Memainkan keduanya dalam satu tim bukan perkara mudah. Sven Goran Eriksson, hingga Fabio Capello gagal melakukannya. Steven Gerrard dan Frank Lampard, kita tak akan lagi menyaksikan mereka beraksi di atas lapangan sebagai pemain.
Tertanggal 2 Februari 2017, Frank Lampard memutuskan untuk gantung sepatu. Sebelumnya, Steven Gerrard menerima tawaran Liverpool untuk menjadi pelatih akademi. Wajah keduanya adalah wajah klub masing-masing, Chelsea dan Liverpool.
Memang, Lampard dan Gerrard tak menutup kariernya bersama The Blues dan The Reds. Namun, selamanya, nama Frank Lampard akan berasosiasi dengan Stamford Brides. Begitu juga dengan Gerrard, You’ll Never Walk Alone adalah rapalan sakti yang melekat di punggung pemain bernomor punggung delapan ini.
Pun dengan Liga Primer Inggris itu sendiri. Nama Lampard dan Gerrard adalah epitome liga yang keras, cepat, dan bertenaga. Gambaran kick and rush terejawantah dari gebrakan-gebrakan Lampard dan Gerrard di kotak penalti lawan. Maka tak heran, apabila Lampard menjadi pemegang rekor gol terbanyak Chelsea hingga saat ini.
Perdebatan-perdebatan siapa yang paling ideal mengisi lini tengah tim nasional Inggris pun tak jauh dari keduanya. Ketika Paul Scholes tak mendapatkan apresiasi yang layak, publik Inggris lebih suka melihat Lampard dan Gerrard mengisi dua pos gelandang dalam pola 4-4-2 ortodoks.
Padahal, keduanya tak selalu bisa menjalin komunikasi di atas lapangan. Keduanya terlalu mirip untuk bermain bersama di lini tengah Inggris. Tak ada kelenturan dari sisi taktikal yang dihadirkan keduanya. Powerhouse adalah corak keduanya, dan tak melulu bisa disandingkan.
Tapi memang begitulah cara orang Inggris melihat sepakbola. Penuh tenaga, peluh, dan darah. Seperti tak ada tempat untuk keluwesan, permainan tempo, dan penguasaan ruang yang ideal. Padahal, Inggris mempunyai gelandang terbaik dalam sosok Scholes.
Siapa yang menjadi salah satu lawan terberat bagi Zinedine Zidane? Paul Scholes. Siapa yang menjadi rujukan di La Masia generasi Lionel Messi? Paul Scholes.
Dalam sebuah wawancara dengan Guardian, Xavi mengungkapkan bahwa Scholes selalu menjadi referensi bagi generasi-generasi gelandang muda dari La Masia. Zidane, sekali lagi, menyebut Scholes mampu memainkan tempo tanpa perlu menyentuh bola. Sebuah epitome bagi mantan gelandang Manchester United tersebut.
Dengan gambaran sehebat itu pun, panggung sepakbola Inggris tetap milik Lampard dan Gerrard. Meskipun, kombinasi keduanya tak pernah menghasilkan trofi untuk The Three Lions.
“Dengan David Beckham, Lampard, Gerrard, dan Paul Scholes, Anda punya empat gelandang dari deretan gelandang-gelandang terbaik di Eropa. Tapi, kami tak pernah memenangi apa pun, dan hal itu menjadi kekecewaan terbesar,” ungkap Phil Neville kepada BBC Sport.
“Kami tak pernah menemukan sistem yang bisa mengakomodasi keduanya,” tambahnya.
Rekam jejak kegagalan keduanya terbentang dari Piala Dunia 2006, 2010, 2014, dan Piala Eropa 2004. Ekspektasi yang muluk tak didukung sistem yang ideal.
Ryan Tank menyebutnya sebagai “Masalah Laten di Balik Glamornya Premier League“. Dan salah satunya adalah soal pola pikir.
Jamie Carragher sempat berujar bahwa Lampard lebih bagus ketimbang Scholes. Alasannya, Lampard selalu mencetak gol-gol penting bagi Chelsea kala itu. Sementara itu, Bryan Robson memandang Gerrard sebagai pemain yang luar biasa karena atribut kekuatan fisik yang menonjol. Tak ada apresiasi untuk kepintaran dan pengambilan keputusan yang presisi seorang Scholes.
Untungnya, pola pikir seperti itu sudah sedikit demi sedikit terkikis. Sepakbola Inggris, dengan tertatih, memulai perbaikan. Pergantian generasi dan pengaruh pelatih impor menjadi salah satu pemicunya. Melek taktik dan lebih terbuka dengan ide baru memang sudah seharusnya menjadi modal perbaikan.
Namun, segala keburukan sepakbola Inggris dahulu tergambar jelas dari dinamika Lampard dan Gerrard di tim nasional. Seperti epitome, keduanya adalah kacamata yang jernih untuk melihat berakhirnya sebuah era.
Sebuah era, sebuah pengingat, bahwa guru yang baik adalah pengalaman.