Sebuah Panggung Drama Bernama Stadion Anfield

Jika mendambakan suguhan drama selama 90 menit dari lapangan hijau, maka Anfield adalah tempat yang patut disambangi untuk mendapatkanya. Stadion ini menjadi saksi bisu perekam ingatan tim Merseyside merah, mulai dari tangis haru hingga pekik bahagia kemenangan.

Tak seperti markas musuh bebuyutan, Old Trafford, yang suasananya mampu mengundang kantuk, stadion yang berkapasitas 44.500 penonton ini tak memberikan sedikit pun kesempatan bagi penonton untuk menguap sekalipun. Tempat yang dibangun pada area dengan nama yang serupa, Anfield Road, kerap kali menyuguhkan drama yang membuat berdebar siapa pun yang menyaksikanya.

Anda boleh percaya atau tidak, aura stadion yang terletak di distrik dengan kode L4 ini, menawarkan sisi magis yang kadang tak masuk akal di nalar. Ada gairah dalam teriakan dukungan dari suporter, bak partikel yang mengemulsi para pemain dengan jersey liverbird di dada, untuk bermain sepenuh hati.

Masih segar dalam ingatan kita, pertengahan Januari lalu, drama enam gol tersaji ketika Arsenal menyambangi stadion yang memadukan antara sisi klasik dan kontemporer pada bangunanya. Gol ketiga bagi tim Meriam London yang dicetak Olivier Giroud tampak akan membuat anak asuh Arsene Wenger berpesta malam itu.

Namun, gaung yang bergema di tribun The Kop, sebuah tribun yang memiliki sejarah dalam perkembangan suporter di Inggris, berkata lain. Drama tercipta dengan suksesnya The Reds menyamakan kedudukan pada menit akhir melalui gol Joe Allen.

Rumput hijau Anfield pun tak hanya merekam momen heroik bagi sang empunya. Ada tangis sedih pada kaki-kaki yang berpijak, ketika para pemain dari klub yang berdiri pada tahun 1892 ini mengolah si kulit bulat.

Memutar jauh pada tahun 1930, sebelum Liga Inggris memasuki era Premier League, drama tak mengenakkan bagi klub pujaan Liverpudlian ini terekam. Klub sekota Everton ini takluk melawan Sunderland yang waktu itu diperkuat top skor mereka, Bobby Gurney.

BACA JUGA:  Kenapa Sepak Bola (Harusnya) Menarik?

Lewat empat gol yang dilesakkanya, pemain yang mencetak 228 gol selama memperkuat The Black Cats ini, membawa luka terdalam bagi Anfield. Pada 19 April 1930 sampai saat ini masih tercatat sebagai kekalahan terburuk Liverpool di kandang, dengan takluk enam gol tanpa balas ketika bersua klub tetangga dari Newcastle itu.

Hijaunya rumput Anfield tak selamanya memudahkan pemuda asli Scousers untuk menari-nari, menikmati mengolah bola bak di panggung pameran busana. Tanyakan saja pada pemuda asli setempat, Steven Gerrard.

Stadion ini menjadi saksi, ketika harapan publik Merseyside menyaksikan klub kebanggaanya meraih kembali supremasi tertinggi sepak bola Inggris, harus pupus oleh kecerobohan putra daerahnya. Ya, insiden terpelesetnya Stevie G yang mengakibatkan kandasnya peluang menggaet juara liga kali ke-19, terhampar di stadion yang menggunakan rumput jenis desso grassmaster ini.

Lalu, apa jadinya jika sisi magis yang ada di Anfield bertemu dengan momentum paling dramatis dalam sepak bola, yakni adu penalti? Jantung yang berdegup kencang disertai sesekali menahan nafas adalah jawabannya.

Saya beruntung ketika minggu lalu (27 Januari 2016, red.) hadir di stadion yang telah berumur 132 tahun ini. Malam itu mungkin bisa disebut sebagai salah satu pertandingan paling penting bagi The Reds musim ini. Anak asuh Juergen Klopp bertarung dengan klub asuhan Mark Hughes, Stoke City, dalam leg kedua semfinal Capital One Cup.

Aura magis stadion yang terkenal dengan Shankly Gate-nya, sebuah pintu masuk yang didesain khusus untuk mengenang pelatih legendaris Bill Shankly ini seolah telah tersusun secara ciamik. Pada awal sebelum sepak mula, seperti biasa anthem kebanggaan “Youll Never Walk Alone” dinyanyikan oleh seiisi stadion bak koor massal. Hal ini membuat bulu kuduk siapa pun merinding, tak terkecuali ratusan suporter The Potters yang hadir malam itu.

BACA JUGA:  Enigma Benteke: Drogba Baru yang mulai bertansisi menjadi Andy Carroll?
Pintu masuk stadion Anfield.
Pintu masuk stadion Anfield.

Tribun The Kop malam itu sekali lagi menunjukkan sisi kesakralanya. Tak ada satu pun jengkal dari kursi yang kosong layaknya klub tetangga dari Manchester biru.

Pekik semangat agar tim kesayangan Scousers ini bermain dengan sepenuh hati, malam itu terus ada dan berlipat ganda. Bahkan, yang spesial malam itu ketika tepat pada menit ke-12, The Kop memimpin seluruh penonton untuk memberikan memberikan penghormatan kepada Owen Mc Veigh, suporter berusia 11 tahun yang wafat karena mengidap leukemia, yang setia menonton sejak umur lima tahun di tribun kebanggaan itu, dengan memberikan tepuk tangan sepanjang satu menit.

Semua tampak berjalan normal sampai ketegangan itu memuncak jelang babak pertama usai. Stoke City mampu menyamakan kedudukan melalui gol dari Marko Arnautovic. Raut tegang itu tampak nyata terpancar dari para suporter Liverpool, mengingat pentingnya pertandingan malam itu.

Pada jeda babak pertama, saya sempatkan singgah sejenak di sudut kantin yang terletak di belakang tribun. Benar saja, perbincangan yang saya tangkap adalah kekhawatiran akan performa Liverpool. Menariknya, ketika paruh kedua akan dimulai, seorang suporter berteriak lantang di ujung lorong tribun, memberikan komando untuk segera bergegas kembali memberikan dukungan.

Apa yang saya rasakan setelah itu adalah kombinasi dari sisi magis Anfield dan ketegangan yang memuncak. Drama adu penalti terbukti sahih membuat siapa saja sesekali menahan nafas, bahkan Klopp saja mengaku tak menyaksikannya dari pinggir lapangan.

Sorakan semangat dan gairah akan sepak bola itu tampak nyata, ketika dari tribun di Anfield sontak bergetar ketika Liverpool memastikan diri melangkah ke Wembley untuk partai Capital One Cup final.

Inilah Anfield, yang menawarkan drama penuh liku pada tiap sudut tribunya.

 

Komentar
Pemuda Sleman, Yogyakarta, yang sedang menempuh pendidikan pascasarjana di University of Liverpool dan Vice Chairman of Perhimpunan Pelajar Indonesia, Liverpool, United Kingdom. Bisa dihubungi melalui akun Twitter @aditmaulhas.