Melihat Kehebatan De Toekomst

Sudah menjadi kewajiban bagi klub-klub profesional di muka Bumi untuk membentuk sebuah akademi. Di tempat itulah mereka menempa bakat-bakat muda dari sejumlah kelompok usia hingga kemampuannya meningkat dan bila sang pemain dianggap memenuhi kriteria, dapat diturunkan di tim utama. Di benua Eropa yang menjadi kiblat persepakbolaan dunia, ada satu akademi yang namanya teramat mahsyur sebagai penghasil bintang muda berbakat yakni De Toekomst milik Ajax Amsterdam.

Berdiri sejak tahun 1900, akademi yang dalam bahasa Indonesia bermakna ‘Masa Depan’ ini menyediakan enam kelas bagi para pesepakbola usia dini dari umur 7 tahun hingga 18 tahun. Antara lain level A-Juniors (A1-A2), B-Juniors (B1-B2), C-Juniors (C1-C2), D-Pupils (D1-D2-D3), E-Pupils (E1-E2-E3), dan F-Pupils (F1-F2-F3).

Sebagai kawah candradimuka bagi bocah-bocah di Belanda, sudah tak terhitung berapa banyak alumnus De Toekomst yang melesat jadi pesepakbola top, baik saat berkarier di Negeri Kincir Angin maupun di perantauan. Johan Cruyff, Marco van Basten, Dennis Bergkamp, dan Wesley Sneijder merupakan contoh hebatnya lulusan akademi Ajax pada masa silam.

Sementara di era 2010-an, De Toekomst berhasil menelurkan nama-nama semisal Frenkie de Jong, Matthijs de Ligt, Sergino Dest, Christian Eriksen, dan Donny van de Beek. Seperti para pendahulunya, hanya Dest dan Van de Beek yang saat ini masih berkostum Ajax. De Jong sudah menjadi penggawa Barcelona, De Ligt diikat kontrak oleh Juventus, sedangkan Eriksen mengenakan baju Inter Milan.

Bicara tentang akademi sepakbola, sebetulnya banyak klub Eropa lain yang juga kondang sebagai penghasil pemain berbakat. Sebut saja Barcelona, Bayern Muenchen, Chelsea, Liverpool, AC Milan, Inter sampai Real Madrid. Walau begitu, hanya sepersekian alumnus yang akhirnya sukses mematri satu tempat di tim utama.

BACA JUGA:  Juventus (1-3) Barcelona: Juve Impresif Namun Tanpa Konektivitas yang Baik di Setiap Fase

Contoh paling kentara bisa kita saksikan bersama dari akademi Barcelona, La Masia. Belasan tahun silam, mereka berhasil menciptakan pemain-pemain jenius dalam wujud Sergio Busquets, Andres Iniesta, Lionel Messi, Pedro Rodriguez, Carlos Puyol, dan Xavi Hernandez. Kesemuanya menjadi pilar Los Cules selama kurang lebih dua dekade.

Akan tetapi, setelah nama-nama itu, belum ada jebolan La Masia yang naik daun dan memperlihatkan kapabilitas setara sehingga dipercaya membela tim utama. Maka tak perlu kaget jika belakangan ini Barcelona lebih sering menghabiskan banyak uang demi memperkuat armada tempur. Misalnya saja dengan merekrut Philippe Coutinho, Ousmane Dembele, dan Antoine Griezmann.

Seakan belum cukup, kini ada lagi pesepakbola yang masuk radar buruan raksasa Catalan tersebut yaitu Lautaro Martinez, penyerang Argentina milik Inter. Kebetulan, Lautaro memperlihatkan grafik penampilan yang semakin apik bersama klubnya itu dan sering mendapat kepercayaan membela tim nasional.

Situasi yang bertolak belakang terjadi pada Ajax. Pemain-pemain berbakat mereka berbondong-bondong meninggalkan Stadion Johan Cruyff Arena guna menimba ilmu di tempat lain dengan banderol selangit yang menebalkan isi rekening klub.

Saat melego De Jong ke Barcelona pada Juli 2019 lalu, Ajax mendapat kucuran duit senilai 75 juta Euro. Jumlah setara didapat Ajax via penjualan De Ligt ke Juventus momen yang nyaris bersamaan. Artinya, hanya dari penjualan dua pemain mudanya, De Godenzonen memperoleh fulus sebanyak 150 juta Euro. Fantastis!

Asyiknya lagi, Ajax tak pernah kehabisan talenta ciamik dari De Toekomst. Kini, giliran Dest, Ryan Gravenberch, Noussair Mazraoui, dan Van de Beek yang beroleh sorotan utama karena merekalah yang jadi andalan baru De Godenzonen dalam mengarungi kompetisi, baik lokal maupun regional. Salah satu alasan yang mendasari kenapa pemain-pemain muda itu dapat berkembang semakin matang adalah kepercayaan pihak klub.

BACA JUGA:  Memprediksi Juara Liga Champions Berdasarkan Tren Pencarian di Google

Ajax memegang teguh prinsip bahwa pemain muda selalu memiliki potensi untuk tampil semakin prima dari waktu ke waktu. Di sisi lain, mereka juga tidak takut bahwa performa klub secara keseluruhan akan merosot bila mengandalkan pemain muda di tim utama. Ajax selalu yakin bahwa filosofi sepakbola mereka sangatlah bagus. Terlebih, iklim sepakbola Belanda memang mendukung perkembangan pemain-pemain belia.

Dalam kurun tiga musim terakhir, Ajax sanggup memenangkan masing-masing satu gelar Eredivisie, Piala KNVB, dan Johan Cruyff Schaal. Mereka juga sempat mencicipi atmosfer final Liga Europa 2017/2018 serta semifinal Liga Champions 2018/2019.

Status De Godenzonen sebagai salah satu raksasa Eredivisie pun tak pernah luntur kendati terus disaingi oleh para rival seperti Feyenoord Rotterdam dan PSV Eindhoven.

Sisi kompetitif yang mampu dibangun Ajax meski nyaris setiap musim mengalami perubahan fondasi tim sepatutnya dijadikan perhatian oleh klub sepakbola profesional lain di Eropa maupun dunia. Alih-alih menghamburkan uang secara terus-terusan demi memperkokoh tim, Ajax membuktikan kepada khalayak bahwa rasa percaya terhadap penggawa akademi juga bisa mengantarkan mereka kepada gelimang gelar meski proses mencapai itu membutuhkan waktu.

Di kancah sepakbola, tak ada prestasi yang bisa diperoleh secara instan. Ada banyak pengorbanan yang dilakukan oleh sebuah klub untuk hal tersebut. Ajax, mengejewantahkan segalanya melalui akademi De Toekomst. Maka pantas rasanya bila kehebatan dan konsistensi De Toekomst dalam mengorbitkan pemain muda berbakat bikin mereka didapuk sebagai akademi sepakbola nomor satu di kolong langit.

Komentar
Penggemar Manchester United dan Bayern Munchen yang hobinya menulis dan membaca ini bisa ditemui di akun Twitter @mtorieqa.