Sebagai jama’ah Jancuker, saya mengamini ucapan Sujiwo Tedjo bahwa, “Cinta itu tak pernah butuh alasan. Jika engkau masih memiliki alasan dalam mencintai. Maka itu bukanlah cinta, tapi kalkulasi”.
Namun sebagai jama’ah balbalan, saya selalu punya alasan kenapa sampai sekarang begitu mencintai Lazio. Ya, walau tak hafal siapa saja yang menghuni skuad mereka saat ini.
Beberapa waktu lalu, saya dihubungi pihak Fandom untuk menulis. Tanpa tedeng aling-aling, saya dipaksa bernostalgia dengan menulis tentang Lazio, cinta pertama saya ketika SMP dahulu. Layaknya cinta yang datang tiba-tiba, saya pun demikian.
Perasaan jatuh cinta saya kepada Lazio diinisiasi sebuah artikel di majalah Sportif (kalau tidak salah, Bung Kusnaeni dahulu pernah menjadi jurnalis di sana). Dibuang AC Milan, disayang Lazio. demikian judul artikel tersebut dengan gambar sesosok pemain berbaju biru muda dengan tulisan Banca Di Roma di bagian dada.
Usut punya usut, pemain itu adalah Diego Fuser. Dalam artikel itu dikisahkan bahwa Fuser hijrah ke ibu kota setelah Milan meraih Scudetto di musim 1991/1992.
Jatuh cinta sering dimulai dengan rasa iba, dan di artikel itu saya merasa iba terhadap Fuser karena dirinya hanya figuran dalam keberhasilan I Rossoneri. Apalagi baju Lazio berwarna biru muda, mirip dengan seragam Arseto, salah satu klub kebanggaan publik Solo. Akhirnya, sejak saat itu saya memproklamirkan diri sebagai penggemar I Biancoceleste.
Ada begitu banyak narasi afeksi terhadap klub idola karena hal sepele. Gara-gara aksi menawan Fernando Redondo, seseorang memilih Real Madrid sebagai tim kegemarannya. Akibat ketampanan David Beckham, ada orang yang menjadi fans Manchester United. Hanya karena suka warna merah, seseorang memutuskan jadi suporter Bayern Muenchen dan masih banyak kisah menarik lainnya.
Akan tetapi, sebuah kewajaran mengemuka jika klub yang kamu idolakan pertama kali adalah tim besar. Lain cerita bila yang membuatmu tergila-gila pada sepakbola adalah klub semenjana. Misalnya Middlesbrough, Southampton atau West Ham United.
Hal tersebut juga saya rasakan kepada Lazio pada saat itu. Usai membolak-balik buku sejarah, rupanya mereka bukanlah kesebelasan penuh prestasi walau masuk ke dalam Il Sette Magnifico karena hanya memiliki dua titel juara, masing-masing satu Scudetto (1973/1974) dan Piala Italia (1958).
Jatuh Cinta pada Saat Yang Tepat
Siapa sangka, jatuh cinta kepada Lazio di tahun tersebut adalah waktu yang tepat. Bagaimana tidak, musim 1997/1998 ada gelar baru yang mampir di lemari trofi I Biancoceleste yaitu Piala Italia usai unggul agregat 3-2 dari Milan.
Selain itu, Lazio dan kawan-kawan juga berhasil menembus partai final Piala UEFA walau akhirnya takluk di tangan Inter Milan dengan skor telak 0-3. Padahal materi pemain Lazio kala itu cukup mentereng dengan keberadaan Fuser, Alessandro Nesta, Pavel Nedved yang dipadukan dengan beberapa nama anyar seperti Matias Almeyda, Alen Boksic, Vladimir Jugovic, dan Roberto Mancini.
Teruntuk presiden klub, Sergio Cragnotti, lolos hingga final tapi beroleh kegagalan ibarat beli lotere dan mendapat tulisan “Coba Lagi”. Hasratnya buat menebus rasa pahit itu meluap-luap. Terlebih Sven-Goran Eriksson di balik kemudi sudah memberikan sentuhan terbaiknya.
Tanpa ragu, Cragnotti menghabiskan banyak uang demi memperkokoh tim. Nama Marcelo Salas dan Christian Vieri didatangkan buat mengisi lini serang. Sementara Sergio Conceicao, Ivan De la Pena plus Dejan Stankovic menjadi amunisi baru di sektor tengah. Terakhir, hadir bek tangguh dalam wujud Fernando Couto guna membentengi area pertahanan.
Keputusan Cragnotti untuk belanja pemain rupanya tak salah. Di musim 1998/1999, Lazio sukses menggondol sepasang trofi yaitu Piala Super Italia dan Piala Winners. Khusus gelar yang disebut belakangan, saya masih ingat bagaimana I Biancoceleste memenangkan edisi terakhirnya (Piala Winners kemudian dihapus oleh UEFA).
Bermain di Stadion Villa Park, Birmingham, Lazio berjumpa wakil Spanyol, Real Mallorca. Mengenakan kostum kuning dengan tulisan Del Monte di bagian dada, tim asuhan Eriksson unggul cepat via gol yang dibukukan Vieri pada menit ke-7. Namun Mallorca lekas bereaksi dengan menciptakan gol balasan lewat upaya Dani Garcia saat laga memasuki menit ke-11. Beruntung, Lazio punya sosok sekelas Nedved yang menyegel kemenangan lewat golnya di menit ke-81.
Seharusnya Lazio berpeluang mendapatkan Treble pada musim tersebut. Sayangnya, mereka cuma finis di peringkat dua Serie A dan hanya berselisih satu poin dari sang kampiun, Milan.
Rejeki Tidak Pernah Salah Alamat
Musim 1999/2000 dibuka Lazio dengan tampil di ajang Piala Super Eropa berbekal status jawara Piala Winners. Lawannya saat itu adalah Manchester United yang semusim sebelumnya memboyong tiga titel sekaligus yakni Liga Primer Inggris, Piala FA, dan Liga Champions.
Berduel di Stadion Louis II, Monako, I Biancoceleste sanggup menundukkan The Red Devils dengan skor tipis 1-0. Salas menjadi pahlawan kemenangan karena dirinyalah yang menciptakan gol penting tersebut pada menit ke-35.
Prestasi apik Lazio tak berhenti sampai di situ. Dengan materi yang lebih kuat usai merekrut Diego Simeone, Nestor Sensini, dan Juan Sebastian Veron, klub yang berdiri tahun 1900 ini mengunci gelar Scudetto keduanya sepanjang sejarah. Kali ini, giliran mereka yang unggul sebiji poin di papan classifica dari sang rival, Juventus.
Raihan Scudetto itu sendiri berlangsung dramatis karena sampai pekan pamungkas, mereka tertinggal dua poin dari I Bianconeri. Namun yang namanya rejeki memang tak pernah salah alamat.
Kala butuh kemenangan, Nesta dan kolega sukses membungkam Reggina dengan skor 3-0 di Stadion Olimpico. Di sisi lain, harapan melihat Juventus tersandung di markas Perugia juga terealisasi setelah Alessandro Del Piero dan kawan-kawan keok secara mengejutkan dari I Grifoni.
Saya betul-betul gembira melihat pencapaian heroik Lazio di musim tersebut. Pun dengan Cragnotti yang tak lagi penasaran. Sebuah cerita yang rasanya ingin saya ulangi di musim-musim berikutnya.
Namun apes, gara-gara sang presiden salah kelola, masalah finansial menggerogoti I Biancoceleste dan mengantar mereka ke fase semenjana sekali lagi kendati cukup rajin memeluk trofi Piala Italia (2003/2004, 2008/2009, 2012/2013, 2018/2019) dan Piala Super Italia (2009, 2017, 2019) dalam kurun dua dekade terakhir.
Menjadi kandidat peraih Scudetto bukan sesuatu yang mudah dilakukan seperti dahulu meski jujur saja, saya merindukan Lazio yang seperti itu.
Akan tetapi, sebagai pendukung setia, harapan untuk itu selalu terselip di dalam dada walau acap terbungkus perasaan sabar lantaran harus menunggu lama. Sialnya, ketika asa itu berpotensi menjadi nyata, utamanya di musim ini, virus Corona datang dan membuyarkannya.
[Best_Wordpress_Gallery id=”32″ gal_title=”Lazio Legends”]
NB: Seluruh ilustrasi yang ada di artikel ini dikerjakan oleh para ilustrator yang tergabung dalam Indonesian Football Artist / IFA (idfootballartist). Fandom.id mendapat kesempatan untuk menayangkan karya-karya terbaik IFA. Daftar ilustrator yang terlibat untuk ilustrasi edisi #MengingatSejarah Lazio ini: Nedved (football.vectorr), Stankovic (@fajarrusalem), Salas (@agus_kriwul), Mancini (@azkacahayaasia), Mihajlovic (@igoblues), Nesta (@gilanggtr), dan Simeone (mikoarc)