Valentino Simanjuntak dan Polemik Tayangan Sepakbola Indonesia

Setahun lamanya sepakbola Indonesia mati suri akibat pandemi Covid-19. Kompetisi berhenti tanpa ada kejelasan pasti tentang masa depannya.

Akan tetapi, perlahan sepakbola Indonesia mulai bangkit kembali. Diawali dengan uji coba Indonesia U-23, sekarang roda kompetisi mulai berputar melalui kompetisi pra-musim bertajuk Piala Menpora 2021.

Walau sudah disuguhi Piala Menpora, publik lebih tak sabar dengan kejelasan kompetisi liga. Bagaimanapun juga, aura dan tensi ajang pra-musim takan pernah menandingi liga. Lebih dari itu, berputarnya liga membuat persepakbolaan Indonesia lebih hidup ketimbang menghelat turnamen demi turnamen.

Ajang Piala Menpora sudah memasuki babak semifinal. Ada berbagai kekurangan yang menyeruak dari kompetisi yang dijadikan tolok ukur kesiapan Indonesia menghelat lagi liganya di tengah pandemi.

Mulai dari aksi kasar tim yang berlaga, ketidaktegasan wasit dalam mengambil keputusan, sampai kualitas penyiaran yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan, terutama mengenai komentator pertandingan.

Khusus pada aspek penyiaran, sebagai penikmat sepakbola nasional saya menilai belum ada peningkatan signifikan yang dilakukan kanal televisi pemegang hak siar.

Kualitas tayangan yang masih begitu-begitu saja. Kualitas gambar yang biasa-biasa saja, rotasi antarkamera yang seringkali salah timing dalam menyoroti sebuah momen sehingga mengganggu penglihatan, sampai kualitas tayangan ulang yang harusnya membantu pemirsa memahami keputusan wasit justru mendatangkan kontroversi baru.

Berkaca dari hal tersebut bikin saya sangsi tentang rencana penggunaan Video Assistance Referee (VAR) di kompetisi sepakbola nasional. Bukannya membantu kinerja wasit, kualitas tayangan yang buruk malah memperbesar kans para pengadil lapangan terkena rabun dekat.

Dan seperti yang sudah saya sebutkan di awal tulisan, hal lain yang bikin penikmat sepakbola Indonesia senewen adalah ucapan para komentator saat memandu laga.

Di ajang Piala Menpora yang hak siarnya dipegang Indosiar, ada dua komentator sekaligus presenter yang dipercaya untuk memandu laga. Mereka adalah Rendra Soedjono dan Valentino Simanjuntak. Dalam setiap lagi, mereka ditemani para analis seperti Binder Singh, Kusnaeni, dan Ponaryo Astaman.

Dari semua nama tersebut, Valentino kini jadi sorotan utama publik. Lelaki asal Sumatra Utara tersebut dianggap terlalu berisik, kurang informatif dan tak banyak memberikan analisis pertandingan saat memandu.

BACA JUGA:  Membumilah Interisti

Menurut mereka yang komplain, seharusnya Valentino bisa mengomentari laga dengan lebih baik sehingga laga sepakbola itu sendiri tak kehilangan jiwa pertandingan sepakbolanya.

Walau demikian, ada juga orang yang merasa komentar-komentar yang menganggap ucapan-ucapan Valentino seperti “umpan gratisan” dan “tendangan LDR” selama memandu laga adalah hiburan tersendiri.

Saya sendiri ada di pihak pertama. Buat saya, komentator pertandingan memiliki tugas mulia dengan memandu jalannya laga sehingga penonton tak kehilangan momen-momen penting dari laga tersebut.

Selain itu, informasi tentang data atau statistik pemain serta klub yang bertanding dapat menambah wawasan penonton bila disampaikan oleh para komentator. Sementara celetukan-celetukan Valentino, di banyak momen, malah mengganggu karena tidak berkaitan dengan sepakbola sama sekali.

Oland Fatah, seorang komentator senior, sempat mengatakan bahwa proporsi dalam memandu laga adalah 70 persen memberikan informasi dan pembelajaran, 30 persen sisanya berupa hiburan. Jangan sampai hal itu terbalik karena akan menurunkan kualitas tontonan.

Saya memahami bahwa Valentino memiliki gayanya tersendiri saat memandu laga. Baik itu hasil dari belajar selama bertahun-tahun atau permintaan stasiun televisi. Toh, ini perkara selera.

Yang jadi masalah dan patut disayangkan adalah reaksi Valentino saat beroleh kritik dari penonton yang ada. Benar jika ada yang berlebihan, tetapi banyak juga yang memang memberi kritikan secara tepat.

Bila Valentino memang pribadi yang terbuka, sepatutnya ia mampu melihat itu dengan bijaksana. Ingat, kritikan penonton adalah masukan baginya sehingga dapat meningkatkan kualitas diri maupun cara membawakan sebuah pertandingan.

Bukankah orang-orang hebat adalah mereka yang berhasil mengubah kritikan menjadi pujian? Saya rasa, banyak yang menyukai Valentino secara pribadi. Satu-satunya hal yang dikritisi adalah caranya dalam memandu sebuah laga.

BACA JUGA:  Memakan Lawan Bersama Makan Konate

Oleh karena itu, respons hangat dari Valentino dibutuhkan pada situasi seperti sekarang. Bukannya malah bersikap defensif perihal caranya memandu pertandingan dan terlihat anti terhadap kritikan.

Di luar itu, saya menyayangkan monopoli tontonan yang dilakukan pihak Emtek di ajang Piala Menpoa. Khususnya melalui aplikasi Vidio. Lewat aplikasi ini, penonton diwajibkan membayar untuk berlangganan. Sementara yang tidak berlangganan bisa menyaksikan Piala Menpora via kanal UHF di Indosiar.

Ironis, meski statusnya berbayar, kualitas tayangan dan penunjukan komentator play by play di aplikasi Vidio tak ada bedanya dengan Indosiar. Padahal mereka yang membayar, tentu punya hak lebih dalam menikmati tontonan.

Saat kampanye #GerakanMuteMassal muncul di media sosial, keriuhan menyeruak. Ada yang setuju, ada yang tidak. Bagi yang menyaksikan laga secara gratis di kanal Indosiar, mungkin tak jadi masalah.

Namun mereka yang menonton lewat aplikasi Vidio dan membayar tentu kehilangan segalanya. Kalau sudah begini, apa gunanya menyaksikan laga via aplikasi Vidio?

Seharusnya pihak Emtek, terutama via aplikasi Vidio, memberi servis lebih bagi para pemirsanya. Misalnya saja kualitas tayangan yang lebih bagus dan bahkan pilihan komentator.

Dengan opsi tersebut, kelak juga dapat memberi acuan kepada Emtek, tayangan mana yang lebih disukai pemirsa. Apakah yang kualitas tayangan pas-pasan dan dipandu komentator berisik atau justru tayangan kelas premium yang dipandu komentator cerdas?

Perkembangan teknologi semestinya bisa dimanfaatkan untuk memberikan layanan lebih kepada pemirsa. Dan sudah sedari lama, publik mengkritik kualitas siaran dan komentator sepakbola yang digunakan pihak televisi.

Acapkali pihak televisi dan komentator mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan berdasarkan kepentingan pasar karena terkait rating.

Bila benar demikian, maka di saat pasar menunjukkan ketidaksukaannya terhadap kualitas siaran dan hal-hal tak berguna dari komentator, dijawab pula dengan peningkatan kualitas dalam segala aspek. Bukan malah bersikap defensif dan anti-kritik.

Komentar
Seorang penggemar Real Madrid yang sedang menjalani masa kuliah di Universitas Negeri Surabaya. Dapat dihubungi di akun Twitter @RijalF19.