Ada dua kejadian menyedihkan di Liga Champions yang sekaligus menjengkelkan dan sulit dilupakan penggemar Chelsea. Pertama, kekalahan The Blues dari Manchester United pada final Liga Champions musim 2007/2008, akibat John Terry terpeleset saat mengeksekusi penalti.
Namun, momen itu barangkali bisa diterima dengan lapang dada oleh penggemar. United memang tengah digdaya pada musim itu. Ditambah lagi dengan keberuntungan Chelsea yang raib di atas basahnya kotak terlarang.
Berbeda dengan peristiwa kedua yang lebih menjengkelkan. Situasi itu terjadi kala Tom Henning Ovrebo kala memimpin laga leg kedua melawan Barcelona di babak empat besar ajang yang sama musim berikutnya.
Keputusan kontroversial yang dibuat oleh pengadil itu sulit diterima oleh mayoritas publik Stamford Bridge. Apalagi bagi Guus Hiddink, caretaker yang berdiri di pinggir lapangan ketika itu.
Di hadapannya, skuad The Blues dipermak habis-habisan. Alhasil, hingga kini, Hiddink masih percaya adanya invinsible hand dibalik lima insiden yang seharusnya berbuah penalti buat anak asuhnya, meskipun keyakinannya tak bisa dibuktikan sampai hari ini.
Walaupun harus menelan keyataan pahit, nyatanya Hiddink tidak kehilangan tepuk tangan dari para penggemar. Sebagai caretaker pengganti Luis Pelipe Scolari, mempersembahkan satu trofi bagi Roman Abramovich di penghujung musim.
Di laga terakhirnya bersama Chelsea musim itu, pelatih asal Belanda tersebut mengalahkan Arsenal dengan ciamik fi sekaligus final Piala FA. Hiddink memenangi laga lewat comeback fantastis, berkat gol Didier Drogba enam menit menjelang bubaran.
Selain itu, satu tempat di Liga Champions musim 2009/2010 juga sukses ia dapatkan. Sebanyak 13 kemenangan dan hanya satu kekalahan di sisa musim Liga Inggris ditorehkan Chelsea untuk mengamankan satu tiket tersebut.
Kesuksesan Hiddink mereparasi ulang skuad The Blues yang hancur lebur di tangan Scolari, semestinya layak diganjar kontrak sebagai manajer tetap pada muesim berikutnya. Namun, Roman Abramovich mengabaikan harapan suporter dan para pemain.
Taipan dari Rusia itu lebih memilih Carlo Ancelotti. Alasannya sederhana, mantan pelatih AC Milan tersebut punya pengalaman juara di pentas Eropa. Sesuatu yang sangat dicari Abramovich setelah berbagai kegagalan memuakkan selama berstatus sebagai pemodal utama Chelsea.
Sayangnya, allenatore tak berkutik pada musim kedua, usai menyabet gelar Liga Inggris di musim perdananya. Bahkan, pengalamannya di pentas Eropa tak berarti apa-apa dan gagal mewujudkan mimpi Abramovich.
Sejak masa itu pula, Chelsea memiliki kebiasaan buruk yang berulang setiap mereka menggonddol trofi bergengsi: sukses menjadi juara, lalu melempem pada musim selanjutnya di kompetisi yang sama.
Konsistensi permainan The Blues selalu goyah – jika tidak bisa dikatakan ambyar. Untungnya, cela itu terkadang bisa tertutupi berkat raihan trofi di kompetisi kelas dua, semisal Liga Europa atau Piala FA.
Rutinitas buruk itulah yang membuat Hiddink sekali lagi diminta menenangkan konflik di ruang ganti Stamford Bridge. Jika Chelsea dalam kondisi sulit, Abramovich seperti selalu mengeluarkan jurus andalan: better call Hiddink!
Kali ini, Hiddink datang untuk mencoba mengurai benang kusut yang ditinggalkan oleh Jose Mourinho, juga di era kedua The Special One menukangi Chelsea. Seperti biasa pula, pelatih asal Portugal tersebut belum bisa lepas dari kutukan musim ketiga yang kerap menyertainya.
Pada periode keduanya bersama di Stamford Bridge, Hiddink tak sebagus sebelumnya. Dari 27 laga yang ia lalui, hanya 10 laga yang sukses dimenangkan, 11 lainnya seri, dan sisanya pulang tanpa meraih satu poin pun.
Penyebabnya, sisa-sisa konflik terlampau kusut yang menyebabka banyak pemain kehilangan performa terbaiknya. Pada akhirnya, The Blues hanya mampu mengakhiri liga di posisi kesepuluh. Dan untuk pertama kalinya mereka gagal mentas di Liga Champions, sejak era Abramovich.
Satu-satunya euforia yang dihadirkan Hiddink adalah ketika Chelsea sukses menahan imbang Tottenham Hotspurs di Stamford Bridge.
Hasil tersebut memaksa Spurs merelakan gelar Liga Inggris kepada tim penuh kejutan,
. Pertandingan yang kemudian bikin penggemar Spurs kian jengkel akibat selebrasi berlebihan penggawa The Blues. Seolah-olah merekalah yang menyabet gelar juara.
Usai menunaikan tugasnya sebagai caretaker, Hiddink kembali meninggalkan Stamford Bridge pada 30 Juni 2016. Romansanya bersama selama dua periode, akan selalu dikenang oleh penggemar dan juga oleh mereka yang pernah menjadi anak asuhnya.
Ia adalah pelatih yang mampu membangun suasana kekeluargaan di ruang ganti, bak seorang bapak yang dengan tabah mendidik anaknya. Banyak pemain yang merasakan kehangatan sang pelatih. Alhasil, mereka bisa mengeluarkan kemampuan terbaiknya.
Di daerah asalnya, status legenda memang tersemat padanya. Ia bukan sekadar mantan pemain saja, melainkan pelatih tersukses bagi PSV Eindhoven. Namun, kenangan tentang Hiddink juga tumbuh di benak penggemar Chelsea. Pelatih asal Belanda itu merupakan pahlawan di tengah kesusahan.