis. Intensitas pergerakan dalam mengisi zona-zona strategis sedikit rendah, menyebabkan koneksi dari lini belakang ke atas menjadi kurang optimum.
Pada gilirannya, Sule, yang masuk ke lini tengah, menemukan dirinya berada sejajar dengan Pirmin dan Rupp dalam 1 garis horizontal. Ditambah ruang antarlini yang tidak terokupansi dengan maksimal, menyebabkan Hoffenheim kehilangan peluang berprogres.
Pembagian ruang kerja oleh pemain dari lini yang sama merupakan salah satu isu dalam progresi Hoffenheim. Duo #6 yang mengisi ruang antarlini belakang dan depan sering berdiri terlalu berdekatan pada 2 titik dalam satu garis horizontal.
Konfigurasi ini membantu lawan meng-overload keduanya. Dalam banyak situasi, okupansi ruang oleh pemain di area depan turut membuat koneksi serangan menjadi lemah yang memengaruhi perilaku sirkulasi bola Hoffenheim.
Overload area kanan untuk menghajar sisi kiri
Selain mengeksploitasi celah antarlini lawan, strategi lain yang dipraktikan Nagelsmann adalah meng-overload satu area untuk menyerang sisi lain.
Pep Guardiola mengatakan, “You overload one side and draw them in they leave the other area weak, then we attack (switch) and score from the other side.”
Thomas Tuchel mempraktikan hal ini secara masif di musim pertama bersama Dortmund. Tentunya, sebagai pelatih yang mengagumi Tuchel, Nagelsmann pun mempelajari strategi ini.
Secara teori, strategi overload-switch memang efektif, baik untuk menciptakan ruang di area tertentu atau untuk membuat struktur blok pertahanan lawan menjadi tidak stabil.
Saat tim yang menguasai bola melakukan sirkulasi di satu area, katakan half-space kanan, dan para pemainnya meng-overload 3 koridor vertikal terdekat (sayap, half-space, dan tengah), mau tidak mau, tim bertahan pun berfokus ke koridor-koridor tersebut dan menutup semua area kritis.
Tim bertahan akan berusaha unggul jumlah atau setidak-tidaknya menyeimbangkan jumlah. Bila gagal dilakukan, lawan dapat berpeneterasi dari half-space atau tengah, yang mana merupakan ruang strategis, kapan pun.
Dengan tim bertahan berfokus pada area tersebut, sudah barang tentu area lain sedikit terbuka. Area terbuka inilah yang dimanfaatkan sebagai target perpindahan (switch).
Ketika perpindahan berhasil dilakukan, tim bertahan merespons dengan melakukan pergeseran horizontal blok. Dalam pergeseran horizontal selalu ada peluang renggangnya compactness diakibatkan intensitas pergeseran yang berbeda di antara masing-masing pemain.
Nagelsmann berusaha membuat pertahanan Mainz menjadi goyah melalui skema ini. Setelah bola diterima oleh “free-man” (Toljan, dalam gambar di atas), akan ada 1-2 pemain Die Kraichgauer yang mendekat untuk menghadapi overload pemain-pemain Mainz.
Keterbatasan Hoffenheim dalam strategi ini adalah ketiadaan pemain yang superior dalam situasi 1v1 (superioritas kualitatif) yang mampu dengan cepat melewati lawan untuk kemudian bergerak ke tengah.
Dalam skenario overload-switch, setelah bola diterima oleh target, sebagian besar serangan Hoffenheim berlanjut dengan crossing dari sayap atau half-space.
Atau, bila bersikeras masuk dari koridor-koridor sisi bola, Hoffenheim mengandalkan kombinasi cepat di antara dua atau tiga pemain. Cara yang logis, mengingat ketiadaan pemain dengan tipe seperti yang dijelaskan di paragraf sebelumnya.
Fase bertahan: pressing
Variasi bentuk antara 3 bek tengah dan 4 bek, membuat pressing Hoffenheim menjadi beragam. Dalam pola 3 bek, gelombang awal pressing berpatokan pada formasi 3-1-4-2.
Terkadang stagerring yang berbeda terbentuk dengan menempatkan seorang #10 dan melakukan press menggunakan 3-4-1-2.
Dalam kedua bentuk ini, kecenderungan pendekatan yang diambil oleh Hoffenheim adalah resting-press, yaitu pressing yang memberikan sedikit ruang bagi bek tengah lawan untuk menguasai bola.
Ketika memainkan 3-4-1-2, #10 Die Kraichgauer – ditandai oleh angka “1” – berorientasi kepada #6 lawan. Kedua #8 di lini ketiga memosisikan diri mereka di celah vertikal antara #8 dan #10 lawan untuk mempertahankan akses lintas lini.
Skema pressing serupa dipraktikan oleh Hoffenheim saat menghadapi Dortmund di musim kompetisi 2015/2016.
Berbeda lagi dengan formasi 3-1-4-2. Dalam bentuk ini, Nagelsmann menugaskan seorang #6 untuk menjaga area di depan lini terakhir, sementara duo #8 berada di depannya.
Konfigurasi 3 bek tengah membuat akses lini belakang ke area 8 dan 10 lawan tetap terjaga, karena struktur pressing Hoffenheim memungkinkan kedua fullback untuk menciptakan koneksi dengan lini di depannya (gambar bawah kanan).
Dengan menjaga koneksi lini terakhir Hoffenheim ke pos 10 lawan, kestabilan pressing tetap dipertahankan. Karena, bentuk ini memungkinkan duo #8 (gambar kanan, bernomor 6 dan 18) untuk “mengambil” #8 lawan tanpa meninggalkan celah besar di belakang.
Bagaimana dengan lini pertama pressing? Sama seperti lini-lini lain, di lini pertama pressing, Nagelsmann pun terus melakukan penyesuaian bentuk.
Pertandingan menghadapi Dortmund dan Wolfsburg musim 2015/2016, contohnya. Saat bertandang ke Dortmund, kerap terlihat bentuk dasar 5-2-3-0. Tetapi, ketika menjamu Wolfsburg, Nagelsmann memainkan bentuk yang berbeda.
Ia memakai pola 4-1-2-3 dan tranposisi 4-2-4-0. Perubahan bentuk dipicu oleh Vargas (#8) dan Kramaric (#9) yang sama-sama mengokupansi pos 10 dengan tujuan untuk menghambat sirkulasi di pos 6 lawan.
Selain mengarahkan lawan untuk bergerak melalui tepi lapangan, padatnya area tengah dan half-space, karena dipenuhi pemain-pemain Die Kraichgauer, membantu mereka menciptakan pressing-trap (jebakan pressing) yang stabil.
Pressing-trap yang memicu gol ke gawang Bremen dan Schalke.
Ketika lawan menemukan celah progresi melalui koridor sayap, struktur blok Hoffenheim bergeser. Dalam formasi 5-3-2, #9 terdekat melakukan backward-press (arah lari cenderung menuju ke gawang sendiri) didukung oleh duo #8, bek sayap, dan bek tengah.
Seperti yang dilakukan oleh Roger Schmidt (Bayer Leverkusen) atau Diego Simeone (Atletico Madrid), Nagelsmann merupakan pelatih yang sangat ball-oriented (pergeseran blok dan penempatan posisi pemain yang berpatokan pada sirkulasi bola lawan) dalam memainkan sistem pertahanan.
Ball-oriented press yang intuitif
Ragam detail juga bisa kita jumpai dalam bentuk pressing 4-3-3. Dalam formasi ini, pemain yang bertugas “mengambil” bek tengah lawan adalah penyerang sayap.
Saat menghadapi pola dasar 2 bek tengah, penyerang sayap meng-cover area di mana ia dapat menekan bek tengah sekaligus menempatkan bek sayap lawan di belakang bayang-bayang pressing (cover-shadow)-nya.
Bila sirkulasi bola mampu mencapai bek sayap, penyerang sayap harus memblokir akses kembali ke bek tengah sambil melakukan backward-press kepada bek sayap lawan.
Poin positif adalah terlihat panduan koordinasi antarlini yang jelas. Salah satu contoh adalah ketika penyerang sayap “mengambil” bek tengah sehingga mengurangi tekanan kepada bek sayap.
Dalam situasi ini, #9 tengah menyesuaikan posisi dengan cara turun ke pos 10 secara diagonal untuk mengurangi celah yang ditinggalkan oleh penyerang sayap.
Di lini gelandang, #8 terdekat merespons dengan prinsip yang sama, yaitu bergerak ke sayap terdekat (juga) untuk memberikan perlindungan kepada area yang ditinggalkan oleh penyerang sayap.
Pressing penyerang sayap
Secara umum, compactness (kerapatan) pertahanan Hoffenheim terhitung baik, walaupun tidak bisa dikatakan berada dalam level terbaik.
Kekurangan sering kali dijumpai dalam transisi bentuk dari blok menengah ke blok rendah, terutama bila lawan mampu menyerang dengan intensitas yang tepat. Pemain-pemain Hoffenheim meninggalkan celah yang menggoyahkan compactness dalam struktural blok.
Pada situasi lain yang lebih pasif, compactness Hoffenheim goyah karena bawaan alami man-oriented pressing. Dengan memainkan man-oriented (yang ketat), seorang pemain bertahan lebih berpotensi untuk lebih cepat “terpancing” keluar dari posisinya, ketimbang positioned-oriented atau option-oriented, misalnya.
Situasi di atas diambil dari pertandingan menghadapi RB Leipzig di Spieltag 1. Beberapa kali Hoffenheim meninggalkan celah vertikal yang merupakan bawaan alami pressing varian man-oriented.
Transisi bertahan
Transisi bertahan merupakan peralihan dari fase meyerang ke fase bertahan. Dan Die Kraichgauer terhitung buruk dalam memainkan fase ini. Dari total 34 kali kebobolan, sejak 2015/2016, 15 gol yang bersarang ke gawang Hoffenheim merupakan tipe gol serangan balik.
Statistik ini merupakan indikator awal bahwa Hoffenheim memiliki masalah dalam transisi bertahan. Yang menjadi pertanyaan, adalah, mengapa Hoffenheim banyak kebobolan dari fase transisonal?
Ini terkait dengan gaya bermain yang dibawa Nagelsmann.
Dalam fase menyerang, seperti yang dijelaskan sebelumnya, ia menginginkan sepak bola vertikal. Sering terlihat ketika lini pertama Hoffenheim menguasai bola dan mereka mendekati ke area lawan, lini-lini di depannya dengan segera mengokupansi zona di sekitar lini belakang lawan.
Begitu vertikalnya, hingga Hoffenheim menempatkan sampai 5-6 pemain. Hal ini dilakukan karena eksploitasi celah antarlini lawan merupakan salah satu strategi dalam permainan vertikal Nagelsmann.
Yang menjadi problem, jarak vertikal antara 6 pemain terdepan dan lini di belakangnya terlalu jauh. Hal ini diperburuk dengan koneksi horizontal yang juga lemah. Akibatnya, struktur blok lawan dengan mudah menghilangkan koneksi “bersih” antarlini serang Hoffenheim.
Akibat lebih buruknya, gegen(counter)pressing Die Kraichgauer menjadi tidak stabil dan ini mempermudah lawan melakukan transisi serang cepat, yang sudah menjadi salah satu ciri sepak bola Jerman.
Apa itu gegen(counter)pressing, bisa Anda baca dalam tulisan Qo’id Naufal di sini.
Selain berefek kepada fase transisi, respons pemain terhadap sepak bola vertikal ala Nagelsmann juga berimbas kepada ritme. Kerap kali pemain-pemain Hoffenheim berusaha sesegera mungkin bergerak ke depan untuk menekan lini pertahanan lawan.
Cepatnya tempo mengakibatkan spacing yang kurang ideal untuk menciptakan koneksi antar-pemain. Contoh, ketika serangan masuk ke sepertiga akhir dari koridor sayap, hanya ada 2 pemain yang berada di area dekat bola ditambah seorang #9 yang mengisi koridor tengah.
Pemain-pemain lain masih berada di sepertiga tengah karena tidak mempunyai cukup waktu untuk mengokupansi zona-zona strategis.
Kombinasi hal-hal di atas, memudahkan lawan mendapatkan superioritas jumlah, menghentikan serangan Die Kraichgauer, dan melakukan serangan balik dengan cepat.
Penutup
Nagelsmann penuh dengan eksperimen dan ide taktik, baik dalam fase menyerang maupun bertahan. Ia sedang berusaha menemukan formula yang tepat dalam mengkombinasikan JdP, permainan vertikal, dan sistem pertahanan versinya.
Sebuah proyek ambisius yang tentu akan memberikan banyak pelajaran berharga bagi penikmat dan praktisi sepak bola.
Dari yang telah disajikan, Nagelsmann membuktikan betapa usia muda dan pengalaman tidak selalu ekuivalen dengan kualitas kerja. Thomas Tuchel mengenalnya sejak lama dan meyakini kemampuan Nagelsmann untuk terus berkembang ke depan.
Dan, yang tidak kalah penting, kepercayaan yang diberikan oleh TSG 1899 Hoffenheim memperlihatkan bahwa negara maju semakin membuka diri terhadap kehadiran generasi baru.
Ini merupakan sinyal positif bagi perkembangan sepakbola, mengingat banyaknya talenta muda bertebaran dan terus mencari kesempatan sepadan untuk bertarung di level atas.
Di luar kelebihan dan keterbatasannya di lapangan hijau, perlu diingat, sekali lagi, Julian Nagelsmann masih berusia 29 tahun dan belum genap 1 tahun menjalani karier di Bundesliga. Tentu masih banyak kesempatan baginya untuk lebih baik dan menjadi salah satu pelatih terbaik di masa depan.