Saya ingin membuka tulisan ini dengan mengutip buku Tamasya Bola milik Darmanto yang saya beri garis bawah besar ini: Setiap peristiwa sepakbola yang terjadi akan diseleksi.
Beberapa dimunculkan berulang-ulang. Sebagian lagi berusaha dilupakan. Sebagian mengendap menjadi memori. Ingatan tentang sepakbola bisa menjadi kejam atau menyenangkan tergantung dari bagaimana sejarah dimaknai dan dihayati.
Sejarah akan terus dimaknai, dihayati, dan juga terdokumentasi. Oleh karena itulah pentingnya sebuah buku. Dalam hal ini buku tentang sepakbola.
Miftakhul Fahamsyah sebagai orang Lamongan seperti hendak mengutarakannya lewat buku ketiganya yang berjudul: Persela, Menegaskan Identitas Kami. Persela yang dalam sejarahnya merupakan ajang promosi kota ditegaskan oleh Mifta Fim lewat buku ini.
Semalam bersama Taufik Kasrun dan teman-teman suporter Lamongan memperbincangkan buku Persela Menegaskan Identitas Kami. pic.twitter.com/SBxsE8ia84
— miftakhul (@fim_mifta) April 19, 2017
Pengalaman mencintai Persela –entah dari hanya mendukung langsung datang ke stadion atau hanya mengikuti perkembangannya via media massa- ditegaskan dengan baik oleh Miftakhul Fahamsyah.
Lewat buku ini orang Lamongan seperti ditegaskan benar identitasnya sebagai orang Lamongan. Identitas yang sudah terlalu lama tenggelam dalam bayang-bayang kebesaran Kota Surabaya.
Membicarakan Persela Lamongan lebih jauh memang tidak terlepas dari peran Mantan Bupati, Masfuk. Bupati yang saat itu masif menggelontorkan dana APBD untuk Persela Lamongan.
Tindakan tersebut dinilai banyak orang sebagai tindakan yang gila. Namun, jika dilihat sekarang tindakan tersebut sejatinya memang mampu menaikkan harkat martabat orang Lamongan.
Sepakbola yang menurut mantan bupati yang kita cintai itu pada kata pengantar buku ini sebagai ”penyeret emosi banyak orang” memang benar adanya. Terlebih, bahwasannya Lamongan memang mempunyai kultur sepakbola yang tinggi.
Masfuk dengan gagah berani melakukan gagasan itu. Sepakbola dinilainya, juga dari kata pengantar buku ini, bisa menumbuhkan hegemoni sebagai orang Lamongan.
Bukan saja gairah untuk memainkan dan menonton sepakbola, tapi juga gelora untuk turut ambil bagian membangun kota kelahirannya. Bisa dirasakan sekarang sepakbola merupakan media yang paling tepat Lamongan untuk mempromosikan Lamongan ke Indonesia.
Mencintai Persela Lamongan, klub asal Kabupaten Lamongan ini bisa dibilang adalah lambang supremasi semangat kedaerahan yang tinggi. Seperti pada bab pertama yang ada dalam buku tulisan Kang Fim ini, identitas orang Lamongan sekarang ini sebenarnya secara tidak langsung adalah berkat adanya Persela Lamongan.
Bisa dibilang sebelum adanya Persela, Lamongan mempunyai masalah dengan identitasnya sebagai orang Lamongan itu sendiri. Lamongan yang mendapat stigma sebagai kota kodok (kala penghujan tak bisa ndodok, saat kemarau tidak dapat cewok) ini seperti memiliki sebuah masalah yang bisa disebut sebagai krisis identitas.
Oleh karena itulah, gebrakan yang dilakukan Bupati Masfuk dengan membangkitkan kembali Persela yang telah mati suri di awal dekade 2000-an itu sebenarnya adalah upaya membangun hegemoni orang Lamongan.
Orang Lamongan yang banyak merantau ke seluruh pelosok Indonesia, entah berdagang pecel lele atau soto Lamongan, dibangkitkan semangat kedaerahannya. Orang Lamongan sebelumnya terlampau sering percaya diri menyebut dirinya orang Surabaya ketimbang kotanya sendiri.
Pada bab ke-2 ini tertulis dokumentasi sejarah panjang suporter tua Lamongan, L.A Mania. Seperti tertuang tentang krisis identitasnya tadi, banyak orang Lamongan di zaman sebelum bangkitnya Persela adalah pendukung militan Persebaya Surabaya.
Banyak orang Lamongan berduyun-duyun menonton Bajul Ijo berlaga di Gelora 10 November, Tambaksari. Karena apa?
Mungkin bisa jadi adalah karena Lamongan tidak memiliki klub sepakbola yang pantas didukung. Semenjak berdirinya Persela, munculah itu L.A Mania yang merupakan akronim dari Lamongan Asli pada 27 Januari 2001.
Membicarakan Persela, tidak lengkap rasanya jika tidak menyebut julukan Persela itu sendiri, yaitu: Laskar Joko Tingkir. Maskarebet (nama kecil Joko Tingkir) merupakan raja pertama kerajaan Pajang yang terletak jauh di Kota Surakarta.
Menjadikan Joko Tingkir sebagai julukan Persela ternyata sejarahnya adalah ditemukannya makam Joko Tingkir di Kecamatan Maduran. Tangan dingin Bupati Masfuk yang menjadikan Laskar Joko Tingkir sebagai julukan Persela ternyata adalah atas instruksi secara tidak langsung dari Gus Dur.
Dengan membaca buku tulisan ini saya rasa pertanyaan macam kenapa kok Joko Tingkir bisa sedikit terjawab.
Malam minggu di Manahan adalah kenangan yang sepertinya tidak bisa dilupakan oleh segenap pencinta Laskar Joko Tingkir. Manahan, stadion yang terletak di Kota Solo itu merupakan stadion yang bersejarah bagi Persela Lamongan.
Persela mampu promosi ke Divisi Utama setelah menahan cemas ketika skor imbang tanpa gol menghinggapi Persela melawan PSIM Yogyakarta.
Perlu diingat bahwasannya saat itu banyak orang Lamongan berbondong-bondong ngluruk ke Solo. Wong Lamongan bersatu untuk pertama kalinya melakukan awaydays, mendukung Persela agar selanjutnya identitasnya sebagai orang Lamongan ditegaskan.
Dilanjutkan pada bab-bab selanjutnya bahwa Persela terus dipertegas juga diperteguh identitas ke-Lamongan-annya. Pergantian kursi kepelatihan, penghuni baru tribun utara, kesetiaan Il Capitano Choirul Huda, putra daerah berseragam Garuda, hingga musim yang indah bersama alm. Miroslav Janu turut mewarnai buku setebal 91 halaman ini.
Patut diingat bahwasannya Persela adalah satu-satunya klub kabupaten yang mampu bertahan selama 13 tahun di kasta tertinggi Liga Indonesia.
Entah patut disebut sebagai tim medioker atau semenjana, Persela yang mampu terus bertahan bereksistensi di Liga 1 merupakan prestasi yang tidak bisa dianggap remeh. Dari 2004 hingga sekarang 2017 bukanlah waktu yang sebentar untuk satu tim kabupaten bertahan di Liga Indonesia yang kejam ini.
Laskar Joko Tingkir juga punya prestasi lain, yaitu juara Piala Gubernur Jawa Timur 5 kali yaitu pada tahun 2003, 2007, 2009, 2010, dan 2012. Kolektor piala terbanyak ajang turnamen pra musim se-Jatim, bersanding dengan Persik Kediri.
Selain itu, di level juniornya yaitu Persela U-21. Mampu juara di musim 2010/2011 yang dipertahankan 2011/2012 semakin mempertegas bahwasannya Lamongan mempunyai kultur sepakbola yang begitu tinggi. Musim lalu, Persela U-21 yang diasuh eks Pelatih Persela Didik Ludianto pun juga beroleh posisi 4.
Persela tertanggal 18 April 2017 kemarin telah mendapati usia emasnya, 50 tahun. Buku ini merupakan kado yang indah dari Miftakhul Fahamsyah. Dengan telah terbitnya buku ini, Fim telah menambah khasanah literasi tentang Persela Lamongan.
Referensi tentang Persela Lamongan yang sampai saat ini belum ada. Setelah perjalanan panjang tentang kebertegasan identitas melalui agenda politik yang dilakukan mantan bupati itu, seharusnya Persela tidak harus terus dilihat dari aspek politis saja, melainkan Persela seharusnya dapat dimaknai secara kultural.
Bukan cukup dinikmati dengan suguhan musik orkes dangdut belaka.
Selamat Ulang Tahun Laskar Joko Tingkir!