Dalam percaturan sepakbola Inggris, mungkin Leeds United tak bisa dikategorikan sebagai klub papan atas. Selama 100 tahun berdiri, klub dengan warna kebesaran putih ini baru mengoleksi tiga gelar Liga Inggris, masing-masing sebiji Piala FA dan Piala Liga, plus dua buah Community Shield.
Gara-gara itu juga, rapor The Whites di kompetisi antarklub Eropa terkesan biasa-biasa saja. Selain dua Piala Inter-Cities Fairs, Leeds masing-masing sekali jadi runner up di ajang Piala Champions (kini Liga Champions) dan Piala Winners.
Meski tak mampu mengulangi capaian di atas, tapi Leeds pernah jadi buah bibir akibat gebrakan yang mereka buat pada musim 2000/2001. Utamanya di Liga Primer Inggris dan Liga Champions. Saya sendiri teringat akan hal ini karena di linimasa media sosial, ada begitu banyak status, unggahan atau cuitan mengenai cerita klasik di dunia sepakbola. Fandom sendiri sempat mengajak pembaca untuk kembali mengingat sejarah Il Sette Magnifico di Serie A sepekan silam.
Dimotori oleh Lee Bowyer, Olivier Dacourt, Rio Ferdinand, Ian Harte, Harry Kewell, Lucas Radebe, Alan Smith dan Mark Viduka, Leeds melanjutkan kiprah apik semenjak ditangani oleh David O’Leary. Semusim sebelumnya, The Whites berhasil nangkring di posisi tiga klasemen akhir Liga Primer Inggris sehingga berhak tampil di Liga Champions. Ketika itu, Kewell dan kawan-kawan juga sukses menapak semifinal Piala UEFA 1999/2000 sebelum dihempaskan raksasa Turki yang akhirnya jadi kampiun, Galatasaray.
Sepanjang musim 2000/2001, Leeds konsisten bertarung di papan atas Liga Primer Inggris. Mereka sempat mengukir rekor tak terkalahkan di 13 pertandingan. Sayangnya, catatan itu dirusak oleh Arsenal sekaligus melumat mimpi Leeds menembus tiga besar klasemen akhir buat mentas lagi di Liga Champions. Di akhir musim, tim asuhan O’Leary harus puas duduk di posisi empat dengan koleksi 68 poin, cuma berselisih satu angka dari Liverpool yang finis di peringkat tiga.
Namun perjalanan The Whites di Liga Champions jadi sesuatu yang bikin fans mereka seolah hidup dalam mimpi karena Leeds tak pernah melaju sejauh itu di kejuaraan antarklub Eropa dalam kurun separuh abad pamungkas. Terlebih, skuad mereka kala itu dijejali pemain-pemain muda.
Mengawali langkah dari babak kualifikasi, Leeds berhasil lolos ke fase grup usai meremukkan wakil Jerman, TSV 1860 Muenchen. Di laga kandang maupun tandang, Kewell dan kawan-kawan berhasil mengantongi kemenangan yang berujung agregat 3-1.
Tantangan sesungguhnya bagi Leeds terhampar di fase grup putaran pertama. Pasalnya, mereka tergabung dengan AC Milan, Barcelona, dan Besiktas di Grup H. Tidak diunggulkan, anak asuh O’Leary justru sukses finis sebagai runner up usai mengumpulkan 9 poin. Mereka berhasil mengalahkan Milan dan Besiktas masing-masing sekali dan imbang dengan tiga rival segrupnya itu di kesempatan lain. Satu-satunya kekalahan yang diderita Leeds berasal dari Barcelona di matchday pertama.
Mungkin Milanisti masih ingat dengan jelas kekalahan tim favorit mereka dari Leeds di Stadion Elland Road berawal dari blunder sang penjaga gawang, Nelson Dida, dalam mengantisipasi sepakan keras Bowyer dari luar kotak penalti.
Keberhasilan Leeds duduk di peringkat dua Grup H mengantar mereka ke fase grup putaran kedua. Tergabung di Grup D, lawan-lawan yang mesti dihadapi Kewell dan kawan-kawan selanjutnya adalah Anderlecht, Lazio, dan Real Madrid.
Praktis, hanya di hadapan Madrid, Leeds senantiasa kehilangan angka. Sementara Anderlecht selalu jadi lumbung poin The Whites. Namun cerita paling menarik tentu kemenangan Leeds di Stadion Olimpico, markas Lazio. Mengenakan seragam kuning, klub yang berdiri tanggal 17 Oktober 1919 ini memecundangi empunya rumah dengan skor tipis 1-0.
Gol semata wayang di laga tersebut lahir berkat upaya Smith yang melakukan kerja sama satu-dua nan cantik dengan Viduka dan mengelabui bek-bek I Biancoceleste sebelum menaklukkan kiper Angelo Peruzzi yang coba menutup ruang seraya menjatuhkan badan.
Mengepak 1o poin, Leeds pun berhak menggenggam tiket ke babak perempatfinal. Layaknya perjalanan di sepasang fase grup, mereka kudu berduel lagi dengan utusan Spanyol, kali ini adalah Deportivo La Coruna. Mujur bagi Leeds, kemenangan 3-0 yang mereka bukukan di Stadion Elland Road pada leg pertama sudah cukup untuk memaksa La Coruna mengepak koper. Pasalnya, kala menyambangi Stadion Riazor di leg kedua, pihak tuan rumah cuma menang 2-0.
Laju tim besutan O’Leary akhirnya sampai di semifinal. Sekali lagi, klub asal Spanyol lain, Valencia, yang wajib mereka hadapi. Beraksi di kandang sendiri terlebih dahulu, The Whites gagal memanfaatkan kesempatan itu usai bermain seri tanpa gol. Mimpi buruk bagi Leeds akhirnya muncul di Stadion Mestalla saat menjalani leg kedua. Gaizka Mendieta dan kolega memporak-porandakan Leeds dengan skor mencolok 3-0 sekaligus mengakhiri petualangan heroik mereka.
Ada yang sedikit unik dengan perjalanan Leeds di Liga Champions musim itu. Klub-klub Spanyol yang mereka temui sedari fase grup selalu berhasil memetik angka penuh saban Leeds bertandang. Di Barcelona, Madrid, La Coruna maupun Valencia, The Whites dipaksa pulang dengan bekal kekalahan.
Dari sebuah kesebelasan yang dianggap biasa saja, penampilan elok Leeds ketika itu bikin atensi publik akhirnya mengarah ke Elland Road. Namun bukannya mereplikasi capaian bagus itu di musim berikutnya, Leeds malah terjebak dalam masalah finansial dan terpaksa menjual banyak pemain pilarnya sampai terdegradasi ke divisi Championship pada musim 2003/2004.
Nasib buruk ternyata tak berhenti sampai di situ karena masalah keuangan yang akut, Leeds masuk ke badan administrasi di tahun 2007. Saat itu juga, The Whites didemosi ke League One. Padahal sepanjang sejarah klub, mereka tak pernah merumput di kasta lebih rendah dari divisi dua (Championship).
Lewat perjuangan keras, Leeds mampu promosi ke divisi Championship pada musim 2010/2011. Namun usaha buat kembali lagi ke Liga Primer Inggris tak pernah mudah. Berulangkali Leeds mencoba, berulangkali juga mereka menemui kegagalan.
“Marching on together we’ll gonna see you win“.
Begitulah anthem yang selalu dinyanyikan suporter dan menemani Leeds di manapun mereka bertanding. Harapan untuk naik kasta dan kembali berkiprah di level teratas sepakbola Inggris terus menggelegak. Apalagi anak asuh Marcelo Bielsa kini nangkring di peringkat satu divisi Championship dengan torehan 71 poin dari 37 laga. Kans lolos otomatis dengan status kampiun divisi Championship pun terbuka lebar. Namun sayang, sebaran virus Corona bikin segalanya terhenti dan belum ada kejelasan apakah kompetisi akan dilanjutkan atau dibatalkan.